Bab 20

205 12 0
                                    

Tangan kanan Andit membentuk sebuah kepalan. Marah dan kecewa membuatnya ingin menghujani lelaki di depannya dengan pukulan. Penderitaannya selama ini tidak akan pernah cukup hanya dibayar dengan kata maaf. Sakit hatinya sulit sekali untuk dihilangkan bekasnya.

Genggaman tangan Galuh yang membuatnya tetap memiliki akal waras. Tulang rahang Andit kembali mengeras. Gemeletuk giginya beradu menahan kemarahan yang membuat dadanya berontak. Matanya masih sembab, buliran bening terus membasahi kelopak mata membuat pandangannya kabur. Andit menyeka kedua matanya.

“Anda tahu, Ibu saya harus kerja mulai pagi hingga larut malam agar kami tetap bisa makan. Padahal kalian satu perusahaan, terlalu butakah hati anda sampai tidak bisa melihat keadaan Ibu saya?” suara Andit bergetar.

Kepala Andit mulai berdenyut, tubuhnya gemetar. Sekuat tenaga menahan suaranya agar Burhan tetap bisa mendengarnya tanpa harus menggangu orang lain. Dia merasa tak pantas memperlakukan orang yang telah menghadirkannya di dunia dengan sikap kasar. Namun, dia juga tidak menemukan cara lain untuk menyembuhkan sakit hatinya.

“Laki-laki macam apa anda ini? Memperlakukan istrinya seperti sampah. Ibu saya benar-benar tak selayaknya memiliki suami seperti anda.” Andit menekan suaranya.

Burhan semakin menundukkan kepala di depan anaknya. Isakannya semakin menjadi, sudah tak dihiraukannya lagi air mata yang terus membasahi kedua pipinya. Tangan kiri mengusap dadanya berkali-kali. Tak sedikit pun mengangkat wajah untuk sekedar menatap anaknya.

“Nduk...” Galuh memanggilnya lirih, coba meredakan amarah anaknya.

“Biarkan saja Bu, orang ini harus tahu sejahat apa sikapnya selama ini sama kita.”

Andit tak mau menoleh ke arah ibunya. Dia takut hatinya akan menjadi luluh saat menatap wajah orang yang sangat disayanginya. Selama ini ibunyalah yang selalu menjaga agar pikirannya tetap waras. Sekuat apapun kita berontak, takdir Tuhan-lah yang berbicara karena kita tak pernah bisa memilih dari orangtua mana kita dilahirkan.
Galuh seperti malaikat yang menjelma sebagai manusia. Sakit hati tak membuatnya berbicara buruk tentang Burhan pada anaknya.

Ingatan Andit kembali pada cerita-cerita manis tentang ayahnya. Kebersamaan yang pernah diciptakan Burhan memberikan kenangan manis untuk ibunya. Namun di saat yang sama, hampir setiap malam Andit menemukan ibunya sedang menangis sendiri. Andit hanya bisa menatap ibunya dari balik pintu. Tak sedikit pun Galuh menunjukkan kesedihan atau marah setiap kali mebicarakan Burhan. Tanpa disadari, inilah yang membuat Andit menjadi semakin sedih.

Ibunya yang menginginkan Andit menjadi anak berbakti. Andit tahu, Galuh tak berhenti berharap agar anaknya tetap menyayangi Burhan. Meski selama ini perjuangan mereka terlalu keras. Galuh berusaha memangkas jarak yang sudah tercipta antara Andit dan ayahnya.

Tidak adanya sosok Burhan dalam kehidupan Andit tidak hanya membuat hidup menjadi lebih sulit. Sikap Burhan yang acuh menciptakan lubang hitam dalam hatinya. Bahkan tak ada sedikit pun kenangan bersama Burhan yang bisa diingatnya dengan baik, jika Galuh tak pernah menceritakannya kembali. Andit yang masih rapuh, harus kuat berjuang melawan kerasnya hidup.

“Anda tahu?” Andit menarik napas dalam sebelum meneruskan ucapannya, “Saya harus menerima bully-an sejak kecil karena tidak memiliki ayah. Tidak ada yang mau bermain dengan saya, hanya karena saya anak orang miskin.” Andit menyeka kedua pipinya dengan kasar.

“Seharusnya Anda ada untuk melindungi saya, tapi apa kenyataannya? Setiap kali bertemu, anda malah pura-pura tak melihat saya. Apakah saya terlihat menjijikkan sampai anda tak pernah mau menatap saya setiap kali bertemu?”

Dada Andit naik turun menahan marah. Ada sesuatu yang mengganjal, jika dia tak mengeluarkan isi hatinya. Andit merapatkan tubuhnya pada ranjang. Tenaganya terasa semakin terkuras. Tulang-tulang seolah telah lepas dari tubuhnya.

Tidak mudah mengeluarkan amarah yang sudah belasan tahun dipendamnya. Andit melepaskan lengan Galuh yang coba meraih tubuhnya. Pelukan itu hanya akan membuatnya lemah. Dia akan membuat lelaki di depannya ini mempertanggungjawabkan perbuatannya.

“Anda juga tidak tahu kan? Kalau saya harus belajar mati-matian agar tetap mendapatkan beasiswa.” Suara Andit terasa semakin serak. “Saya mungkin tidak akan pernah merasakan bangku sekolah kalau tidak ikut berjuang sama Ibu. Kenapa anda setega ini?”
Andit berhenti sejenak untuk melepaskan isakannya. “Saya tidak pernah meminta untuk anda hadirkan di dunia ini. Kenapa anda tega melakukan semua itu pada saya? Kesalahan apa yang pernah saya lakukan pada anda?”

Ingus yang terus keluar dari hidung Andit disekanya dengan punggung tangan. Andit menangkupkan kedua telapak tangannya diwajah. Tubuhnya terduduk lemah ditepi ranjang ibunya. Sementara tangan Galuh terus mengusap perlahan punggung Andit.

Isakannya semakin menjadi dalam hitungan detik. Kata-kata perawat kembali terngiang ditelinganya, hingga membuatnya menghentikan tangisan setelah mengusap wajah beberapa kali. Andit terkejut saat menemukan Burhan sudah mengangkat wajah dan menatapnya dengan mata yang masih sembab. Andit menatap bola mata ayahnya, coba mencari jawaban dari semua pertanyaannya.

“Sekarang kenapa anda diam?” ucapnya ketus pada Burhan. “Kemana Pak Burhan yang selama ini membenci saya? Kenapa anda tidak memaki saya lagi seperti kemarin?”

“Nduk...” suara Galuh terdengar nelangsa. “Dia Ayahmu, jangan bersikap seperti itu.”

“Biarkan saja Galuh, aku pantas mendapatkan semua ini.” Burhan terbata-bata sambil mengusap kedua matanya.

“Asal anda tahu, ini belum seberapa jika dibandingkan dengan penderitaan kami.” Andit kembali mencecar Burhan.

“Ya, saya tahu. Kesalahan saya mungkin tak akan pernah termaafkan. Tidak hanya kamu, saya juga seorang anak.” Burhan menghentikan sejenak untuk membasahi tenggorokannya. “Sama seperti kamu, saya juga ingin membahagiakan ibu saya. Nenek kamu.” Giliran Burhan yang berusaha memegang kendali.

“Ibu saya tidak setuju kalau saya menikah dengan ibumu. Apalagi saat itu ibu saya sempat melihat ibumu sedang bersama Abimanyu. Kamu sudah tahu Abimanyu itu siapa?” Mata Burhan membulat. “Coba tanya sama ibumu!”

“Kebetulan malam itu saya melihat Abimanyu sedang menemui Ibumu.” Kedua tangan Burhan kembali membentuk kepalan. “Apakah saya salah kalau saya lebih mempercayai ibu saya?”

Burhan beberapa kali menarik napas dalam dan mengeluarkannya dari mulut. Tangan kirinya kembali mengelus dada. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya. Perlahan Burhan bangkit untuk duduk di kursi menghadap langsung pada Andit.

“Setelah mengetahui kebenarannya, bisa saja saya kembali pada Ibu kamu. Tapi apakah saya harus kembali menjadi pengecut untuk meninggalkan dan menelantarkan Eki?”

Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Andit. “Saya tahu usia kamu masih belum cukup untuk mencerna masalah orang dewasa. Tapi setelah mendengar ceritamu tadi, saya yakin kamu sudah bisa berpikir apa yang akan dirasakan Eki jika saya meninggalkannya.” 

Mulut Andit terkunci saat mendengarkan ucapan Burhan. Ingatannya kembali pada saat usianya masih kecil. Hatinya terasa sakit sekali setiap kali melihat temannya sedang bersama ayah mereka masing-masing. Apalagi jika yang dilihatnya Eki, kemelut didalam dada hampir tak bisa dikendalikan karena seharusnya yang sedang bersama Burhan adalah dirinya. Namun setiap kali menatap senyum polos Eki, dadanya yang hampir pecah terasa lenyap begitu saja.

***

Missing Dad (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang