Bab 1

235 31 6
                                    


Bab 1
Keberangkatan

Pagi ini keadaan batalyon seperti biasanya. Kegiatan membersihkan lingkungan dan juga olah raga. Hanya saja, pasukan yang kemarin di latih harus siap kapanpun diberangkatkan.

Tak lama kemudian alarm berbunyi. Semua yang ada di batalyon sudah mengetahui apa yang harus dilakukan setelah alarm itu berbunyi, menandakan sebuah panggilan darurat. Pasukan yang kemarin dilatih mulai mempersiapkan diri mengambil perlengkapan yang sudah ada di ransel lalu menuju lapangan dengan perlengkapan lengkap.

Di lapangan sudah ada penuh dengan pasukan. Aku segera berbaring dan mencari tempat.

"Saya kasih waktu tiga puluh menit untuk berpamitan dengan keluarga. Dimulai dari sekarang!" Letda Saka memberikan perintah.

"Siap, Ndan." jawab serentak kami semua.

Komandan peleton memberi sedikit waktu semua prajuritnya untuk berpamitan dengan keluarganya. Waktu yang hanya sebentar itu juga yang kugunakan. Aku berlari sekuat tenaga untuk menuju sebuah wartel tak jauh dari batalyon. Sesampainya di sana, kosong. Satu-satunya bilik wartel itu takdipakai dan aku memasukinya.

Ku raih gagang telepon dan menekan nomer yang sudah kuhafal di luar kepala. Beberapa saat menunggu akhirnya sambungan terhubung.

"Assalamualaikum, Mak." Aku mengucapkan salam pada wanita paling sabar di dunia ini. Ibuku, kami anak-anaknya di rumah menggil dengan sebutan Mamak.

"Walaikumsalam, Le." kudengar suara lembut itu dari seberang.

"Kabar Mamak dan Bapak sehat?" aku menanyakan kabar terlebih dahulu sebelum ke tujuan utamanya telepon ini.

"Alhamdulillah sehat semua, Nang. Piye kamarmu, Le?"

"Alhamdulillah, kabar Teguh juga sehat, Mak. Mamak dan Bapak, juga Adik jaga kesehatan, nggeh." Aku jeda sesaat untuk menanyakan hati.

"Teguh mau pamit, Mak. Sebentar lagi akan diberangkatkan ke Aceh. Mohon doanya, Mak."

Hening yang ada, ibuku pasti sedang menitikkan airmata di seberang sana. Wanita paruh baya itu selalu rapuh jika aku meminta ijin untuk pergi tugas keluar yang tentunya orang tuaku tahu tempat itu. Daerah yang baru hangat-hanhatkan diberitakan di layar tivi. Mungkin ibu semakin berat melepas kepergianku yang jaraknya semakin jauh mengingat aku anak kebanggaan mereka.

"Ya Allah, Nang. Kok yo berangkat lagi." suara serak itu terdengar dari bibir renta orang yang telah melahirkanku ke dunia ini.

"Nggak papa, Mak. Doa dan restu Mamak, Bapak, nggeh. Paringi sehat, lancar lan selamet." aku meminta doa restu dengan bahasa jawa kromo. Doa restu orang tua adalah yang pertama dan utama. Karena bagiku, ridho orang tua adalah ridho Allah. Apalagi ibu.

"Bukannya belum lama kamu pulang dari Kalimantan, Le?"

Kudengar ibu masih berat memberikan rentunya padaku. Aku adalah satu-satunya anak laki-laki yang mereka miliki. Keputusanku masuk tentara dulu juga agak berat bagi ibu. Namun, lambat laun ibu mulai menerima jika aku sebagai abdi negara.

"Mak, ridhoi perjalanan dan tugas Teguh, nggeh. Doakan yang terbaik untuk anakmu yang paling ganteng ini, ya." aku sedikit memberi candaan pada ibu agar sedikit tersenyum. Walau senyum itu tak dapat kulihat saat ini.

"Nanti kalau selesai tugas dari Aceh, Teguh janji segera nikah. Biar Mamak segera gendong anakku."

Inilah kalimat yang selalu aku tawarkan agar ibu kembali tersenyum.

"Halah, koe iku, Le. Emang mau bawakan Mamak menantu dari Aceh sana?" Ibu sudah mulai terpancing dengan rayuannya.

"InsyaAllah, Mak. Doakan, ya. Tugasku lancar dan pulang nanti membawa kabar bahagia. Membawakan gadis Aceh untuk menantu Mamak. Teguhkan lumayan ganteng, pasti ada yang kecantol." kudengar ibu mulai tertawa, walau aku yakin rasanya sambil menangis.

"Ya sudah, Le. Hati-hati yo, Nang. Semoga selalu dalam lindungan Allah. Jaga lima waktunya dan patuhi perintah komandan." Lega rasanya, mendengar doa ibu yang diucapkan. Kalimat itu akan selalu aku ingat sampai kapan pun.

"Sendiko dawuh, Kanjeng Ibu." dalam dadaku bergemuruh. Rasanya saat ini juga ingin memeluk ibu. Namun, jarak ini tidaklah mungkin. Ibu berada di desa lumayan jauh dari kata Solo tempatku berdinas. Aku mendengarkan ibu melafatkan sebuah doa keselamatan untukku. Dengan hening aku mendengarkan, meresapi lalu meng-aminkan dalam hati sampai selesai.

"Salam kagem Bapak, Mbak Titik dan Dik Tutik. Sehat sedanten. Teguh pamit, nggeh. Assalamualaikum."

"Walaikumsalam. Le. Hati-hati."

Setelah itu sambungan terputus. Aku tahu apa yang sedang terjadi setelah sambungan ini terputus. Pasti ibu sedang menangis karena keberangkatanku ini. Tidak beda sewaktu aku dulu bertugas mengamankan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Ibu sampai jatuh sakit selama tiga hari.

Kulihat arloji di tanganku, waktu sudah berjalan dua puluh tujuh menit. Itu artinya waktu yang diberikan Danton hanya tinggal tiga menit lagi habis. Aku membayar jasa wartel yang aku lakukan tadi dan langsung berlari kembali ke lapangan batalyon untuk masuk barisan.

"Serka Teguh Kuncoro, kenapa terlambat masuk barisan?!" namaku dipanggil dan teguran dari danton pasti aku dapatkan karena dua menit yang lalu seharusnya aku sudah masuk barisan.

"Siap salah, Ndan, ke wartel untuk telepon orang tua!" suaraku lantang menjawab pertanyaannya.

"Ponselmu ke mana?"

"Siap, Ndan. Ponsel saya tinggal di rumah agar mudah menghubungi orang tua." aku menjawab apa adanya. Untuk membeli lagi masih belum begitu penting saat ini. Mengingat tujuanku untuk melunasi hutang bapak yang masih sedikit lagi. Jika nanti sudah ada uang, aku tinggal membelinya. Namun, jika aku yang memberikan uang ke ibu, pasti uang itu ditabung dan tidak jadi dibekukan ponsel.

"Push up sepuluh Kali sebagai hukuman."

"Siap, Ndan." aku laksanakan perintah itu karena sudah konsekuensi keterlambatanku masuk barisan.

Pengarahan dan pelepasan segera dilakukan oleh komandan balatyon. Ada yang keluarganya mengantar dan menunggu di pinggir lapangan untuk menunggu upacara pelepasan pasukan. Pesan dari Danyon selalu kami ingat. Laksanakan tugas sebaik-baiknya, pulang dengan selamat dan membanggakan.

***

Penerbangan dari Bandara Adi Sumarmo Solo sampai Aceh lumayan cukup lama dan kami bisa memanfaatkan untuk memejamkan mata beberapa waktu. Sampailah kami di sini, komandan langsung memberikan pengarahan dan penguasaan peta pada daerah yang akan kami jaga nanti. Tempatnya cukup jauh dari tempat landas kami. Harus menyusuri jalan setapak untuk sampai di sana.

Penglihatanku dimanjakan dengan penampakan alam yang sangat indah. Warna hijau mendominasi penglihatan kami. Jalan setapak ini terlihat gundul, mungkin karena sering dilalui oleh pejalan kaki.

"Kita istirahat dulu. Perjalanan kira masih lumayan jauh." perintah Danton dan kami semangat untuk itu.

Rasa haus sudah tak tertahan lagi, aku meraih pipet untuk membasahi tenggorokan dan memusnahkan dahagakan.

"Sebentar lagi kira memasuki kawasan rawan, tetap waspada dan jaga kekompakan. Kira tidak tahu pemberontak itu sedang mengintai kedatangan kira atau tidak."

Peringatan komandan selalu mengutamakan keselamatan anggotanya. Medan yang sekarang ini baru bagi mereka belum tahu seluk beluknya.

== Bersambung ==

Terima kritik yang sudah mampir di sini. Jangan lupa vote dan komennya agar kami semangat meneruskannya

Solo, 22 Oktober 2020

Di Batas SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang