Bab 18. Mencuri Waktu
Seulanga
Aku sudah mematut diri di cermin sebanyak dua kali. Namun, tetap saja aku mengulanginya lagi. Apapun yang biasa aku kenakan terasa tidak cocok, padahal biasanya tidak ada yang salah dengan baju-baju itu.
Kemarin sore Cut datang ke rumah. Dia sengaja mengajakku ke pasar untuk membeli bekal baju.
"Baju seragam Bunda sekolah sudah pudar, kamu jahit yang lain sebentar ya," dalih Cut sengaja membesarkan volume suaranya. Ayah dan Mak sangat dekat dengan Bunda Cut yang berprofesi guru SD.
Beberapa kali Bunda Cut sering membantu perekonomian keluarga kami. Makanya, walau bagaimanapun Ayah tidak pernah melarang pertemanan ku dengan gadis bertubuh pendek itu.
Hal inilah yang dijadikan Cut sebagai alasan. Dia mengajakku ke pasar agar bisa memilih bakal kain seragam sekolah Bundanya.
"Seseorang ingin bertemu denganmu," bisik Cut ketika Ayah tidak memperhatikan lagi obrolan kami.
"Jangan telat pulang, sehabis cari kain Bu Nurmala langsung pulang," perintah Ayah tegas.
Aku hanya bisa mengangguk pasrah. Diberi izin keluar saja rasanya sudah syukur banget. Rasanya adrenalinku terpacu dengan cepat. Ini sama seperti hari-hariku di masa mengantar makanan ke hutan. Aku takut ketahuan tetapi tidak sabar bertemu sang pujaan.
Tepat jam 9, Cut datang menjemput. Ayah dan Mak sudah berangkat ke ladang sejak pagi. Biasanya mereka baru akan pulang sore jika sedang panen. Aku punya waktu sampai siang.
Dengan sepeda milik Cut, kami berboncengan menuju pasar yang letaknya lumayan jauh dari Gampong. Kami mengayuh sepeda secara bergantian agar tidak terasa lelahnya.
Sesampainya di pasar, Cut mengantarkan aku ke sebuah warung bakso dekat pasar ikan. Mas Teguh sudah menunggu di sana dengan senyum lebarnya. Membuat aku berdebar tidak karuan. Tidak seperti biasa, hari ini lelaki itu tidak memakai seragam kebanggaannya.
Mas Teguh tampil menawan dengan baju kaos warna gelap dan celana jeans. Dia juga memakai topi sebagai penutup kepalanya. Entah kenapa, tampilan Mas Teguh yang berbeda ini terlihat sangat menawan di mataku.
Kulitnya yang sedikit gelap namun bersih membuatnya sangat tampan. Aku sampai kehilangan kata-kata begitu berdiri di hadapannya.
"Seulanga, woy," sentak Cut menyadarkan ku dari keterpanaan ini. Gadis itu menatapku kesal yang ku balas dengan cengengesan.
"Terpesonanya nanti saja, ya. Sekarang dengerin aku dulu," ujarnya dengan kerlingan jahil. Aku sampai mencubit pinggangnya gemas karena malu.
"Aku bakal cari bakal kain baju buat seragam Bunda. Kalian ngobrol aja dulu disini. Jam 12 aku datang jemput. Ingat, hati-hati," petuah Cut pada kami berdua. Setelah itu, dengan sepeda andalannya, Cut bergerak menjauh.
Aku sangat bersyukur punya sahabat sepengertian dia. Tanpa Cut, maka mustahil pertemuan hari ini dengan lelaki yang sedang tersenyum di hadapanku ini bisa terjadi.
"Duduk dulu, Dik."
"Iya, Mas."
Kami memilih duduk di bangku yang sedikit berada di pojokan demi privasi. Warung bakso ini sudah ada sejak lama dan jadi favorit ku dan Cut sedari sekolah dulu. Kami biasanya membeli bakso yang terkenal enak ini setiap lebaran saja. Maklum, biasanya hanya saat lebaran uang terasa lebih sedikit.
Mas Teguh memesan dua mangkuk bakso untuk kami. Tidak lupa Syrup orange jadi menu favorit setiap kali makan di sini. Mas Teguh ikut saja apa yang sering ku pesan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Batas Senja
Historical FictionPremis : (( Complete)) Seulanga hanya ingin menikah dengan Teguh Kuncoro, seorang tentara yang sedang bertugas di Aceh saat itu. Namun, karena kebencian keluarganya pada Jawa dan tentara di tengah kemelut perang saudara, keduanya tidak bisa mendapat...