10: pulang

220 37 2
                                    


☁️☁️☁️



Setelah apa yang terjadi tadi malam, hidup Angan terasa lebih masuk akal. Sekarang semuanya terasa sedikit lebih jelas. Benang-benang kusut yang ada di pikiran Angan mulai menyatu. Ucapan-ucapan mama nya dulu sekarang masuk akal. Angan paham sekarang.

Angan dulu diajarkan oleh mama nya bahwa kehidupan manusia itu seperti awan. Dimulai dari ketiadaan, seperti awan yang awalnya berasal dari uap air laut, tak terlihat. Lalu setelah proses yang cukup lama, awan mulai terbentuk. Kehidupan mulai berjalan. Terbawa angin kesana dan kemari sebesar apapun awan tersebut. Hidup juga begitu, tak peduli sehebat apa, hidup pasti berjalan sesuai garisnya. Ada kalanya mendung dan hitam. Ada juga kalanya berhadapan dengan cahaya.

Mama bilang itu adalah ajaran ayah nya Angan sendiri. Mama tak pernah menyebutkan siapa dan dimana ayah Angan, tapi mama selalu bilang ayah adalah orang yang hebat. Angan tak perlu khawatir atau memikirkan ayah karena dia pasti baik-baik saja. Mama benar, ayah orang yang hebat dan ia baik-baik saja.

Saat kecil mama pernah bercerita pada Angan bahwa kehadiran Angan itu seperti mimpi. Mama tak pernah mengira akan mendapatkan anugerah seperti Angan dalam waktu yang tak terduga. Karena itu mama menamainya Angan. Karena memang dia seperti hanya angan-angan semata. Dulu Angan tak terlalu paham, tapi sekarang ia paham. Angan. Karena hadirnya benar-benar tiba-tiba di kehidupan mama yang tenang. Karena hadirnya memang tidak direncanakan ataupun ditunggu mama.

Angan yang sekarang sedang berjalan sambil menundukkan kepalanya menuju rumah dimana ia tumbuh bersama mama. Sambil mengingat-ingat kehidupannya dulu. Rasanya menyesakkan. Rasanya ingin menangis. Ada rasa bersalah dalam diri Angan. Kehadirannya merusak rencana hidup mama.

"Kenapa dulu mama gak bilang aja?" lirih Angan sambil menghapus air matanya.

Meskipun kehadiran Angan tidak diharapkan, tapi mama mengurus nya dengan baik dan memberinya kasih sayang yang cukup. Hal ini malah membuat Angan semakin merasa bersalah. Kenapa mama membiarkannya lahir? Kenapa mama tidak membuangnya saja saat di kandungan dulu? Dengan begitu kan mama bisa hidup lebih baik.

Ayah juga tak pernah mendatanginya. Tak mengunjunginya. Membiarkannya hidup dibawah bayang-bayang omongan tak sedap orang lain. Tak peduli akan keberadaan nya sebelum mama pergi meninggalkannya. Ayah hidup bahagia bersama keluarganya. Lalu untuk apa Angan ada?

"Maafin Angan, ma. Angan belum bisa bikin mama bahagia. Angan cuma ngerepotin mama. Maafin Angan. Seharusnya Angan gak pernah ada," lirih Angan lagi sekarang sambil menyender pada tembok pagar rumah entah siapa. Sebentar lagi ia sampai di rumahnya dan kakinya terasa semakin berat melangkah.

Angan membiarkan air matanya mengalir dalam diam di tempatnya duduk menyandar sekarang. Membiarkan dirinya tenang sebelum kembali melanjutkan perjalanan nya. Setelah rasanya cukup, Angan bangkit dan kembali berjalan dengan langkah yang tak semangat.

Sampai di depan pagar rumahnya yang tak tinggi, Angan bisa melihat halaman rumahnya yang sekarang kembali hijau. Warna cat nya juga sudah berubah. Rumahnya terlihat lebih hidup daripada saat ia meninggalkannya. Angan tau rumah ini sudah dijual. Tapi Angan ingin mengunjunginya.

Angan mengetuk pintu rumah itu dengan gugup. Sedikit berharap kalau tidak akan ada yang membukakan pintu nya. Tapi harapan Angan tidak didengar. Seorang wanita yang nampaknya seumuran dengan ibu membuka pintunya. Ah, dia pasti ibu rumah tangga keluarga baru yang tinggal dirumah ini sekarang.

"Mencari siapa?" tanya wanita itu.

Angan menggeleng pelan. "Ah itu, maaf. Saya penghuni lama rumah ini. Saya hanya ingin berkunjung sebentar,"

AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang