4: gelap

315 53 5
                                    


☀️☀️☀️


Beberapa hari terakhir ini Angan selalu bangun lebih dulu dari Randu. Biasanya Angan akan membuka pintu balkonnya dan diam menunggu sampai Randu muncul di balkon kamarnya sendiri. Setelah itu, Randu akan selalu jadi yang pertama kali mandi, lalu kemudian Angan. Setiap hari selalu seperti itu.

Lalu setelah nya mereka akan ke dapur. Membantu ibu menyiapkan sarapan. Menikmati sarapan bersama ayah sebelum berangkat kerja. Sudah jadi rutinitas yang sekarang Angan terapkan.

Angan sudah belajar banyak dari Randu. Mulai dari bersepeda, main basket, main bulutangkis sampai game. Randu seperti tak pernah kehabisan kegiatan untuk menghabiskan waktu bersama Angan.

Tapi tetap saja, rasanya Angan masih belum bisa terbuka sepenuhnya pada keluarganya sekarang. Dan untungnya, keluarganya juga selalu memaklumi tingkah Angan. Bahkan mereka memperlakukan Angan dengan sangat baik. Sampai terkadang Angan bingung sendiri.

"Bentar lagi kita masuk sekolah. Angan gak ada yang perlu di beli?" tanya Randu saat mereka menyantap sarapan.

"Oh iya? Pergi jalan gih! Cari apa yang kalian butuhin buat sekolah sana. Bisa pergi sama pak Iman nanti," kata ayah yang baru sadar.

"Iya nih yah. Abang udah dapat bocoran dari mbak Salsa nanti mos nya di suruh bawa apa aja," kata Randu penuh semangat. Sejak adanya kehadiran Angan, dia mulai menyebut dirinya sebagai abang. Sebagaimana ayah dan ibu memanggilnya.

"Kok bisa abang dapet bocoran?" tanya ibu heran.

"Ya bisa lah Bu. Randu gitu lho?! Siapa yang gak akan terpesona dengan ketampanan ini?" jawab Randu dengan senyum bangga nya.

"Mana mau mbak Salsa sama kamu. Masih bau kencur kamu. Mainnya aja sama Pano," balas ibu.

"Lah? Malah karena abang bisa deket sama Pano kan mbak Salsa makin sayang,"

"Sayang sebagai adek aja kan?" kata ayah tersenyum jahil.

Karena mbak Salsa adalah kakak dari Pano yang bersekolah di SMA yang akan menjadi sekolah Randu dan Angan juga.

"Hm... Benar juga," respon Randu tertunduk lesu.

Sama seperti sebelumnya, Angan bingung harus merespon seperti apa untuk ikut andil dalam percakapan ini. Dia jug bingung harus menjawab apa untuk tawaran ayah. Dia senang tapi juga takut merepotkan. Randu seperti menyadari arti dari raut wajah Angan dan mulai tersenyum.

"Gak ada yang merasa di repotin kok. Kan sekarang emang lo udah kewajiban ayah, kewajiban kita semua sebagai keluarga lo buat menuhin kebutuhan lo," ucap Randu pada Angan.

Angan mengulas senyum. "Terimakasih ya," ujarnya sambil menatap ayah, ibu dan Randu satu persatu.

"Sama-sama sayang," balas ibu mengusap punggung tangan Angan.


Sebelum berangkat untuk membeli kebutuhan sekolah dan sekaligus jalan-jalan, Randu meminta bantuan Angan untuk mengemas buku-buku lamanya. Katanya mau ia sumbangkan pada Pano yang sekarang naik kelas 3 SMP.

"Bantuin gue dulu ya Ngan? Ini biar nanti sekalian dikasih pas kita keluar. Sekalian juga nanti ada yang mau dibuang," jelas Randu sambil membuka lemari bukunya.

Angan duduk di samping kotak yang Randu letakkan tak jauh dari lemarinya. Sebelumnya mereka sudah membagikan tugas. Randu yang mengeluarkan buku-bukunya dari lemari dengan instruksi mana yang di buang dan di simpan. Lalu Angan akan merapikan nya ke dalam kotak.

AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang