Bab 29 #Firasat Buruk

60 19 0
                                    

Bab 29. Firasat Buruk

Seulanga

"Isi ini dan serahkan sama ayah nanti malam," perintah Ayah tanpa basa basi begitu ia pulang dari Meunasah sore itu.

"Apa ini, Yah?"

"Lihat sendiri dan isi saja," ujarnya singkat.

Aku menerima uluran kertas di tangannya dan ayah berlalu begitu saja ke dalam rumah. Rasanya tidak enak berada di posisi secanggung ini dengannya.

Begitu sosoknya hilang di balik pintu rumah, aku melihat nanar kertas di tangan. Di sana jelas terbaca formulir calon mempelai wanita dari Kantor Urusan Agama. Rasa sesak di dada kembali muncul, sepertinya niat hati bersatu dengan lelaki yang kucintai tidak akan bisa terkabul. Ayah tidak main-main dengan peringatannya.

Dengan hati yang patah dan kecewa yang tidak bisa ku sembunyikan, aku mengambil pena dari laci mesin jahit. Tanganku gemetar begitu mengisi lembaran formulir yang diberikan ayah barusan. Tinta hitam yang keluar seolah jadi jawaban bahwa sebentar lagi aku akan jadi istri orang lain. Pasangan hidup dari lelaki pilihan kedua orang tuaku. Bukan lelaki yang selalu kusebutkan namanya dalam doa-doa panjangku.

Sebentar lagi, aku akan dinikahkan dan itu artinya semua harapanku akan sirna. Tidak boleh ada lagi sosok Mas Teguh dalam pikiranku.

Entah mengapa pemikiran itu membuat perasaanku tidak tenang. Namun, obrolan dengan ibu membuat aku tidak bisa berkutik. Ibu benar, tidak ada orang tua yang tidak menginginkan kebahagian anaknya. Barangkali memang inilah jalan takdir yang telah digariskan untukku.

Aku harus ikhlas dan berlapang dada. Setidaknya Bang Halim bukan lelaki yang jahat sebagai calon suami. Dia jelas mencintaiku dengan tulus. Barangkali suatu hari nanti aku akan bisa mencintainya seperti petuah Mak. Cinta bisa datang karena terbiasa kan?

Tetapi bagaimana jika justru yang terjadi sebaliknya? Bagaimana jika setelah menikah nanti aku malah membenci Bang Halim? Aku takut menjadi istri yang durhaka.

"Ya Allah, aku pasrah pada ketetapan-Mu. Beri aku petunjuk dan lapang kan dadaku menerima semua takdir yang tertulis untukku ini," ungkapku berdoa.

Meski dengan berat hati, aku akan mencoba menjalani takdir ini dengan ikhlas. Aku pasrah dengan keadaan yang terjadi saat ini. Mungkin memang Mas Teguh bukan jodohku, dia bukan jalan takdir yang digariskan untukku. Mungkin, kehadirannya dalam hatiku sebagai pembelajaran yang belum aku tahu hikmah apa yang bisa kuambil.

Tidak terasa mataku basah begitu membubuhkan tanda tangan di akhir form yang kuisi.

***
Sore ini setelah menyelesaikan jahitan pesanan warga, aku membantu Runi di dapur. Kami memasak untuk makan malam sekeluarga. Aku menyiangi ikan dan Runi menggiling bumbu dengan batu halus. Hari ini kami berencana memasak Bandeng kuah ticrah¹.

"Tadi ayah menyuruhku mengisi formulir untuk KUA, Dek," tuturku sambil menabur garam di ikan yang sudah kubilas bersih.

"Kakak yakin mengisinya?" Runi berhenti menggiling bumbu dan menatap ke arahku. Matanya menyorotkan rasa prihatin yang terbaca jelas kepadaku.

"Kakak tidak punya pilihan kan, Dek?" tanyaku pias.

Runi tidak langsung menjawab. Tangannya kembali digerakkan untuk menghaluskan bumbu di atas batu. Tidak lama setelah itu, ia membersihkan batu halus tersebut dan membawa bumbunya ke hadapanku. Tangannya yang sudah bersih diarahkan untuk memeluk tubuhku dan ikut menangis bersamaku.

"Yang sabar, Kak. Aku berdoa agar kakak bahagia dengan apapun takdir yang dipilihkan untuk kakak," ucap Runi tulus. Aku tidak lagi menjawab dan membalas pelukannya lebih erat.

Kami menyelesaikan masakan dengan mata berkaca-kaca.

"Assalamualaikum, Kak Anga, Kak Runi," salam Keumala yang baru masuk rumah setelah pulang bermain. Ia menyalamiku dan Runi secara bergantian.

"Lapar, Kak," rengeknya padaku yang duduk sambil mengupas timun yang mau aku jadikan acar. Aku tersenyum  menanggapi rengekan adik bungsuku itu. Kebiasaan jika sudah lelah bermain ia akan mudah lapar dan meminta makan. Runi pamit untuk mandi setelah mematikan kompor beberapa menit yang lalu.

"Tunggu siap kakak buat acar dulu, ya. Mala mau makan acar kan?" tanyaku menawarkan pilihan. Gadis kecil itu mengangguk antusias sebagai jawaban. Aku hanya bisa tertawa melihat muka polosnya. Adikku ini memang selalu jadi hiburan di tengah kegelisahan yang menimpa hidupku. Tingkah polosnya yang belum tahu apa-apa seringkali mengundang tawa kakak-kakaknya.

Aku menyiapkan nasi untuk Keumala untuk mengisi perutnya yang sudah kelaparan. Aku hanya menonton ia makan dengan lahap.

Ayah dan Munir sudah ke kebun sepulang salat ashar tadi dan menyerahkan formulir padaku.

Melakukan rutinitas rumah tangga sebenarnya sesuatu yang menyenangkan untukku. Semenjak jatuh cinta dengan Mas Teguh aku pernah membayangkan betapa serunya kehidupan kami nanti.

Dalam sebuah percakapan aku dengan lelaki itu, dia menjelaskan tentang rutinitas jika nanti aku jadi ibu Persit. Selain mengurus rumah dan keluarga, ada aktivitas lain yang akan ku jalani sebagai istri tentara. Mas Teguh juga pernah menjanjikan aku untuk dibawa ke Solo ke tempat keluarganya menetap jika kami sudah menikah nanti.

Aku selalu antusias membayangkan rencana-rencana yang sudah direncanakan oleh Mas Teguh. Bagiku, hanya dengan melihat ia punya banyak rencana untuk masa depan kami sudah menunjukan jika ia serius denganku.

Ah, seandainya saja restu itu bisa turun dengan mudah. Mungkin, sekarang aku akan mempersiapkan rencana pernikahan kami dengan antusias. Bukan sebaliknya, aku malah merasa rencana pernikahan ini begitu menyesakkan.

"Kak, aku sudah selesai," ujar Mala menyerahkan piring kosong padaku. Aku meminta gadis itu mencuci tangannya dan menyuruhnya bergegas mandi. Hari sudah mulai beranjak petang, sebentar lagi akan terdengar azan magrib.

Ayah dan Munir bahkan sudah terdengar suaranya di kandang kambing. Mungkin, mereka sedang meletakkan pakan kambing yang di sabit sambil berkebun. Namun, sepertinya ada yang kurang. Apa ya?

"Kak, kok Mak belum pulang ya?" suara Runi terdengar keluar dari kamar. Nah, benar. Itulah yang terasa kurang, tidak biasanya Mak belum pulang jam segini.

"Iya juga. Apa kakak nyusul aja?"

"Tunggu bentar lagi deh, Kak."

Aku menuruti keinginan Runi untuk menunggu sebentar lagi walaupun perasaanku mulai tidak enak. Ketika ayah sudah masuk rumah pun, ia juga bertanya keberadaan Mak yang belum terlihat.

Akhirnya setelah berunding, ayah memutuskan akan menyusul Mak. Mungkin memang ada yang menyebabkan Mak jadi terlambat pulang.

Baru saja ayah hendak membuka pintu, suara tembakan terdengar beruntun dari arah barat rumah. Sepertinya dari arah bukit yang biasa kudatangi ke markas pejuang.

Mak pergi menggembala ke arah itu juga kan?

Sontak saja pikiran buruk menguasai ku. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa bisa ada baku tembak tiba-tiba begini?

Selain khawatir akan keselamatan Mak, pikiranku juga bercabang pada sosok Mas Teguh. Apakah ia ikut dalam kontak tembak tersebut?

Ayah mencoba menenangkan kami semua dan menyuruhku menjaga adik-adik di rumah. Ia bergegas keluar rumah dan menggantikan arah tujuannya ke rumah Pak Keuchik² untuk mencari bantuan untuk mencari Mak. Tidak mungkin ia berangkat sendiri ke arah bukit yang sedang tidak kondusif.

Bersambung...

🌼🌼🌼🌼

Pasrah sudah Seulanga. Terus bagaimana nasih Mas Teguh?

Part ini ditulis oleh partnerku Nurulnh07

Bagaimana kelanjutan ceritanya?  Ikuti terus ya.
Jangan lupa vote dan kemennya agar kami semangat sampai selesi.

Terima kasih

Salam manis

Anik Norafni

Di Batas SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang