BAB 09

231 20 2
                                    

'Luka yang kudapatkan selama ini sudah terlalu banyak dan begitu dalam. Aku menuntut kebebasan.'

* * *

Surabaya, 05 Agustus 2018 ....

Sejak keributan dua bulan yang itu, Haechan menjadi pribadi yang benar-benar pendiam. Ia juga lebih sering bermain dengan kucing peliharaannya di halaman belakang atau melamun di balkon kamar.

Saat Azel dan Jisung datang pun ia sama sekali tidak banyak bicara. Hanya sekedar memberi jawaban dengan kata 'ya' atau 'tidak'. Bahkan, tidak jarang ia hanya akan menggeleng dan mengangguk saja.

Entah sudah berapa cara yang Azel pakai untuk bisa kembali membuat sebuah lengkungan indah terukir di bibir Haechan, tetapi semuanya tidak ada yang berhasil. Azel merasa sangat sedih. Ia tidak ingin sahabatnya seperti ini.

Meski sempat seminggu penuh Haechan menolak untuk makan dan minum, tetapi akhirnya ia mau menerima sesuatu untuk masuk ke dalam lambungnya. Azel pun datang sebenarnya hanya karena ingin menyuapi Haechan yang tidak akan mau makan sendiri, sementara Jisung hanya menemani sambil terus berusaha membujuk Haechan untuk kembali tertawa seperti biasanya.

Dan, hari ini Haechan sedang duduk di atas kasurnya sambil menatap sebuah foto di dalam bingkai berwarna putih. Foto itu menampilkan gambar Papanya yang sedang tersenyum lebar sambil menggendong Haechan dan Haehyo. Sebuah senyuman terukir di bibir Haechan bersamaan dengan cairan bening yang dengan lancang mengalir membasahi kedua pipinya.

"Haehyo, Papa, aku ingin bersama kalian saja. Bilang pada Tuhan agar secepatnya mengirim malaikat untuk menjemputku," katanya lantas menghapus jejak air matanya.

Haechan kembali meletakkan bingkai foto itu ke atas meja nakas sebelum ia beranjak menuju kamar mandi. Beberapa menit kemudian ia keluar dan masuk ke dalam walk-in closet untuk berganti pakaian dan kemudian keluar dengan setelan baju kasual andalannya.

Haechan melangkah keluar dengan langkah yang sangat terburu-buru. Akan tetapi, langkah itu terhenti saat sampai di pertengahan anak tangga karena kedua manik hitamnya menangkap sosok laki-laki yang sangat ia kenal tengah bersama Bibi Goo. Entah apa yang sedang mereka bicarakan.

Setelah menghela napas panjang, Haechan nekat turun dan menyapa Bibi Goo. Ia mengatakan akan pergi keluar sebentar untuk mencari udara segar. Bibi Goo hanya bisa mengangguk meski di dalam hatinya sedikit merasa gusar karena kondisi Haechan yang sedang tidak stabil; badannya masih demam dan wajahnya pun masih terlihat pucat.

"Bi, aku pergi sebentar," kata Haechan.

"Hati-hati. Jangan pulang terlalu malam."

Bibi Goo sedikit meninggikan nada bicaranya pada Haechan yang entah didengar atau tidak oleh lawan bicaranya yang sudah sampai di teras rumah itu. Lantas wanita paruh baya itu kembali menatap laki-laki di hadapannya yang saat ini sedang melihat ke arah Haechan yang terlihat masih berdiri di ujung teras.

"Maaf, ada yang salah?" tanya Bibi Goo agak ragu.

"Dia siapa, Bi?" Laki-laki itu malah balik bertanya.

"Dia anak majikan saya. Tuan Muda Haechan," jawab Bibi Goo yang lalu tersenyum.

"A-Haechan?"

"Iya, benar. Dia memang anak yang sangat mempesona baik saat menjadi laki-laki ataupun perempuan." Bibi Goo tersenyum lagi.

"Maksudnya?"

"Loh? Bukannya tadi Anda bilang kalau kalian adalah teman dekat?" Bibi Goo merasa bingung.

"Iya ... lumayan dekat, tapi bukan berarti kami selalu berbagi rahasia 'kan?" Laki-laki itu sedikit tergagap.

"Ah, ya, Anda benar."

HAECHAN •||• Complete [✓✓✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang