5: takut

303 51 11
                                    


🌤️🌤️🌤️


Setelah selesai makan siang, Randu sibuk memikirkan kira-kira dia akan menyiapkan cemilan apa untuk teman-temannya. Sesuai janji Randu beberapa hari yang lalu kalau dia akan mengenalkan teman-teman nya pada Angan sebelum sekolah di mulai. Jadi sekarang, setelah sepakat akan menonton film bersama, Randu sibuk dengan ponselnya. Inginnya pesan delivery saja, kan sekarang sudah canggih.

Tadi ibu menawarkan diri untuk membuatkan cemilan, tapi di tolak Randu. Kasian ibu. Sudah bikin sarapan, bikin makan siang lalu bikin cemilan pula. Sebenarnya, Randu juga malas merepotkan diri. Apalagi terkadang teman-temannya ini tidak tau diri. Dasar teman.

"Lo ada pengen makan sesuatu gak?" tanya Randu pada Angan yang duduk di karpet, sedangkan dia diatas sofa.

Angan yang sejak tadi hanya memperhatikan televisi didepannya menoleh kebelakang. Randu masih fokus pada ponselnya.

"Makan? Tadi kan baru makan?" tanya Angan bingung.

"Bukan gitu maksudnya, Angan," jawab Randu sekarang sepenuhnya menatap Angan yang wajahnya kebingungan. "Cemilan gitu. Ada lagi pengen sesuatu gak? Biar gue pesen sekalian buat yang lain nanti," lanjut Randu kembali pada ponselnya.

"Oh buat cemilan," balas Angan kemudian kembali fokus lagi pada televisi.

Randu menghela nafas. Angan ini terlalu lugu, terlalu polos atau bagaimana. Terkadang Randu geram. Geram ingin memainkan pipi Angan sangking gemasnya.

"Lo mau gue uyel uyel ya?"

Angan menoleh lagi dengan wajah lebih bingung. "Ha?"

Randu menarik nafas dalam. "Jawab tadi pertanyaan gue, Angan ganteng,"

"Oh. Cemilan ya? Gak ada, Ndu. Gak ada pengen apa-apa," jawab Angan kembali lagi pada televisi didepannya.

Padahal menurut Randu acara di televisi itu tidak ada asyik-asyiknya. Randu jadi memerhatikan punggung Angan. Sejak kejadian kemarin malam, Angan jadi semakin diam. Kebanyakan melamun. Lebih parah dari saat dia sampai kesini. Bahkan Randu sempat memergoki Angan yang terjaga saat subuh.

Randu masih ingat jelas bagaimana wajah ketakutan Angan di pelukan ayah. Anak itu memejamkan matanya dan meracau. Mengucapkan berbagai macam kalimat yang tak Randu mengerti. Yang paling jelas adalah kata-kata permintaan maaf. Lalu kemudian ayah dan ibu yang mengucapkan banyak kata penenang.

Malam itu, Randu jadi tak makan bersama kedua orangtuanya, hanya bersama ibu. Ayah jadi menemani Angan di kamar. Tidak, Randu tidak marah. Ini bukan pertama kalinya ia tak makan bersama ayah. Tapi Randu jadi memikirkan yang tidak-tidak tentang kehidupan Angan di masa lalu.

Randu sudah bertanya pada kedua orangtuanya. Tapi ibu memilih tidak menjawab. Sementara jawaban ayah tidak memuaskan. Ayah hanya bilang Angan takut gelap. Lalu? Hanya itu?

Entah dorongan darimana, Randu mendekat pada Angan lalu memeluknya dari belakang. Angan yang dipeluk terkejut sampai Randu bisa merasakan bagaimana punggung Angan menegang. Lalu kemudian Randu juga bisa dengar nafas Angan yang jadi memburu.

"Gue cuma pengen meluk. Gak usah takut," ujar Randu pelan.

"Ke-kenapa?" tanya Angan di sela tarikan nafas nya. Jantung nya jadi ikut berdegup kencang.

"Memang nya gak boleh ya meluk saudara sendiri?" kata Randu balik bertanya masih pada posisinya.

Angan menggeleng dengan cepat. "Bukan begitu maksud ku,"

AwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang