2: ditunggu

522 54 4
                                    

🌤️🌤️🌤️


Satu helaan nafas kembali terdengar. Rasanya benar-benar seperti mimpi. Apa benar ini terjadi?

Sekali lagi ia menengadah untuk menatap langit. Pagi ini, langit nya tampak berawan. Sepertinya matahari sedikit malu untuk bersinar. Atau mungkin kerena sedang ditutupi awan yang terlihat kelabu. Warna langit juga tidak biru. Terlihat sedikit keabu-abuan. Sepertinya sisa mendung dari malam tadi masih betah untuk terus berada disini.

Tidak tau apakah perasaan nya sekarang ini terwakili oleh sang angkasa diatas sana atau tidak. Tapi rasanya dia juga sedang khawatir dan malu seperti matahari yang tak terlihat sinarnya. Semoga saja raut wajah nya tidak sama kelabu nya.

Ia menoleh ke belakang untuk kembali melihat ke dalam rumah yang sudah lama ia tinggali. Terdengar suara berisik dari sana. Lalu, seorang pria paruh baya keluar dengan sebuah ransel dipundaknya. Pria itu kemudian tersenyum ramah padanya yang hanya bisa membalas dengan anggukan samar.

Ia masih diam di tempatnya duduk. Di undakan anak tangga menuju teras rumah. Memerhatikan pria tadi memasukkan koper dan ransel ke dalam mobil. Tiba-tiba saja ada rasa sesak yang aneh. Matanya terasa panas. Ia menunduk untuk menatap kedua kakinya.

"Angan? Ada apa? Kenapa?" tanya pria tadi sambil menepuk pundaknya pelan.

Angan masih tetap menunduk tapi sekarang matanya basah. Ia menggeleng dengan samar untuk menjawab pria tadi.

"Kenapa nangis? Tenang ya, udah gak apa-apa sekarang. Ada ayah," ucap pria tadi memeluknya.

Angan membiarkan air matanya menetes membasahi anak tangga. Jika langit tak membiarkan awan kelabu nya menurunkan hujan, maka biarkan Angan membasahi pipi nya sendiri.

"Maafin aku," ujar Angan pelan diantara tangis nya.

Ayah mengusap punggung Angan pelan. Tidak melonggarkan pelukannya sedikitpun. Yang Angan butuhkan saat ini adalah kehadiran seseorang agar dirinya tidak merasa sendirian.

"Kamu gak punya salah apa-apa. Gak perlu minta maaf," balas ayah dengan suara tenang. Suara itu juga membuat Angan merasa sedikit lebih lega.

Angan dan ayah berada di posisi yang sama selama beberapa menit. Sampai Angan berhenti menangis dan menghapus air matanya. Ayah melonggarkan pelukannya dan menatap wajah Angan dengan senyuman di wajahnya.

"Udah siap untuk berangkat? Ibu dan saudara kamu nungguin lho,"

Sekali lagi Angan menoleh untuk mengamati bangunan yang ada di belakangnya. Mengamati pintu dan jendela nya yang sudah tertutup. Rumah itu terlihat sangat tenang. Bahkan meski warna dinding nya sudah terlihat sangat kusam, Angan masih bisa merasakan kehangatan yang tertinggal disana.

Setelah puas memandangi, Angan mengalihkan pandangannya pada halaman kecil di depannya. Tempat dimana dulu dia sering bermain. Sekarang halaman dan rumah ini akan menjadi bagian dari kenangan. Bagian dari perjalanan hidup Angan di masa lalu.

Angan mengangguk pada ayah yang masih duduk disampingnya. Sedari tadi ayah hanya mengamati tingkah Angan saja. Didalam hati ayah, dia juga sadar ini berat untuk Angan.

"Ayo kita berangkat sekarang," ucap Angan pelan. Matanya masih mengisyaratkan keraguan. Tapi genggaman tangan ayah di tangannya sudah cukup untuk membuatnya tetap melangkah maju. Menuju halaman baru kisah hidupnya.

Angan duduk di kursi penumpang di sebelah ayah nya. Tak banyak yang mereka bicarakan karena Angan juga tidak terlalu ingin berbicara dan ayah tidak mau memaksakan Angan, mencoba untuk memahami keadaan Angan saat ini. Tapi kemudian keheningan diantara mereka pecah karena suara heboh dari ponsel ayah.

AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang