Kebencian yang Nyata
Seulanga
Hidup dan tumbuh besar di tengah gejolak perang yang tak kunjung usai membuat kami menjadi sosok yang tangguh dan berani. Aku tidak lagi mengingat kapan terakhir kali rasa takut hinggap di dada. Keadaan memaksa kami harus mampu bertahan dengan kedua kaki sendiri.
Seperti hari ini, dengan rok lipit, baju kaos lengan panjang dan juga kerudung yang menutup kepalaku asal, aku menelusuri jalanan setapak dengan hati-hati. Di tangan kanan, aku menjinjing rantang makanan yang sudah ku isi penuh dengan aneka lauk. Sedangkan tangan kiri kugunakan untuk memegang kantong kresek yang di dalamnya berisi beberapa buah pisau tajam.
"Hati-hati, Nga. Duh, aku selalu khawatir deh kalau kamu udah masuk hutan, gini?" ujar Cut Fatma, sahabatku saat kami berpapasan di jalan.
"Do'akan saja, Cut. Siapa tahu pulang dari sana, aku bisa dapat wangsit supaya bisa jadi Putri Hutan yang cantik," godaku agar Cut tidak terlalu cemas.
"Seulanga Maulidia, jangan aneh-aneh," sungut Cut kesal. Aku terkekeh pelan melihat wajah cemberutnya. Sebagai sahabat baik ku, aku tahu Cut sangat khawatir dengan keselamatanku. Namun, ini sudah kewajiban yang harus kulakukan agar Ayah tidak lagi masuk hutan.
"Iyaa, Aku akan pulang dengan selamat. Dadaah," jawabku sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Aku tahu perjalanan ini penuh resiko, tapi sebagai wanita yang hidup dalam keadaan yang tidak memungkinkan ini, aku tidak boleh jadi lemah.
Tanpa gentar, langkahku terus berjalan menuju satu tempat yang dijadikan markas bagi pejuang-pejuang tangguh kami mempertahankan harga diri daerah. Sesekali aku berhenti untuk mengamati sekitar, jika terasa aman maka aku melanjutkan perjalanan yang butuh waktu sejam untuk sampai ke tempat tujuan dengan berjalan kaki.
Menjelang siang hari, aku sampai ke tempat tujuan. Seseorang yang sudah familiar dengan wajahku mendekat dengan senyum lebar.
"Lihatlah, siapa yang datang!" ujarnya setengah berteriak dan senyum lebar yang tak kunjung surut. Melihat senyum senangnya, Aku ikut menarik garis bibir ke atas.
"Assalammualaikum, Pakwa¹!" ucapku memberi salam begitu kami bertemu. Tanganku terulur mencium tangan kanannya takzim. Ia adalah abang kandung ibu yang sudah bergeriliya di hutan hampir sepuluh tahun lamanya.
Aku menyerahkan rantang pada Razak, anaknya yang juga merupakan sepupuku. Kami sebaya, Razak bergabung jadi gerilyawan mengikuti jejak ayahnya sejak dua tahun terakhir. Sedangkan Ayahku memilih menetap di Gampong, karena dia punya kewajiban menyampaikan paham agama pada anak-anak desa.
"Ini pisau yang Pakwa minta minggu lalu. Aku cuma bisa dapat segini, Ayah tidak mungkin mencari dan membeli lebih, takut ada yang curiga," jelasku seraya menyerahkan kantong kresek yang kubawa tadi pada Pakwa begitu aku duduk di dalam gubuk.
"Kamu selalu keren, Nga. Kenapa gak bergabung sama wanita pejuang yang lain aja, sih?" celoteh Razak sambil membuka tantangan dan membaginya dengan teman yang lain. Aku menanggapinya dengan senyum kecil mendengar pertanyaan Razak.
"Udah, aku gini aja, sih. Belum siap jadi bagian dari kalian. Setidaknya, Aku selalu siap membantu dengan cara lain, kan?" jawabku. Sebenarnya bisa saja sih aku bergabung, hanya saja ada satu sudut hatiku yang merasa belum siap bergabung.
"Iya, sih."
"Nah, itu poinnya," ujarku mantap. Pakwa yang duduk di seberang hanya diam tidak menanggapi apa-apa.
"Oh ya, Bang Halim mana? Kok aku gak lihat sedari tadi," tanyaku penasaran sambil menoleh kiri kanan.
"Kenapa nyariin Bang Halim, rindu ya?" goda Razak membuat pipiku merona. Aku malu karena Razak menggodaku di depan Pakwa.
"Apa-apaan, sih? Aku cuma nanya doang," sungutku kesal. Halim itu salah satu anggota gerilyawan yang lumayan dekat denganku. Sosoknya yang ramah dan baik membuat aku mudah dekat dengannya. Tapi hanya sebatas itu, untuk rasa lain aku rasa belum merasakannya. Namun, jika suatu hari nanti tidak menemukan lelaki lain yang aku suka, aku mau-mau aja sih dijodohkan sama dia. Aku tersenyum sendiri mengingat pikiran tersebut mampir di kepalaku.
"Udah, jangan ngawur. Aku pulang dulu, ya. Assalamualaikum," sambungku.
Setelah berpamitan, aku bergegas pergi dari sana dan beranjak pulang sebelum langit sore.
Aku dengar hari ini tentara pusat akan mengirimkan tenaga tambahan dan menempati bekas gudang pinang di ujung gampong² tempatku tinggal. Jika aku kurang cepat, bisa-bisa aku ketahuan dan bisa tertangkap.
Sebenarnya aku lelah harus menjalani hidup seperti ini. Jiwaku sebagai wanita muda yang ingin hidup damai tidak bisa menerima keadaan. Bagaimana tidak, perang telah merenggut banyak hal dariku.
Aku tidak bisa lanjut kuliah karena ekonomi keluarga makin memburuk semenjak keadaan semakin memanas. Tamat SMA pun aku harus berjuang keras, berangkat sekolah di tengah suasana tidak aman agar bisa lulus.
Padahal aku punya cita-cita ingin menjadi guru suatu hari kelak. Namun, karena perang ini membuat kami harus merelakan semua impian ini.
Aku dan teman-temanku juga tidak bisa hidup sebagaimana anak muda seusiaku di daerah lain. Kami harus siap jika sewaktu-waktu suatu hal buruk menimpa kami dan keluarga.
Sudah banyak bukti yang aku lihat, bagaimana teman-temanku menjadi yatim di usia belia karena orang tua nya terbunuh orang yang tidak dikenal. Mereka dipaksa dewasa sebelum waktunya karena harus bertahan hidup tanpa orang tua bahkan keluarga yang menopang hidupnya.
Perang memang selalu jadi bumerang bagi masyarakat sipil. Dimana-mana perang selalu memakan korban paling banyak yaitu dari rakyat biasa.
Makanya aku membenci aparat negara itu. Kehadiran mereka membuat keadaan menjadi runyam dan kami hidup di bawah bayang-bayang ketakutan. Kapan saja kami bisa terbunuh tanpa sebab, kehilangan harta, benda dan keluarga.
Tidak ada yang bisa menjamin keselamatan masyarakat. Semua keadaan menjadi kacau. Warga hidup dengan perasaan was-was yang tiada berakhir.
Sesampai di perbatasan Gampong, aku segera menyusuri pinggiran sungai dan menyeberang menuju rumah. Di perjalanan aku melihat sekelompok tentara sedang membersihkan bekas gudang pinang.
Sepertinya mereka baru sampai dan akan segera menempati gudang tersebut. Untungnya aku sudah sampai ke pemukiman penduduk sebelum gelap, jika tidak mereka bisa menangkap basah apa yang kulakukan. Bisa-bisa aku langsung di tembak di tempat tanpa ba bi bu. Hal itu kan yang biasa mereka lakukan?
Memperhatikan sekumpulan manusia berseragam itu membuat perut ku mual. Aku muak melihat mereka akan menempati pemukiman ini dalam waktu yang panjang. Aku meremas jemariku dengan kuat, rasa amarah memenuhi dadaku tanpa bisa ditahan.
Aku berjalan perlahan menyusuri jalanan setapak menuju rumah. Dengan terpaksa aku harus melewati gudang yang akan jadi bascamp mereka karena hanya itu satu-satunya jalan pulang.
"Adik manis, darimana kok sendirian aja?" seruan godaan dari salah satu anggota TNI terdengar di telingaku. Mereka bersiul riuh seiring langkah yang kupercepat karena tahu mereka sedang menggodaku.
Belum apa-apa mereka sudah berlaku kurang ajar. Bagaimana jika tentara itu sudah menetap lama disini? Ah, kuharap para gerilyawan yang sedang berjuang mempertahankan harga diri masyarakat bisa segera mengusir mereka dari sini.
"Huss, jangan godain anak gadis orang," tegur salah satu dari mereka.
Aku menoleh karena kaget ada yang menegur mereka. Saat itulah, aku melihat salah satu dari mereka menatapku dengan sebuah senyuman. Dia menganggukkan kepala ke arahku.
Aku menatapnya dengan pandangan muak. Aku bergegas pulang dengan perasaan marah yang bertumpuk. Aku meludah agar dia tahu bahwa kehadiran mereka di sini benar-benar membuatku jijik.
Bersambung...
¹ Pakwa : Paman (Abang dari Ayah/Ibu)
² Gampong : Desa
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Batas Senja
Historical FictionPremis : (( Complete)) Seulanga hanya ingin menikah dengan Teguh Kuncoro, seorang tentara yang sedang bertugas di Aceh saat itu. Namun, karena kebencian keluarganya pada Jawa dan tentara di tengah kemelut perang saudara, keduanya tidak bisa mendapat...