BAB 4

99 13 0
                                    

Andes baru saja keluar dari lift saat orang-orang yang berada di lantai dasar terlihat kalang kabut. Beberapa membawa ember, sisanya berlarian tidak jelas dan berteriak histeris.

Perasaannya menjadi tidak enak.

Liri yang berada satu lift dengannya langsung mengambil langkah cepat dengan menghentikan salah satu pria yang membawa ember penuh berisi air.

"Ada apa ini?"

"Kebakaran, Mbak. Ada yang ngelempar granat ke salah satu toko dekat KBRI. Kami berusaha membantu memadamkan apinya sebelum merambat."

Belum sempat Liri bertanya, pria itu sudah buru-buru melanjutkan langkahnya diikuti beberapa orang lainnya.

"Astagfirullah!" Andes menatap Liri panik. "Sekarang kita harus gimana?"

"Keluar aja, gabung sama yang lain. Semoga apinya segera bisa dipadamkan." Liri menarik tangan Andes yang terasa dingin dan kaku untuk mengikutinya.

Ini yang ditakutkan Andes. Seaman-amannya Suriah, Andes takkan bisa bernapas lega barang sehari saja. Gadis itu akan selalu waspada dimanapun dan kapanpun dia berada. Berada di wilayah KBRI sedikit menenangkan rasa gelisahnya.

Dan, benar dugaannya. Hal yang ditakutkan akhirnya terjadi juga. Konflik belum berakhir, bahkan mungkin masih jauh dari situasi aman dan kondusif.

Jantungnya berdetak cepat saat Liri menariknya bergabung ke arah beberapa rekan kerja yang dikenalnya di halaman depan KBRI. Napasnya menderu, tangannya berkeringat dingin.

Ya Tuhan, baru sebulan bekerja disini, dia harus menonton live si jago merah melalap habis kawasan pertokoan yang kerap didatanginya nyaris setiap hari.

"Gue takut, Ri." Andes merapat ke arah Liri dan memeluk gadis itu erat. Tubuhnya menggigil dan tangannya dingin. Dia benar-benar ingin pulang!

"Mama," bisiknya lirih saat kepulan asap hitam mulai memenuhi udara. "Andes belum bisa bahagiain mama." Gadis itu merosot dari pelukan Liri sampai berjongkok, sebelum menangis tersedu seperti anak kecil kehilangan ibunya.

"Lo kenapa, An?" Liri buru-buru berjongkok setelah memakai masker. "Jangan nangis, ya? Bentar lagi apinya bakal padam kok. Lo tenang aja. Everything gonna be okay."

Andes tidak menjawab. Gadis itu menenggelamkan wajahnya di lekukan kedua lututnya. Takut. Itu yang saat ini dia rasakan. Saat ini dia tinggal jauh dari keluarganya.

Mama papa...

Andes nyaris menangis saat Enes dan Cliff datang dengan wajah serius. Tidak jangan lagi..

"Sepertinya akan ada serangan mendadak. Kita harus cepat mengungsi. Dubes udah ngasih ultimatum kita harus segera ngosongin gedung dalam waktu lima belas menit." jelas Cliff terengah-engah. Pria gendut itu berkeringat, wajah yang putih terlihat memerah.

"Serius lo?" Liri membulatkan mata. "Ini, Andes gimana?"

Enes dan Cliff menatap ke arah gadis yang masih setia membenamkan wajah di kedua lututnya. Hatinya pias, dalam hati dia menyesal tidak mendengarkan nasihat ibunya untuk menunggu dan peluang selanjutnya.

"An?" Cliff mencolek bahu gadis itu. Tapi yang dicolek, tidak responsif.

"An, lo okay?" Enes mengelus pucuk kepala Andes. "Gue gendong lo, ya?"

Andes masih diam saja. Dia.. tidak siap menghadapi hal semacam ini.

Melihat kengerian yang terjadi di negara-negara konflik melalui youtube saja sudah membuat jantungnya ketar-ketir, apalagi ketika dia mengalami sendiri kejadian itu? Seperti kejadian kebakaran sore ini dan juga rencana penyerangan yang dikabarkan oleh Cliff.

"An, please, say something." Enes terpaksa mengangkat wajah lesu Andes. Gadis itu menolak menatapnya dan justru memilih menatap kosong ke arah paving.

"Hmm." gumamnya tidak jelas.

"Nggak usah protes, pokoknya lo gue gendong. Kita nggak punya waktu banyak." Enes melemparkan kode ke arah Liri dan Cliff untuk pergi meninggalkan mereka sebelum meminta gadis itu untuk naik ke punggungnya.

"An, naik."

"Nggak mau." tolaknya pelan.

"Kita nggak punya banyak waktu, Andes Teinara."

"Gue.. bisa jalan sendiri." ucapnya lirih nyaris setengah berbisik.

"Yaudah."

Tanpa disangka-sangka, laki-laki jangkung itu menggendong Andes dengan gaya bridal style. Mengabaikan tatapan menilai dari semua orang yang melihat mereka dan membawa gadis itu berlari ke arah jeep yang telah disediakan oleh pihak KBRI. Baginya, keselamatan mereka ada yang utama. Persetan dengan pendapat mereka, Enes tidak peduli.

"Nes, gue takut.."

"Nggak bakal ada apa-apa, An."

"Tapi-"

"Nggak ada tapi-tapian. Lo aman. Nggak usah khawatir." Melihat wajah pucat Andes membuat hati Enes trenyuh. Laki-laki itu teringat adiknya di rumah. Andes benar-benar mengingatkannya pada adik perempuannya.

"Nes,"

"Ya?"

"Lo beneran bakal pindah ke Tripoli?"

Enes hendak menjawab saat gadis itu memberondongnya dengan pertanyaan retoris.

"Lo beneran bakal pergi dari sini?"

"Lo beneran bakal ninggalin gue?"

"Lo bener-"

Cup. Tanpa sadar, laki-laki itu mengecup bibir perempuan yang sedang berada di dalam pelukannya itu. Membuat Andes membelalak dan sebelum gadis itu mengomel, laki-laki itu buru-buru melanjutkan,

"Anggep aja itu salam perpisahan dari gue. Maaf, harusnya gue cium jidat lo bukan...," takut-takut Enes menatap bibir mungil berwarna merah muda milik gadis itu. "...bibir lo."

Tapi malangnya, gadis itu sudah keburu berteriak seperti bunyi guntur di tengah badai petir.

"ENEEEEEES!"

Last Chance (OPEN PO BATCH 2! 11-16 AGUSTUS 2021)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang