Bab 26. Tangis Pilu
Seulanga
Semenjak sudah ditentukan hari pernikahan aku dan Bang Halim, Ayah tidak lagi mengizinkan aku keluar sebentar pun. Aku merasa terpenjara di rumah sendiri. Tidak ada ruang bebas untuk bergerak.
Seolah tahu, jika sedikit saja diloggarkan pengawasan untukku, maka bisa saja aku kabur. Padahal, aku tidak akan melakukan hal bodoh itu. Jika pun menolak pernikahan ini, bukan berarti aku akan kabur dan menikah liar dengan Mas Teguh. Bagiku, tanpa restu maka pernikahan itu tidak akan terjadi.
Berita lamaran keluarga Bang Halim tempo hari memang berpengaruh besar terhadap penilaian masyarakat pada keluarga. Murid-murif ngaji ayah mulai ramai kembali seperti biasanya. Juga, tidak ada lagi tuduhan cu'ak pada ku seperti beberapa waktu lalu. Sosok Bang Halim yang dikenal sebagai pejuang yang cukup kompeten membuat citra baik keluargaku kembali pulih. Aku tidak tahu harus bersyukur atau merasa sedih akan fakta ini. Aku terjebak di antara dua lelaki dengan dua prinsip yang sangat bertolak belakang. Namun, keduanya sama-sama lelaki yang baik dan bertanggung jawab pada tugas yang diembannya.
Aku tahu dan sadar, jika pada akhirnya menerima pernikahanku dengan Bang Halim bukanlah pilihan yang buruk. Setidaknya, ia tidak akan dengan sengaja menyakitimu. Namun, jika berbicara tentang cinta. Aku tidak bisa berpaling pada sosok tentara itu, Mas Teguhku.
Entah bagaimana kabarnya lelaki itu sekarang? Sudah lama aku tidak mendapat kabar tentangnya. Aneh memang, jika dulu sosoknya kerap kali muncul tanpa di sengaja di hadapanku maka kini dia seperti hilang di telan bumi. Aku sering memperhatikan tentara yang sedang bertugas di sekitaran rumahku, tetapi tidak sekali pun ada sosoknya di antara tim yang sedang patroli tersebut. Entah apalagi rencana semesta kali ini, aku ingin sekali menatapnya agar rindu ini tertuntaskan.
"Assalamualaikum, Anga," ucap sebuah suara membuyarkan lamunan ku. Aku bergegas keluar karena hafal betul suara itu. Cut, sahabatku kembali datang berkunjung. Aku bersyukur, setidaknya masih ada dia yang bisa kujadikan teman bercerita di kala resahku.
"Wa'alaikumsalam, Cut. Masuk ke kamar loen¹ aja yuk," pintaku memberi kode agar dia mengikuti langkahku ke kamar. Aku butuh ruang privasi dengannya agar bisa leluasa bercerita.
Setiba di kamar Cut bercerita jika ia bertemu dengan Mas Teguh kemarin. Ah, mendengar namanya saja membuat dadaku berdesir halus.
"Pak Teguh bilang agar kamu gak usah terlalu gusar, dia akan mencari cara agar hubungan kalian bisa terus berlanjut," cerita Cut dengan semangat.
"Bener dia bilang gitu?" tanyaku antusias.
Aku senang mendengarnya. Setidaknya, Mas Teguh tidak pasrah begitu saja pada keadaan. Walaupun aku tahu, kemungkinan mendapat restu itu hampir mustahil, tetapi mengetahui lelaki itu mau berjuang untuk hubungan kami membuat aku merasa bahagia.
"Jangan terlalu senang, aku tidak mau kalian terlalu berharap. Kamu harus jadi sosok yang kuat dan sabar, karena bisa jadi tidak semua harapan bisa jadi kenyataan," ungkapnya penuh penekanan.
Cut mengingatkan agar aku tetap kuat dan sabar. Dia meminta agar aku bisa lebih bijak dalam bersikap agar tidak lagi mengundang kemarahan sang ayah. Menurut Cut, sikap ayah merupakan salah satu cara untuk melindungi putrinya. Meski salah, ayah tidak bisa disalahkan begitu saja. Keadaan telah membentuk karakter ayah menjadi begitu kuat dan tegas. Prinsipnya tidak akan mudah luluh begitu saja. Dalam hati, aku membenarkan pernyataan Cut tersebut.
***
Azan magrib berkumandang dari toa Meunasah terdengar sayup di telinga. Aku bergegas bangkit dan mengambil wudhu untuk melaksanakan kewajiban ku sebagai seorang Muslim. Biasanya, setelah shalat dan berdoa hatiku menjadi lebih tenang dan damai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Batas Senja
Historical FictionPremis : (( Complete)) Seulanga hanya ingin menikah dengan Teguh Kuncoro, seorang tentara yang sedang bertugas di Aceh saat itu. Namun, karena kebencian keluarganya pada Jawa dan tentara di tengah kemelut perang saudara, keduanya tidak bisa mendapat...