Pernah makan rame-rame?
Kayanya sembilan puluh persen bakal jawab pernah.
Pernah makan rame-rame di atas wadah seperti daun pisang?
Kali ini persentasenya mungkin jadi sekitar delapan puluh persen akan menjawab pernah.
Tapi pernah nggak, makan rame-rame, duduk lesehan, berhadapan, dengan hidangan yang diletakkan memanjang di tengah-tengahnya dan ... satu lagi, makannya ini bukan di tempat makan yang memang mengusung tema pedesaan, like a warung makan sunda, melainkan makan di acara-acara formal seperti pernikahan?
Oke-oke, biar bisa terbayang seperti apa, aku tunjukkan dulu gambarnya.
Ini dia.
Sumber : goodnewsfromindonesia.id
Nah, pernah nggak?
Sebenarnya, makan seperti ini memang sudah jadi sesuatu yang lazim ditemui di beberapa daerah. Tapi kali ini, aku mau ngajak kamu berkenalan lagi dengan sesuatu yang berhubungan dengan Kalimantan Barat. Terutama suku Melayunya.
Karena tradisi ini memang identik dengan suku Melayu di Kalimantan Barat yang diberi nama Saprahan. Ada pun kota-kota yang masih terus melestarikan adat ini adalah Pontianak, Mempawah, Singkawang, dan Sambas.
Namun, dari beberapa fakta yang kulihat selama ini, untuk Pontianak sendiri, jarang sekali tradisi Saprahan dipakai dalam acara pernikahan. Tradisi ini seringnya dipakai untuk acara-acara kebudayaan seperti hari jadi kota Pontianak. Hal ini mungkin dikarenakan kota Pontianak sebagai ibukota, yang mana, masyarakatnya lebih banyak memilih melangsungkan pernikahan dengan cara modern.
Hanya, apapun itu, saprahan tetap jadi tradisi yang memiliki keunikan sendiri. Seperti budaya atau tradisi pada umumnya, saprahan juga memiliki makna yang dalam sekali.
Apa itu?
Mari kita ulas!
Berdasarkan situs Indonesia.go.id, saprah berarti berhampar. Sementara makna saparahan adalah 'duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.' Inilah yang kemudian menunjukkan pentingnya kebersamaan yang dibalut dengan keramahtamahan, kesetiawakawanan, dan persaudaraan.
Makna ini pun jadi semakin mendalam karena benar-benar lahir dari tata cara saprahan itu sendiri. Seperti yang sudah ditulis di atas, saprahan adalah tata cara makan bersama-sama dengan duduk lesehan memanjang dan saling berhadapan, atau bisa juga berkelompok.
Baik lesehan memanjang atau berkelompok, biasanya terdiri dari enam orang. Makanan yang disajikan pun tidak memandang status kelompok tersebut. Entah itu orang-orang yang dituakan atau anak-anak, hidangan yang disajikan sama saja.
Namun, berkaitan dengan tata cara makan, ada beberapa hal yang biasanya menjadi cirikhas dari saprahan itu sendiri (selain makannya yang berkelompok atau lesehan memanjang).
1. Peralatan yang digunakan :
Kain saprahan, piring makan, kobokan (tempat air cuci tangan) beserta serbet, mangkok nasi, mangkok lauk pauk, sendok nasi dan lauk, gelas minum.2. Menu Saprahan :
Nasi putih/nasi kebuli, semur daging, sayur dalcah, sayur paceri nanas/terong, selada, acar telur, sambal bawang, air serbat, kue tradisional.3. Cara penyajian hidangan: Menghamparkan kain dan menyajikan menu dengan urutan piring dan kobokan beserta serbet, nasi, lauk pauk, air minum, air serbat dan kue tradisional.
Ada pun cara penyajian dilakukan oleh petugas saprahan yang biasanya menggunakan pakaian adat Melayu, pria dengan baju telok belangak dan perempuan baju kurung. Setiap pergerakan petugas selama menghindangkan harus tertib dan sebisa mungkin tidak membelakangi tamu.
Setelah semua hidangan tersaji, para tamu pun bisa menikmati (sumber : warisanbudaya.kemdikbud.go.id)
Nah, itu dia makna dan tata cara saprahan. Tetapi yang perlu diketahui, meskipun dari awal dijelaskan bahwa saprahan indentik dengan budaya Melayu, pada situs
Kebudayaan.kemdikbud.go.id menulis jika kata saprahan sendiri tidak berasal dari bahasa Melayu atau bahasa Indonesia, melainkan bahasa Arab.Selain itu, ternyata saprahan juga memang bukan budaya asli suku Melayu. Menurut dua orang sumber dalam situs tersebut, saprahan memang sudah ada sejak lama. Tapi tidak ada satu pun sumber valid yang menyatakan kapan tepatnya tradisi ini masuk ke daerah Sambas.
Hanya kemungkinan besar budaya saprahan masuk ke daerah Sambas bersamaan dengan masuknya agama Islam. Dibawa oleh pedagang-pedangan Arab yang sempat singgah di daerah Sambas. Untuk sekadar informasi, dulu Sambas merupakan salah satu tempat strategis bagi para pedagang melabuhkam kapalnya dan menawari barang-barang.
Okeee, sampai sini, gimana? Tertarik nggak untuk kapan-kapan datang ke Kalbar dan ikut langsung dalam acara saprahan? Hehe.
Oh, ya, selain saprahan sebagai tradisi yang biasa dipakai saat acara-acara tertentu, masyarakat Melayu juga bisa menggunakan tradisi ini untuk makan biasa bersama keluarga sendiri, lho. Tapi karena makan bersama keluarga, tata cara penyajian dan seragam petugas saprahan bisa ditiadakan. Cuma ... kalau mau lengkap, ya, kenapa enggak! Heheh.
Satu lagi, masyarakat Kalimantan Barat, khususnya suku Melayu juga sudah seharusnya bangga dengam budaya saprahan. Karena pada tahun 2017, Saprahan resmi dimasukkkan ke dalam Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) atau Intangible cultural heritage (ICH).
Tahu, kan, apa itu WBTB atau HCI?
Intinya ini semacam pengakuan dari negara anggota Unesco tentang kebudayaan tak benda yang dimiliki oleh suatu daerah di suatu negara.
Nah, selain budaya saprahan, ada banyak ternyata budaya di Kalbar yang sudah diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh Republik Indonesia.
Untuk lebih lengkapnya bisa mengunjungi situs http://kwriu.kemdikbud.go.id/info-budaya-indonesia/warisan-budaya-tak-benda-indonesia/
Tentu selain budaya tak beda dari Kalbar, situs ini juga mencatat budaya-budaya dari setiap daerah di Indonesia. Lengkap pokoknya! Jadi, ayo, kepoin! Hehe
●●●●●
h
ttps://tekno.tempo.co/read/1394773/bahasa-melayu-pontianak-ditetapkan-warisan-budaya-tak-benda-nasional
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2017/10/05/duduk-sama-rendah-berdiri-sama-tinggi-tradisi-saprahan-melayu-kal-bar/amp
https://www.indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/saprahan-wujud-kesetaraan-dalam-bermasyarakat
https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=541
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Riset
Ngẫu nhiênKarena fiksi juga butuh data. Bukan cuma sekadar menghayal