33. Jatuh Cinta, Lagi

38 7 3
                                    






"Nih,"

Gadis itu melirik sinis, melengos pelan. Ujung kerah seragamnya Ia kibaskan dengan nafas naik turun tak karuan. Tak peduli dengan sebotol air mineral yang sudah disodorkan pemuda disampingnya, Miya berjalan pelan ke tepi lapangan. Mendudukkan diri dibawah pohon rindang dengan punggung menyender dan kedua kaki diluruskan.

Pemuda itu ikut mendudukkan diri disampingnya. Meraih tangan Miya dan memaksanya menggenggam botol mineral itu. "Abis lari bagusnya minum air putih, jadi gue harap lo nggak ngarepin gue beliin lo es krim," ujar pemuda itu santai, meneguk sebotol air mineral ditangannya.

Miya berdecih pelan, "gue nggak ngarepin lo beliin gue apapun, jadi jangan sok tau" balasnya sinis, membuat pemuda itu hanya melirik meletakkan air mineralnya. Menatap Miya yang hanya menggenggam botol yang diterimanya tanpa meminumnya.

Tangan cowok itu kembali meraih botol air mineral dari tangan Miya, membukanya dan menyodorkan pada gadis itu lagi. Miya jadi melirik.

"Udah, nggak usah sok jaim dah. Kalo haus ya diminum aja kali," kata Arkan santai. Kembali meneguk air mineralnya bahkan hingga tak tersisa. Selanjutnya meremas botol itu pelan, melemparnya ke dalam tempat sampah disamping koridor dengan tepat sasaran.

Sepertinya skill basket yang membuatnya menjadi Kapten Tim itu benar-benar tak diragukan lagi. Bagaimana bisa cowok tengil itu masih terlihat keren hanya karena melempar botol sisa saja ke dalam tempat sampah.

Gadis itu menggeleng pelan menyadarkan diri. Meneguk pelan air mineral hingga tersisa setengah. Berdehem sesaat selanjutnya. Mendadak jadi hening. Tak ada yang memulai pembicaraan. Sedangkan suasana lapangan jadi semakin ramai, saat sebuah truk memasuki area Sekolah dengan peralatan panggung yang diangkutnya. Beberapa orang juga mulai turun dari truk, sambil mengamankan murid-murid yang berkerumun seperti semut.

"Perutnya, masih sakit?"

Miya tersentak pelan mendengar suara itu kembali menyapa telinganya. Ia menoleh, mendapati pemuda itu menatapnya lurus. Walaupun wajah pemuda itu terlihat datar saja, tapi tak memungkiri kedua kelopak matanya yang meneduh. Jujur membuat Miya malah tersentuh.

"Ah... Nggak, udah nggak haid," jawab Miya apa adanya. Merasa kikuk sendiri, membuatnya menoleh menatap ke arah lapangan cepat. Menghindari tatapan Arkan.

Arkan hanya mengangguk samar. Ikut memperhatikan ke arah lapangan dengan deheman kecil. Ikut canggung karena selanjutnya mereka jadi sama-sama terdiam. Menikmati angin sepoi yang menghembus anai-anai rambut mereka.

"Mi," panggil Arkan selanjutnya.

"Hm?" sahut gadis itu refleks menoleh.

Arkan kembali berdehem, "sorry ya, kalo selama ini, gue kesannya kek ngejar lo banget" ungkapnya jujur.

Miya mengerjap, tersentak kecil mendengar pengakuan cowok itu. Kembali tersentuh dibuatnya. Mendadak jadi tak siap dengan ucapan cowok itu selanjutnya. Terlalu takut untuk mendengarnya.

"Gue, cuma mau jujur aja. Sorry, kalo udah buat lo risih. Gue, udah berusaha buat lupain lo. Gue selalu inget kata-kata lo saat lo nolak gue. Saat lo bilang gue ini berandal, atau bossgeng. Atau mungkin cowok buaya yang suka mainin cewek."

"Nggak, nggak gitu Kan. Gue nggak maksud,"

Arkan menghela nafas panjang, "gue juga sadar. Karena setiap orang yang liat gue, pasti bakal liat sisi itu. Pada dasarnya emang orang-orang tuh gitu kan, selalu liat sisi luar orang lain tanpa tahu gimana aslinya?" terang cowok itu terkekeh hambar.

NecessaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang