"Andes!"
Gadis berponi dengan rambut kunciran kuda yang sedari tadi berkutat di depan layar laptopnya hanya bergumam tidak jelas. Hari ini mood-nya berantakan karena dini hari tadi dia terbangun karena mendengar suara ledakan sesuatu entah apa.
"Ann! Gue panggil kaga denger, budek apa lo?"
Sosok yang memanggilnya, Liridona Sherpa, datang dengan dua gelas mug di kedua tangannya.
"Napas dulu, An. Lo kalo bete nggak usah nyiksa diri gitu dong. Belom sarapan, kan? Nih gue bikinin energen."
Andes menerima mug yang disodorkan Liri—satu-satunya manusia yang paling mengerti dirinya semenjak menginjakkan kaki di Damaskus— dengan wajah kusut.
"Kenapa lagi, lo?" Liri menempatkan pantatnya di kursi kosong yang berada di seberang meja Andes. "Pms?"
"Ledakan." Andes cemberut. "Emangnya lo nggak denger? Asrama kita kan sebelahan."
"Oh." Liri tersenyum kecut. "Denger sih, tapi yaudah."
Tapi yaudah matamu. Andes mengumpat dalam hati. Baru sebulan dia ditempatkan di Suriah, rasanya sudah seperti bertahun-tahun.
"Lo kan baru sebulan, wajar kalo masih kaget. Lama-lama kebiasa kok, serius. Gue tiga bulan pertama juga shock, home sick, mewek terus tiap malem." Pandangan gadis berambut pendek sedagu itu menerawang. "Lo masih untung punya gue. Dulu gue sendirian, nggak punya temen sharing."
"Enes?"
"Enes baru gabung enam bulan yang lalu." Liri mengembuskan napas. "Gue kan udah setahun disini."
"Oh iya." Andes nyengir kuda. "Iya sih, gue bersyukur banget ada lo, yang hampir tiap malem sejak hari pertama pak dubes ngenalin gue sebagai anggota baru sering banget ngeluh."
Liri tertawa. "Santai. Gue paham situasinya. Nggak mudah emang kerja di negara konflik kayak gini. Itu normal, An."
"Kira-kira gue bisa nggak ya bertahan lebih lama disini?" Gadis berkuncir kuda itu mematikan laptopnya setelah memastikan semua pekerjaannya telah usai. "Asli, gue tiap keluar dari gerbang KBRI tuh rasanya kayak lagi jalan ke medan perang. Lo kan tau sendiri sekarang kasus roket atau granat nyasar ke pemukiman penduduk udah dinormalisasi."
"Bisa, bisa." Liri menepuk pundak gadis itu, berusaha menguatkan. "Lagipula, kita masih punya chance untuk dimutasi. Banyak-banyak berdoa aja supaya kalo dimutasi dapet negara yang aman."
"Amin."
Andes hendak melanjutkan keluhannya saat Enes, rekan mereka yang lain menyela. "Gue punya kabar baru."
"Apaan?" Liri menatap lelaki itu bosan. Bosan dengan berita garing seorang Enes Senjakala.
"Gue bakal dimutasi!" Enes bertepuk tangan. "Akhirnya, gue bebas."
Andes dan Liri baru hendak menyela saat rekan mereka yang lain, Cliff, tiba-tiba saja datang bergabung dan menyela. "Kata siapa bebas? Emang lo tau bakal dimutasi kemana?"
"Belom tau, sih." Enes cekikikan. "Pokoknya gue mau nge-hype dulu. Akhirnya gue bisa keluar dari kandang singa!"
"Hahaha tapi masuk ke kandang buaya." Cliff terbahak. "Lo lupa gue bagian apa? Gue tau lo bakal dimutasi kemana."
Senyuman Enes seketika lenyap. Lelaki itu mendadak merasa waswas dengan seringai menyebalkan yang tercetak di wajah Cliff.
Sementara Andes dan Liri masih bertahan dengan keterkejutan mereka. Pertama, berita Enes akan dimutasi. Kedua, negara yang menjadi tujuan Enes dimutasi.
"Selamat ya Enes Senjakala. Mulai bulan depan, lo pindah ke Tripoli."
"Hah? Serius lo?" Liri menatap Cliff shock sebelum tertawa terbahak-bahak. Andes menatap gadis blasteran bule itu bingung.
Mengerti dengan tatapan bingung Andes, Cliff menambahkan. "Temen lo si Enes, bulan depan dimutasi ke KBRI Libya."
"Serius lo?!" Andes melebarkan mata dan berganti menatap Enes yang kini sudah berubah murung. "Ya bener kalo masuk kandang buaya."
"Tau sendiri kan konflik perang saudara Libya gak kelar-kelar. Setahu gue Pasukan Timur masih kekeuh nyerang pemerintah resmi sementara yang diakui PBB. Belom lama gue denger salah satu taman di kota Tripola di bom. Tiga tewas dan-"
"CUKUP!" Enes nyaris menggebrak, melupakan fakta bahwa mereka masih di kantor. "Nggak usah lo jelasin juga gue udah tau." Lelaki itu melempar tatapan sengit pada Cliff yang hanya mengulas senyuman miring.
"Banyak dosa sih lo." ujar Liri di sela-sela gelak tawanya yang mulai mereda. "Makanya kalo mau tobat tuh jangan setengah-setengah. Biar beruntung kayak Mas Yasa, dimutasi ke KBRI Islandia."
"Apa Mbak Sekar, dimutasi ke KBRI New Zealand." lanjut Andes ikut memanas-manasi.
"Oh jangan lupakan Bang Chico, dimutasi ke KBRI Brunei." Cliff kelihatan puas banget ngeliat wajah pias rekan kerjanya itu.
"Bangsat emang lo semua!"
Ketiganya serempak cekikikan melihat Enes yang memilih pergi meninggalkan mereka dengan berbagai dumelan lokal yang keluar dari bibir lelaki itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Last Chance (OPEN PO BATCH 2! 11-16 AGUSTUS 2021)
RomantizmAndrea Teinara, FG jurusan HI asal Indonesia yang bekerja di KBRI di Damaskus. Selain bekerja, Andrea menghabiskan sebagian besar waktunya dengan gelisah, memangnya siapa yang tidak gelisah sekalinya dapat pekerjaan langsung ditempatkan di wilayah n...