9: mencari

223 35 2
                                    


🌥️🌥️🌥️


Randu bangun lebih awal dari alarmnya. Masih kurang dari jam lima subuh. Randu hanya diam di tempat tidurnya, memikirkan apa yang terjadi tadi malam. Percakapannya dengan Angan itu, terasa seperti mimpi. Rasanya sulit sekali di percaya.

Satu helaan nafas panjang terdengar, selama ini ia sudah berusaha sebisanya untuk Angan. Untuk membuat anak itu merasakan kalau dia di rumah. Agar anak itu tak merasa sendirian dan senang bersamanya. Sekarang, setelah Angan mulai terbuka, mereka malah harus di hadapkan dengan hal semacam ini. Memang hidup itu sulit sekali ditebak ya.

Randu melirik jam dinding di kamarnya lagi. Masih banyak waktu untuknya berdiam diri disini. Lalu Randu teringat ibu, rasanya ingin peluk ibu. Bagaimanapun juga ibu itu segalanya, ibu adalah ibu yang melahirkan dan membesarkannya. Dan seharusnya Randu juga marah kan? Tapi kenapa Randu tak merasakan itu sama sekali? Marah pada ayah apalagi pada ibu, Randu tak merasakannya.

Selama ini ia hidup penuh kehangatan. Masa kecilnya bahagia. Ayah dan ibu selalu ada untuknya. Kasih sayang mereka tak pernah kurang. Kebutuhannya tak ada yang kurang. Randu benar-benar bahagia dan bersyukur lahir menjadi anak ayah dan ibu. Tapi, kenapa-

Ah, Randu paham.

Randu paham kenapa Angan marah.

Hidup Angan tidak seperti dirinya. Angan kehilangan satu-satunya orang yang ia cintai dengan cara tragis. Lalu Angan hanya sendiri menghadapi gelap nya kehilangan. Angan bahkan hampir mengakhiri hidupnya sendiri.

"Tapi ngan, sekarang lo punya gue. Apapun yang terjadi, gue tetep bakal di samping lo,"

Setelah rasanya sudah cukup berdiam diri, Randu bangun dari tempat tidurnya. Lebih baik bersiap untuk berangkat sekolah. Lebih baik ia segera menemui ibu yang pasti sangat cemas dibawah.

Randu beberapa kali melewati pintu kamar Angan. Kenapa rasanya ada yang kurang? Apa Angan baik-baik saja? Randu meraih tas ransel dan ponselnya lalu bergegas ke kamar Angan.

Randu terdiam saat menemukan kamar itu kosong. Tak ada Angan disana. Semua rapi seperti tak pernah ditinggali. Buku dan seragam Angan masih ada, sebagian besar baju-baju nya juga ada. Tapi, tas selempang miliknya itu tak ada.

Randu membulatkan matanya saat ia sadar sesuatu. Ia langsung membuka ponselnya. Awalnya ingin menghubungi Angan, tapi ternyata sudah ada panggilan tak terjawab dan beberapa pesan masuk. Dari Jay.

Jay
Angan di rumah gue
Kalian kenapa? Bisa berantem juga
Gak usah panik lu, angan baik-baik aja

Randu bernafas lega. Setidaknya ia tau Angan baik-baik saja. Dia bisa mampir ke rumah Jay. Dia juga bisa mengurangi rasa khawatir ayah dan ibu nanti. Tapi, saat Randu mau mematikan ponselnya, pesan baru kembali masuk.

Jay
Ndu, beneran jangan panik dulu ya
TAPI GUE PANIK SIH
ANGAN ILANG NDU
GUE GAK TAU INI ANAK KEMANA
TADI GUE BANGUN DIA MASIH DISINI
DIA BUKAN SETAN KAN NDU??!!

Randu langsung saja berlari keluar kamar Angan. Dia panik sekarang. Benar-benar panik. Jangan bilang Angan sungguh-sungguh memilih untuk tinggal sendiri. Atau jangan-jangan Angan...

"Abang? Kenapa buru-buru? Sarapan dulu. Angan mana?"

Langkah cepat Randu terhenti saat ia mendengar suara ibu yang memanggilnya. Randu berusaha menenangkan dirinya sendiri. Ia tak boleh terlihat panik didepan ibu atau ayah. Ia harus tenang.

AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang