Bab 6

83 19 2
                                    

Bab 6
Seulanga
Pandangan Mulai Berubah

"Abang antar pulang, ya?" tawar Bang Halim begitu aku berpamitan pada Pakwa. Hari ini aku kembali ke markas pejuang ini untuk menjalankan tugasku seperti biasanya. Minggu lalu, Pakwa memintaku membawa beberapa barang yang dibutuhkan.

"Gak usah, Bang. Keadaan sedang tidak aman, sebaiknya aku pulang sendiri aja," tolak ku halus. Aku tidak mau Bang Halim tertangkap sepulang dari mengantarku. Tadi Razak sempat bercerita jika dua hari yang lalu melihat tentara melintas tidak jauh dari tempat mereka mendirikan gubuk ini. Untungnya, karena tempat ini sedikit lebih tersembunyi dan tidak dibiarkannya ada jejak manusia kemari, jadi mereka tidak mengendus tempat persembunyian mereka. Karena hal itu juga, untuk sementara aku tidak diizinkan kemari lagi. Selama tentara itu masih menetap di Gampong maka Aku tidak boleh terlibat.

"Gini aja, Abang antar sampai ujung jalan saja. Mendekati perbatasan Gampong, Adek baru jalan sendiri ke rumah, yuk." Bang Halim langsung bergegas berjalan duluan setelah mengucapkan ide tak terbantahkannya itu. Mau tidak mau, aku mengikuti lelaki berbadan tegap dan berkulit sawo matang itu dari belakang.

Bang Halim dekat denganku semenjak aku masih kecil. Dulu, dia sering memboncengiku naik sepeda ketika pergi ke sekolah bareng.

Semakin tumbuh besarnya kami, pertemuan kami menjadi jarang terjadi karena tidak elok rasanya pertemanan antara lelaki dan perempuan di desa kecil ini. Aku kembali dekat dengan Bang Halim ketika sering mengantar barang-barang keperluan Pakwa hutan. Saat itu aku baru tahu, Bang Halim sudah lama bergabung jadi gerilyawan. Bahkan saat ini dia sudah dipercayai sebagai panglima perang untuk wilayah ini. Menurut cerita Razak, taktik perangnya hebat dan instingnya jarang meleset.

"Sudah lama ya tidak mengantarkanmu pulang pergi begini lagi. Dulu kamu masih kecil ketika duduk di boncengan sepedaku," ujar Bang Halim mengenang masa lalu ketika kami menyusuri jalan setapak menuju Gampong.

Aku tertawa kecil menanggapinya. Kami bercerita banyak hal sepanjang perjalanan. Sesekali kami tertawa ketika ada hal lucu yang kami bicarakan. Tangan Bang Halim gesit menyibak semak yang jadi penghalang jalan. Karena kami tidak pernah melewati jalan yang sama ketika pulang pergi, agar tidak terendus siapa pun.

Seperti biasa, Bang Halim selalu mengutamakan kenyamanan ku terlebih dahulu.

"Menurut abang, tentara itu jahat gak?" tanyaku teringat tentang perdebatan dengan tentara bernama Teguh tempo hari.

"Tergantung, Dek."

"Loh, bukannya mereka musuh kita?" dalihku. Tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti ini dari orang yang sudah bertahun-tahun harus bersembunyi karena kehadiran tentara.

"Jika dalam perang iya, mereka adalah musuh yang harus dilumpuhkan. Mereka di kirim kemari untuk menahan perjuangan kita selama ini," jelas Bang Halim.

"Tapi?"

"Tapi jika kita lihat dari sosok pribadinya, mereka juga manusia biasa. Mereka berperang karena itu memang tugas mereka, pekerjaan yang mereka pilih. Sama seperti Abang, mereka juga terjebak keadaan. Dulu sekali, sebelum abang memutuskan masuk hutan, ada tentara yang baik menolong Abang. Intinya, tentara itu ya manusia. Mereka ada yang jahat, licik, dan sadis tapi ada juga yang baik, shaleh dan dermawan. Semua itu tergantung lagi sama pribadinya mereka," imbuh Bang Halim panjang lebar. Apa aku selama ini salah sudah sebenci itu sama manusia-manusia berseragam militer itu?

"Kita membenci mereka karena idealismenya berseberangan dengan kita. Kita berjuang agar lepas dari negara ini yang sudah tidak adil pada rakyat kita, mereka berjuang demi mempertahankan negaranya. Terjadilah perang. Makanya Abang selalu melarang anak-anak agar tidak  langsung main bunuh jika tidak ada penyerangan. Kita menyerang pun tidak harus selalu dengan membunuh, kita bisa tawan mereka, ancam mereka atau banyak cara lain, untuk memukul mundur ketika mereka menyerang," sambung Bang Halim membuat aku berpikir lebih dalam.

Di Batas SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang