Bab 18

182 14 2
                                    

Adegan di depannya membuat Burhan seperti disayat sembilu. Tangan kanannya menyibak tirai hijau perlahan. Kaki terasa berat saat langkahnya mendekati ranjang. Dia tahu lari lagi dari masalah hanya akan semakin menyakiti Andit.

Tangan kiri Burhan memijat sebentar dadanya, nyeri belum juga hilang. Telapak tangan diusapnya sebentar untuk mengeringkan keringat. Burhan tertegun menatap dua orang ibu dan anak yang masih berpelukan dalam isak tangis. Hidungnya menarik napas dalam, untuk mengumpulkan kekuatan.

Pasien di ranjang sebelah sudah terbangun. Tidak bisa dipungkiri, perdebatan Andit dan Galuh cukup membuat istirahat orang di dekatnya tidak nyaman. Hati Burhan jadi getir, dialah pangkal dari segala penderitaan. Namun, Galuh yang harus ikut menanggung semua akibatnya.

Burhan bergeming, menunggu Andit dan Galuh menjadi lebih tenang. Kegaduhan hatinya mengalahkan aktivitas di koridor. Batinnya terus berkecamuk, tak berhenti menimbang langkah apa yang harus diambil untuk memperbaiki masalahnya. Pikirannya sibuk mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan semuanya pada Andit.

“Ayah yang salah, Andit.” Burhan mengatakannya dengan hati-hati.
Andit yang terkejut melihat kehadiran Burhan melepaskan pelukannya dengan Galuh. Setelah menemukan arah datangnya suara, sorot matanya kembali tajam. Burhan miris melihat sorot mata Andit yang penuh dengan kesedihan, kebencian dan sakit hati. Seharusnya masa muda bisa dia lewati dengan ceria, namun untuk memiliki kehidupan normal seperti teman-temannya saja sepertinya sulit.

“Mas Burhan,” suara Galuh lirih.

“Iya, memang kamu yang salah!” suara Andit kembali meninggi. Tak lama kemudian tangan kiri Galuh membungkam mulut anaknya agar tidak membuat kegaduhan di ruang rawat.

“Nduk, tak seharusnya kamu berbicara seperti itu,” Galuh berusaha menahan Andit agar bisa menerima kedatangan ayahnya dengan lebih baik.

“Terimakasih ya Mas, sudah mau memberikan darahmu.” Galuh menarik kedua sudut bibirnya membentuk bulan sabit.

“Iya,” Burhan tiba-tiba kehabisan kosakata dan hanya membalasnya dengan senyuman.

Untuk pertama kalinya, Galuh melihat senyum Burhan lagi setelah lima belas tahun semenjak berpisah. Galuh mencubit lengannya sendiri saat Burhan menarik kursi yang ada dibawah jendela. Seolah memastikan bahwa dia tidak sedang bermimpi. Galuh menatap lekat, melepas kerinduan yang telah belasan tahun ditepisnya.

“Untuk apa Ibu berterimakasih? Sudah seharusnya dia membantu Ibu!” Tone suara Andit belum juga turun. Semenatara orang yang melintasi koridor mulai menoleh ke arah mereka.

“Andit... duduk sini sayang.” Galuh mengajak putrinya mendekat pada Burhan.

“Tidak Bu, aku tidak mau duduk dengan dia.” Andit menunjuk ayahnya yang masih terdiam.

“Andit, Ibu tak pernah mengajarimu tidak sopan! Dia Ayahmu.” Galuh mulai menaikkan suaranya.

“Hah, Ayah? Seorang Ayah tidak akan meninggalkan anak dan istrinya begitu saja, Bu.” Andit mengusap pipinya dengan kasar. “Ibu mau tahu apa yang dikatakannya waktu Andit ke rumahnya?”

Kedua mata Galuh membulat, buliran bening kembali membanjiri pipinya. Kedua tangannya menangkup menutupi wajah. Burhan semakin tidak tahan melihat wanita yang disayanginya kembali berurai air mata. Burhan beranjak untuk mendekati Galuh.

“Jangan sentuh Ibuku!” Andit setengah berteriak sambil menekan suaranya. “Kamu tak perlu merasa kasihan. Kami bisa hidup tanpa kamu. Lakukan apa saja sesuka hatimu.”

“Andit...” Burhan merendahkan suaranya, berusaha meredam kemaran Andit. “Maafkan Ayah.” Tenggorokan Burhan terasa mengering, suaranya tertahan.

“Kamu tahu?” Andit menelan ludah bersamaan dengan meledaknya perasaan yang selama ini ditahannya.
“Diam-diam, Ibu sering menangis setiap malam. Kepergian kamu membuat Ibu bekerja dari pagi sampai larut malam. Ibu mengerjakan semuanya sendiri. Disaat aku sakit, cuma Ibu yang merawat dan membawaku ke dokter.”

Andit berhenti sejenak, menelan ludah. Kakinya mundur selangkah, mencari kekuatan dengan bersandar pada nakas. Sementara Galuh masih terisak di sisi ranjang. Andit kembali mengusap air mata dengan kasar. Tatapan Burhan tak lepas dari Andit sedetik pun.
“Sedangkan kamu, bersenang-senang dengan orang lain. Apa kamu masih pantas disebut sabagai Ayah?”

Mata Galuh dan Burhan membulat bersamaan, menatap ke arah Andit. Tatapan Andit pada ayahnya menantang, tak gentar sedikit pun. Telinga Burhan terasa terbakar bersamaan dengan sembilu yang mengiris hatinya. Tulang rahang Burhan mengeras, menahan gemuruh yang ada di dadanya. Tangannya mulai gemetar membentuk kepalan.

“Andit!” Galuh menghentikan isakannya.

“Percayalah Ndit, Ayah melakukannya karena terpaksa. Orangtua Ayah tidak setuju kami menikah. Semua memang kesalahan Ayah.” Burhan menelan ludahnya. “Ayah terlalu cemburu pada Ibumu.”

“Kalian ini dua orang dewasa, aku tidak tahu seharusnya seperti apa kalian menyelesaikan masalah. Tapi mempertahankan ego dengan mengorbankan anak itu menurutku hal yang bodoh.”

“Ayah tahu, Ayah yang salah Ndit. Ayah minta maaf,” Burhan memohon pada anaknya.

“Iya memang kamu salah! Asal kamu tahu, maaf saja tidak cukup menggantikan lima belas tahun kehidupan kami yang tanpa kehadiranmu. Hampir saja kami menganggapmu nggak ada.”
Galuh menampar pipi kiri Andit. Selang infus terlepas dari lengannya.

Tubuhnya yang lemah mencoba kembali bersandar pada sisi ranjang. Burhan menangkap tubuh Galuh dengan sigap dan membantunya duduk lagi di tepi ranjang. Saat mengangkat tubuh Galuh, Burhan bisa merasakan berat badan wanita di dekatnya ini semakin turun.
Andit yang terkejut dengan sikap ibunya masih memegang pipinya. Panas menjalar di seluruh wajah hingga kehatinya. Buliran bening masih mengalir di pipi Andit, meski gadis ini sudah tidak terisak lagi.

Tubuhnya bergeming, baru kali ini ibu menampar pipinya.
Selama ini ibunya selalu lembut. Andit tak pernah mendapatkan bentakan dari wanita yang disayanginya. Tamparan Galuh membuat hatinya semakin terluka. Demi membela lelaki di depannya, Galuh rela berkali-kali membentak dan menampar wajahnya. Namun Andit tak bisa melakukan apapun untuk mengobati hatinya, ibunya terlalu berharga untuk disakiti.

“Sudah, nggak apa-apa. Aku yang salah...” Burhan yang berdiri tidak jauh dari Galuh berusaha menenangkan wanita yang masih dicintainya. “Jangan bersikap keras pada Andit. Kasian dia, belum mengerti masalah orang dewasa. Kamu istirahat saja dulu, biar aku yang menyelesaikan.”

Setelah menenangkan Galuh, Burhan kembali menghadapi Andit. Dia tahu mengobati luka hati membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Bahkan sampai saat ini pun Burhan belum berhasil menghilangkan penyesalannya. Berusaha tidak terpancing dengan amarah Andit bukanlah hal yang mudah bagi Burhan.

“Sekali lagi Ayah minta maaf, Ndit.” Burhan menurunkan nada suaranya.

“Sudah saya bilang, maaf saja tidak cukup!” Andit kembali menekan suaranya.

“Sekarang apa maumu?” Burhan mulai terpancing emosinya. “Kamu mau membalas Ayah? Lakukan saja biar kamu puas. Asal jangan...” Burhan menggantung kalimatnya.

“Jangan apa? Bukankah kamu yang puas sekarang melihat kehidupan kami.” Andit memicingkan mata, menatap Burhan dengan tajam.

“Jangan kamu sakiti Ibumu. Luapkan kekesalanmu pada Ayah.” Burhan mengakhiri kalimatnya dengan lirih.

“Oh, sekarang kamu mau mencari muka di depan Ibu? Setelah kemarin menyebutnya sebagai pengkhianat. Sekarang siapa yang pengkhianat?”

Setiap ucapan Andit berhasil menusuk hati Burhan. Dadanya terluka, namun tak berdarah. Gemuruh di dadanya sulit sekali diredam. Tubuh Burhan gemetar, teringat kejadian lima belas tahun yang lalu. Dua bola mata polos yang tak dihiraukannya merekam dengan baik pertengkaran orangtuanya.

***

Missing Dad (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang