Bab. 34 Perubahan Hidup
Seulanga
3 tahun berlalu...
Belakangan ini entah kenapa aku merasa waktu cepat sekali berlalu. Semua hal terjadi begitu cepat dan meninggalkanku sendirian di titik yang sama.
Sudah dua tahun perang ini pada akhirnya berakhir. Sebuah mimpi besar yang diharapkan oleh masyarakat Aceh selama ini. Aku bersyukur dengan keadaan ini, setidaknya tidak ada lagi nyawa yang harus berakhir sia-sia ditembus peluru nyasar. Ekonomi masyarakat pun secara perlahan mulai membaik, hasil pertanian sudah memiliki harga yang stabil di pasaran.
Di tengah banyaknya nikmat yang Allah berikan di tengah kehidupan ku yang mulai membaik. Aku merasa ada sesuatu yang kosong dalam hidupku belakangan ini. Aku merasa belakangan hidup menjadi sangat monoton dan tidak punya gairah.
"Anga, aku mau di bagian pinggang ini ditambahin Payet, ya," ujar Cut memberi saran. Saat ini aku sedang menjahit baju untuk nikahan sahabat terbaikku ini. Rasanya bahagia sekali bisa ikut berpartisipasi menyukseskan pernikahan Cut.
Sebulan lagi dia akan menikah dengan Bang Halim. Ya, Bang Halim yang dulu mau dinikahkan dengan ku. Usai perang dia turun gunung dan beralih profesi sebagai toke karet. Usahanya terbilang sukses saat ini.
Aku bersyukur saat itu membatalkan rencana pernikahan kami. Ternyata Cut diam-diam menyukai Bang Halim selama ini, hanya saja karena tahu Bang Halim mendekati ku, Cut memilih memendam perasaannya.
Seusai perang dan hubunganku dengan lelaki tersebut bubar, rupanya mereka menjadi dekat. Cut yang saat ini sedang menyelesaikan kuliah diploma tiga nya jadi lebih sering berinteraksi dengan Bang Halim.
Awalnya aku sempat kaget pas Cut mengaku di lamar Bang Halim. Namun, akhirnya aku bersyukur Bang Halim sudah bahagia dengan pilihan hatinya. Kurasa memang mereka sangat serasi sebagai pasangan.
"Bawel banget sih, pokoknya tenang aja. Aku bakal jahit baju pengantin terbaik buat kamu, sahabatku," sahutku menyikapi saran Cut dengan bercanda. Tentu saja aku akan menyanggupi keinginannya untuk mendapatkan yang terbaik di hari pernikahannya nanti. Setidaknya Cut selama ini adalah orang pertama yang selalu mendukung keputusanku.
"Gak nyangka ya, sebentar lagi aku bakal nikah," ungkap Cut sambil.menopang tangan di dagu. Matanya tampak berminat setiap kali membicarakan pernikahan.
"Lah, masak gak nyangka. Apa kemarin Bang Halim ngelamarnya dalam mimpi mu?" godaku.
"Ih, tega. Ya beneran lah," ralat Cut cemberut. Tawaku buyar seketika melihat wajah kesal Cut.
"Atau kamu sebenarnya gak rela ya aku yang akhirnya menikah dengan Bang Halim?" selidik Cut sambil menatapku curiga. "Kamu mulai sadar suka sama calon suamiku, ya?"
"Kelihatan ya?"
"Ya Allah, Anga," pekik Cut kaget dan menutup mulutnya. Aku nyaris menyemburkan tawa melihat wajah pias di depanku kini.
"Aku sebenarnya malu mengakuinya," tambah ku makin dilematis. Rasanya senang sekali menggoda Cut sekarang ini.
"Ak-aku... Nga, aku pikir kamu...," ucapan Cut jadi terbata-bata, matanya mulai berkaca. Ya Ampun, dia benar-benar menanggapi serius ucapan ku.
Seketika saja tawaku pecah. Aku sampai memegangi perut karena tidak sanggup tertawa terlalu kencang. Cut memicingkan mata gesit, sepertinya sudah mulai paham guyonanku.
"Tega banget kamu, ih."
***
Belakangan hidupku mungkin terasa menyenangkan. Aku membuka kustum menjahit di rumah untuk gadis-gadis desa yang ingin belajar. Di hari yang lain, aku juga mulai menata kembali hidupku yang sempat kacau.Mungkin di mata orang lain, aku sudah baik-baik saja sekarang. Bagi mereka, aku terlihat sudah bahagia dengan hidupku yang sekarang. Hanya saja mereka lupa, atau mungkin tidak tahu. Jika aku pandai menutup luka untuk diriku sendiri.
Setiap malam aku selalu menangis ketika rasa rinduku pada lelaki itu muncul. Waktu ternyata tidak mampu mengubah perasaanku ini. Namanya selalu ada dan terukir rapi di salah satu sudut hatiku yang selalu kubiarkan kosong.
Mas Teguh.
Aku tidak tahu bagaimana kabarnya sekarang. Apakah dia selamat setelah menjalani perawatan di kota kelahirannya? Atau justru takdir, ah aku tidak ingin hal itu terjadi. Bisa saja dia sudah sehat dan menikah sekarang. Mungkin dia sedang menantikan kelahiran anak pertamanya atau bahkan kedua. Aku sungguh tidak tahu.Tidak ada yang bisa kutanya kabar tentang sosoknya.
Aku menyesal kenapa dulu tidak meminta nomor telepon atau handphone yang bisa dihubungi. Hingga mereka kembali dipulangkan setelah perjanjian damai diikrarkan, aku tidak juga kembali mendengar berita tentangnya. Segala akses untuk mengetahui keberadaanya seolah di telan bumi.
Aku tidak tahu sampai kapan perasaan ini terus mengakar di relung hatiku. Teman-temanku sudah pada menikah dan akan menikah. Mila misalnya, ia sedang hamil tua sekarang setelah menikah dengan seorang tentara yang memiliki bascamp di sebelah gampong kami. Penolakan tegas Mas Teguh waktu itu sempat heboh seantero desa. Minah lain lagi ceritanya, anaknya sudah dua. Dia baru saja melahirkan bulan lalu. Anak pertamanya sudah berumur dua tahun setengah. Bahkan, adikku Runi akan menikah tahun depan dengan seorang guru muda di sekolah ia belajar dulu.
Ayah tidak lagi memaksa aku harus menikah dengan siapa. Semua hal yang terjadi di masa lalu jadi pelajaran bagi kami untuk tidak mudah menilai seseorang dari covernya saja. Bagi ayah, yang penting kami anak-anaknya bahagia. Lagipula, aku belum siap jika harus menikah sekarang. Walaupun selama tiga tahun ini ada beberapa lelaki mencoba mendekati, tapi hatiku belum bisa terbuka. Ada sosok lain yang sudah menetap di sana dan enggan pindah.
Kadang aku heran, aku merasa selalu merindukan Mas Teguh setiap waktu. Di sisi lain, aku tahu mengharapkan Mas Teguh adalah sesuatu yang mustahil. Namun, aku tidak bisa mengenyahkan pemikiran jika seandainya ia datang kembali dalam benakku.
Sekarang aku hanya ingin menjalani waktu dengan sebaik mungkin. Tidak tahu, nanti pada titik yang mana takdir akan membawa ku. Setidaknya aku sudah berusaha menghargai nikmat yang sudah diberikan dalam hidupku selama ini.
Aku terus belajar hari demi hari. Aku bekerja demi kebahagiaan diriku sendiri. Apapun yang kulakukan, semuanya untuk memastikan jika aku akan bisa terlihat baik-baik saja.
Tiga tahun itu bukan waktu yang singkat. Banyak hal telah terjadi selama 3 tahun ini. Mulai dari musibah mahadahsyat yang menghantam sebagian besar bumi Serambi Mekkah ini. Perjanjian damai disetujui dan kehidupan masyarakat kembali normal. Jikapun masih ada yang sama, yaitu perasaan dan harapanku.
Setahun pertama, sudah tidak terhitung seberapa sering aku membaca surat terakhir Mas Teguh. Setiap sore, aku selalu menghabiskan waktu di tempat-tempat kenangan kami. Semuanya kulakukan hanya untuk mengobati rasa rinduku padanya.
Baru kemudian aku mengubah kebiasaan itu. Aku mulai menunjukan pada orang-orang, jika aku sudah bisa berdamai dengan masa lalu. Aku mulai membuat orang-orang percaya bahwa aku sudah melupakan semuanya dan siap memulai hidup baru. Walaupun aku tahu, semua itu semu. Mas Teguh sudah pergi dan hatiku masih berdiam di tempat yang sama.
Bersambung...
🌼🌼🌼🌼
Kasihan Seulanga, masih menanti kabar dari Mas Teguh. Apakah mereka masih ditakdirkan bersama?
Jangan lupa kunjungin akun partnerku juga ya Nurulnh07
Vote dan komennya.
Terima kasih banyak
Salam
Anik Norafni
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Batas Senja
Historical FictionPremis : (( Complete)) Seulanga hanya ingin menikah dengan Teguh Kuncoro, seorang tentara yang sedang bertugas di Aceh saat itu. Namun, karena kebencian keluarganya pada Jawa dan tentara di tengah kemelut perang saudara, keduanya tidak bisa mendapat...