BAB 3

229 17 5
                                    

Dering bel yang terdengar ke seluruh penjuru sekolah disambut para siswa dengan bersorak gembira. Hari ini akhir pekan. Itu artinya, mereka akan libur selama dua hari ke depan. Kelas Andit tak kalah hebohnya. Ruangan itu riuh dengan suitan, tawa gembira, dan derak meja dan kursi yang bergeser saat mereka berdiri dari tempatnya masing-masing. Buku-buku yang tadinya memenuhi meja, satu per satu sudah kembali masuk ke dalam tas. Dari tempatnya, Andit juga mendengar keluhan dari beberapa siswa yang sudah tidak sabar menunggu Bu Widya mengakhiri pelajaran dan keluar dari kelas. Matematika di jam terakhir memang terasa sangat melelahkan.

"Yuk, buruan." Amel menghampiri meja Andit setelah Bu Widya meninggalkan kelas.

"Eh, lo duluan aja ga apa-apa, Mel, Ki? Gue ada rapat panitia Pensi soalnya." Andit memasang wajah -aku-minta-maafnya- dan menyatukan dua telapak tangannya di depan dada. Tadi dia lupa memberi tahu Kiki dan Amel kalau hari ini akan ada rapat pensi.

"Oh, yang tadi Kak Satria bilang, ya?"

"Hu'um. Lo berdua pulang duluan, ya. Entar gue cari angkot aja." Andit mengucap "sorry" tanpa suara dan mengerjab-ngerjabkan matanya, berharap Kiki dan Amel memaklumi.

"Kak Satria cakep, ya. Kayanya dia belum punya pacar deh. Ehem ... gue doain. Good luck, ya."

"Apaan sih, Mel?"

"Eh, tuh Satria Baja Hitam datang." Amel menunjuk ke arah pintu. Sontak Andit juga mengikuti arah pandang Amel. Tidak ada Satria, tentu saja. Hanya beberapa siswa yang masih menunggu jemputan mereka. Amel dan Kiki tertawa puas melihat ekspresi Andit yang terlihat shock. Menyadari ia tengah dipermainkan, pipi gadis itu bersemu karena malu. Andit lalu menyibukkan dirinya dengan membereskan buku-buku yang masih berserakan di meja.

"Ya ampun, Ndit. lo kaya kaget banget. Sorry ... sorry, ya udah, gue sama Kiki  duluan, ya." Amel dan Kiki melempar kiss bye dengan gaya genit yang dilebih-lebihkan. Andit jadi tertawa melihat teman-temannya itu.

Amel dan Kiki berasal dari keluarga berada. Semula Andit sedikit minder berteman dengan mereka. Namun sikap mereka berdua pada Andit tak pernah menunjukkan perbedaan. Pernah suatu kali ada tugas belajar kelompok. Karena rumah Andit yang terdekat dari sekolah, mereka memutuskan mengerjakan tugas itu di rumah Andit. Berbeda dengan rumah mereka yang mewah dan berkelas, rumah Andit hanya sebuah rumah mungil sederhana. Namun mereka terlihat biasa saja saat mengetahui itu.

Amel dan Kiki juga sering mentraktir Andit. Andit tahu, ia tidak bisa membalas traktiran teman-temannya dengan makanan-makanan mewah, jadi ia membalasnya dengan membawakan masakan-masakan Ibunya. Amel dan Kiki senang sekali kalau Andit membawakan bolu buatan Galuh.

Terkadang Andit merasa iri dengan kehidupan kedua temannya itu. Mereka berada, dan memiliki keluarga yang utuh dan bahagia. Berbeda sekali dengan Andit. Tak jarang dia harus menunggu tabungannya penuh untuk mendapatkan apa yang ia butuhkan. Ia sadar tak bisa bermain-main demi bisa bersekolah di tempat ini. Karena itu ia bekerja keras agar nilainya selalu sempurna untuk mempertahankan beasiswanya. Andit juga menyadari bahwa ia harus bersungguh-sungguh agar cita-citanya untuk sukses menjadi kenyataan. 

Ketika ia masih di Sekolah Dasar, teman-temannya akan dijemput saat pulang sekolah. Sementara Andit, harus berjalan kaki sendirian. Untung saja jarak rumah dan sekolahnya tidak terlalu jauh. hanya lima belas menit berjalan kaki.

Andit juga harus mengurus dirinya sendiri sepulang sekolah. Karena Galuh baru pulang bekerja disore hari. Tak jarang Galuh menitipkan Andit pada tetangga mereka. Kadang rasa iri menyelinap masuk saat melihat anak-anak sebayanya bermain bersama ayah dan ibu mereka. Dibelikan es krim atau boneka kesukaan mereka. Sedangkan Andit tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Bahkan ia lupa bagaimana wajah ayahnya.

Sering Andit bertanya tentang sang Ayah pada ibunya. Namun Galuh tidak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Saat itu, Galuh bingung bagaimana harus menjelaskan semuanya pada Andit kecil. Sehingga dia sering mengalihkan pertanyaan-pertanyaan putrinya itu dengan hal yang lain.

Anindita menyandang tas sekolahnya. Dia menuju ruang OSIS yang berada di ujung lapangan basket. Andit melewati lorong sekolah yang mulai sepi. Beberapa orang siswa dari ekskul Pramuka sedang melakukan latihan di lapangan. Andit suka melihat mereka saat latihan baris berbaris seperti itu. Sesaat ia berhenti untuk melihat formasi-formasi keren yang ditampilkan anak dari ekskul Pramuka.

"Andit! Masih di sini? Yuk, ke ruang OSIS." Suara Satria yang tiba-tiba mengagetkan Anindita. Gadis itu gelagapan. Mulutnya sudah membuka ingin mengatakan sesuatu. Namun urung ia katakan. Hanya sebuah anggukan kecil yang ia lakukan. Gadis itu bergegas mengikuti langkah Satria, menyejajarkan langkah mereka berdua. Berada  di dekat lelaki itu, Andit merasa jantungnya ditabuh kencang serupa genderang perang. Berdetak tak beraturan seolah ingin melompat keluar dari rongga dadanya. Gadis itu menarik napas panjang berkali-kali, berharap Satria tidak menyadari gejolak yang tengah terjadi pada dirinya saat ini.

"Kamu kok kaya panik gitu? Kenapa?"

"Eh, uhm ... itu. Aku belum baca materi rapatnya, Kak." Andit menjawab asal pertanyaan Satria.

Sekilas Andit melihat Satria menggigit bibir bawahnya, lelaki itu menahan tawanya. "Nggak usah panik. Tenang, aku udah siapin materi buat nanti. Kamu ikutin aja, ya." Satria menepuk lembut puncak kepala Andit.

Andit kini merasa bagai diguyur seember es. Panas dan gigil menjadi satu. Dia yakin sedang tidak demam. "Tuhan, jangan biarkan aku pingsan di sini," bisiknya.

***

Eeeaaaaa... Satria baja hitam, ya salam, ketahuan banget aku kelahiran tahun berapa ya nggak.. Tinggalin vomen kalian, krisan sana sini juga oke. Pokoknya, ramaikan! 😂😂😂

Missing Dad (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang