Horas Dahmein tidak menyangka keberuntungan menyapanya sore itu.
Seandainya adiknya tidak cerewet minta dibelikan plain milk untuk sereal, mana mau dia beranjak dari singgasananya —spot favorit di toko kaset miliknya yang berada persis di seberang minimarket— dan bertemu seseorang yang belakangan ini menghantui pikirannya.
Nyaris sebulan Horas memperhatikan gadis asia yang diketahuinya bekerja di KBRI untuk Suriah yang berada di jantung kota Damaskus. Gadis berwajah mirip boneka dengan rambut hitam legam dan kerudung yang menutupi sebagian rambutnya. Mungkin diwajibkan otoritas setempat mengingat dia bekerja di wilayah negara muslim.
Biasanya, gadis itu datang bersama salah satu rekan perempuannya. Gadis asia berambut pendek sedagu yang seringkali kerudungnya melorot dan dijadikan syal.
Kadang pula berempat dengan tambahan dua teman lelakinya. Bercanda ria dan tertawa cekikikan seperti tanpa beban dengan bahasa ibu mereka yang tentu tidak Horas pahami.
Baru kali ini Horas melihatnya hanya berdua dengan satu dari dua teman lelakinya. Pria jangkung cerewet yang terlihat paling sering terlibat adu argumen dengan gadis itu.
Dalam hatinya, ada secuil rasa panas yang mendera saat melihat gadis itu terlihat akrab dengan si jangkung. Apakah pria itu kekasihnya?
"Apa yang kau pikirkan?" Adiknya datang menyentil dahinya. "Bagaimana dengan progress desain interior rumah sakit Taha?"
"Tidak ada." Horas menghela napas. "Sebentar lagi selesai. Kenapa?"
"Hanya bertanya." Gadis berusia delapan belas itu meringis. "Aku ingin ikut saat kau mendiskusikan hasil desain dengan Taha."
"Aku mengerti." Horas menatap lekat wajah adiknya dengan alis terangkat. "Kau pasti ingin bertemu dengan Idris."
Wajah gadis remaja itu bersemu kemerahan. Horas hanya menggeleng pelan sembari mengacak setengah rambut adiknya yang tidak tertutupi oleh kerudung hitamnya. Adiknya memendam rasa pada anak bungsu keluarga Endisha, salah satu keluarga berpengaruh di Suriah yang kebetulan memakai jasanya untuk mendesain interior dari salah satu rumah sakit yang baru saja dibangun.
Kesempatan itu didapatkannya sahabatnya semasa sekolah yakni Taha Endisha, putera kedua keluarga Endisha yang konon mewarisi semua rumah sakit keluarga Endisha yang tersebar di seantero Suriah dan di beberapa negara tetangga mereka. Tidak mudah bekerjasama dengan keluarga Endisha yang terkenal selektif mencari kolega.
Sementara Idris Endisha, bungsu Endisha adalah senior adiknya di universitas. Terpaut setahun dengan adiknya, pemuda sembilas belas tahun itu cukup terkenal di kalangan para kaum hawa. Parasnya yang tampan dan sikapnya yang ramah dan bersahaja membuat gadis-gadis manapun tergila-gila dengannya.
Termasuk Ilda Dahmein, adik perempuan satu-satunya.
"Boleh?" Ilda dan mata kucingnya.
"Iya, boleh. Udah sana belajar lagi, besok ujian kan? Kakak nggak mau denger keluhan kamu."
"Yeay!" Ilda memekik antusias dan memeluk tubuh jangkung kakaknya. "Ya sudah, aku pulang dulu. Assalamu'alaikum!"
Horas mengangguk dan mengantar gadis itu sampai pintu. Menatap adiknya yang mulai berjalan menjauh dengan langkah riang sampai hilang di tikungan jalan.
Pria itu menarik napas panjang dan mengembuskannya sebelum kembali masuk ke dalam toko. Pikirannya kembali mengembara pada gadis asia yang belakangan ini mengisi benaknya.
Seandainya situasi mereka tidak sesulit ini, Horas pasti sudah mengajak kenalan gadis itu sedari awal. Sejak dirinya melihat gadis itu duduk sendirian sembari memakan es krim di kursi yang memang disediakan oleh pihak minimarket untuk pengunjung.
Horas bahkan masih mengingat jelas pakaian yang dikenakan oleh gadis itu. Jaket krem dengan celana cokelat, dipadukan dengan sneakers berwarna senada. Tak lupa kerudung cokelat yang nyaris melorot, menampakkan setengah bagian dari rambutnya yang berwarna hitam legam.
Senyum Horas masih mengembang sampai seseorang menggedor pintu tokonya tanpa perasaan. Lelaki itu berjengit dari kursinya, mengambil pistol yang disembunyikan di laci dan memasukkannya ke dalam saku jaketnya sebelum berjalan ke arah pintu.
"Kebakaran, kebakaran!"
Rupanya itu adalah salah satu pemilik toko elektronik yang berada tak jauh dari tokonya. Pria paruh baya itu terlihat panik dengan wajah pucat dan keringat membanjiri wajah merahnya.
"Damein, cepatlah bergegas! Kita harus segera membantu mereka memadamkan apinya!"
Begitulah. Kehidupan keras semacam ini sudah menjadi hal yang lazim terjadi bagi Horas dan seluruh warga yang bermukim di negaranya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Last Chance (OPEN PO BATCH 2! 11-16 AGUSTUS 2021)
RomansaAndrea Teinara, FG jurusan HI asal Indonesia yang bekerja di KBRI di Damaskus. Selain bekerja, Andrea menghabiskan sebagian besar waktunya dengan gelisah, memangnya siapa yang tidak gelisah sekalinya dapat pekerjaan langsung ditempatkan di wilayah n...