Epilog

416 18 2
                                    

Bunga mengembang memenuhi dada Andit. Empat tahun sudah berlalu, ibunya tak hanya tampak semakin sehat. Senyum selalu mengembang di bibirnya hampir setiap saat, sesuatu yang mahal dia dapatkan dulu. Blus berwarna merah dengan rok panjang bermotif senada membuat ibu tampak lebih muda dari usianya.

Di ujung meja panjang duduk ayahnya dengan mengenakan kemeja kotak-kotak warna senada dengan ibunya. Meski tidak banyak bicara, sesekali ayah tersenyum setiap kali mendengar cerita lucu dari kami. Tubuhnya sedikit lebih kurus tapi tampak lebih sehat. Ibu mengatur pola makan ayah dan lebih cerewet untuk mengurangi minum kopi.

Setiap kali datang, Eki tak mau jauh dari ibu, dia tak terlihat seperti anak tiri. Tahun pertama masuk kuliah membuatnya semakin jarang di rumah. Kebiasaannya main game berhenti, waktunya dihabiskan untuk mengikuti kegiatan kampus jika sedang tidak ada kelas. Apalagi jurusan teknik arsitektur yang diambilnya mengharuskan lebih banyak menghabiskan waktu di luar.

Acara makan malam seperti ini menjadi semakin berharga, berkumpul sambil membawa cerita masing-masing. Ibu semakin disibukkan mengurus butiknya. Sejak sakit dulu, ayah melarangnya bekerja di pabrik lagi. Dengan modal yang diberikan ayah, usaha jahit ibu semakin berkembang menjadi butik.

Kali ini Satria juga ikut makan malam. Minggu depan dia akan berangkat ke Amerika untuk melanjutkan kuliah. Ibu sengaja mengundangnya dan membuat masakan kesukaan Satria. Kata ibu, biar Satria selalu ingat sama ibu. Setelah perjuangan hidup yang dilalui Andit, Satria memang selalu hadir untuk menemaninya. Sampai Galuh menganggapnya seperti anak sendiri.

Tidak seperti biasanya, malam ini Satria lebih banyak diam. Makannya pun lebih sedikit dari biasanya. Andit yang duduk di sampingnya mencuri pandang, mendapati Satria lebih sering menunduk menatap isi piringnya yang baru disendok tiga kali. Tak seperti biasanya, tawaran ibu untuk menambah lauk kesukaannya ditolak dengan halus.

“Satria, kenapa makanannya nggak dihabiskan?” Ibu menatap Satria yang masih mengaduk isi piringnya, “Tante sengaja masak buat kamu loh,” kata Galuh sebelum menyuapkan nasi ke mulutnya lagi.

“Om, Tante...Satria mau bicara sebentar,” ucapnya setelah berdehem. Sendok yang sejak tadi dipegang, diletakkan di atas piring. Seisi meja tak ada yang bersuara lagi, menatap semua ke arah lelaki yang tampak lebih dewasa di samping Andit.

“Ada apa Nak?” tanya Galuh. “Bicara saja, sepertinya ada yang mengganjal dalam pikiranmu.”

“Jika Om dan Tante merestui, Satria mau minta izin untuk menikah dengan Andit.” Satria menatap Burhan dan Galuh bergantian dengan wajah serius.

Lelaki itu tak peduli dengan Andit yang terus menatapnya dengan tidak hanya mata tapi juga mulutnya yang membulat. Andit tak menyangka, dia berpikir kemarin Satria akan melakukannya satu tahun lagi. Orangtua Andit sepertinya juga tidak menduga sebelumnya, karena kuliah Andit juga belum selesai. Keduanya hanya saling tatap, kemudian bersamaan menatap ke arah Andit.

Hanya Eki yang cengengesan sambil mengunyah makanannya. Mata jahilnya menatap Andit yang hanya terdiam. Menangkap suasana yang menjadi tegang Eki mulai berceloteh. Eki tak tahan untuk meledek kakaknya.

“Cie...ada yang dilamar nih,” kedua alisnya bergerak-gerak ke atas saat Andit menatapnya.

“Kenapa buru-buru Nak? Bukankah kalian belum lulus?” tanya Galuh. Sementara Burhan masih menyelesaikan suapan terakhir di mulutnya.

“Satu tahun lagi Andit lulus Bu, Satria inginnya Andit ikut ke Amerika. Gaji satu tahun pertama InsyaAllah cukup untuk tabungan. Jika Om dan Tante setuju, satu tahun lagi Satria akan pulang untuk menikah dengan Andit.”

“Om dan Tante serahkan semuanya sama Andit, kalian sudah membicarakannya kan?” tanya Burhan kemudian sambil menatap Andit.

Andit hanya mengangguk dengan pipi yang meranum. “Sudah Yah,” jawabnya singkat sebelum menundukkan wajah.

“Lalu bagaimana? Kamu mau terima atau tidak?” tanya Burhan memastikan.

“Iya Yah,” Andit terus menundukkan wajahnya tak berani menatap orangtuanya.

Suara Satria yang menghela napas lega, terdengar jelas di telinganya. Andit menemukan senyum yang mengembang di bibir Satria saat mencuri pandang. Hangat menjalari tubuhnya saat telapak tangan kiri Satria menyentuh punggung tangan kanannya.

“Baiklah,” Burhan menyilangkan sendok dan garpu di atas piring. “Ayah dan Ibu akan merestui kalau memang kalian sudah mempertimbangkan dengan baik.”

“Ayo sekarang makanlah,” ajak Galuh. Senyum mengembang di bibirnya sambil menyodorkan opor ayam ke arah Satria.

“Terimakasih Om, Tante,” Satria mengambil satu potong opor yang disodorkan Galuh sebelum melahap kembali makanannya. 

“Ehem, senang nih yang sudah dapat lampu hijau.” Ledek Eki sambil terus menatap jahil pada Andit. Sementara Andit hanya membalasnya dengan pura-pura melotot.

“Oh iya, Satria sudah disiapkan semua barang-barang yang mau dibawa ke Amerika?” tanya Galuh memecah kegaduhan yang ditimbulkan Eki.

“Sebagian ada yang belum Nte,” jawab Satria disela setelah menelan makanan di dalam mulutnya.

“Apa saja yang belum? Jangan lupa bawa obat-obatan ya,” Galuh mengingatkan Satria.

“Oh iya, Satria lupa. Obatnya belum ada. Terimakasih Nte sudah diingatkan,” Satria meletakkan gelas yang isinya tinggal setengah.

“Tante saja yang siapkan, biar nggak ada yang terlewat. Besok sore kamu ambil ke sini lagi ya,” pinta Galuh.

“Jangankan besok sore, seharian di sini pasti Kak Satria juga mau Bu,” kini gantian Satria yang menjadi sasaran Eki.

“Kamu ini Ki, bisa aja loh ngeledek Kakaknya.” Galuh memegang hangat pundak anak tirinya, diikuti Eki yang mendekatkan kursi kemudian menggelayut di pundak Galuh. Tangan kanan Galuh mengusap kepala Eki dengan lembut.

“Kayak bayi aja Ki, masih nglendot sama Ibu.” Balas Andit sambil mencibir ke arah Eki.
Dua kakak beradik ini saling lembar ejekan. Sesekali mereka tertawa bersama hingga suara gaduh dari ruang makan terdengar hingga ke pintu. Satria yang tadinya terlihat tegang kini sudah bisa membaur lagi dengan keluarga Andit. Mereka tidak tahu ada seseorang yang memperhatikan sejak tadi dari ambang pintu depan.

“Assalamualaikum,” suara dari pintu depan membuat suasana menjadi hening. Seisi ruang tamu menoleh ke arah pintu, mendapati seorang wanita berdiri di sana.

“Biar Eki yang ke depan Bu,” cegah Eki saat Galuh hendak menuju ke ruang tamu.

Eki segera melesat ke ruang tamu. Sementara Andit merapikan piring kotor yang ada di meja. Senyum mengembang di bibir saat melihat ibunya memastikan kesehatan ayahnya. Sejak ayahnya pulang dari rumah sakit, ibunya tak pernah lupa menanyakan keadaan ayahnya.

Eki menyusul ke ruang tamu, sudah lima menit sejak Eki keluar tak ada lagi suaranya. Wajahnya tegang saat mendapati Sari sedang memegang wajah Eki dengan berurai air mata. Hanya kesunyian yang ada diantara mereka berdua. Sari yang menyadari kehadiran Andit, menatap ke arahnya sambil mengusap kedua pipinya.

Pipi Sari tampak lebih tirus. Tubuhnya juga lebih kurus dibandingkan terakhir kalinya bertemu di rumah sakit. Sejak saat itu Sari lebih memilih tinggal di rumah orangtuanya. Eki sesekali menjenguknya jika Sari ingin bertemu.

Sementara Burhan yang gagal mengajak Sari tetap tinggal di rumah sesekali juga turut menjenguknya bersama Eki. Pekerjaan Burhan dan kampus Eki yang lebih dekat dari rumah tidak memungkinkan untuk mengikuti Sari pindah ke Jepara. Eki tak luput menceritakan hal ini pada Andit.

“Bu Sari,” Andit masih tak percaya dengan yang dilihatnya.

Sari berdehem sebentar, tenggorokannya tercekat. “Andit maafkan Tante,” tatapnya memohon.

Andit terdiam sebentar, menata hati dan pikirannya. Andit mengela napas panjang sebelum berkata, “Andit sudah memaafkan Tante, sebelum Tante memintanya.”

Langkah Andit menyingkat jarak diantara keduanya. Andit meraih tangan kanan Sari dan menciumnya. Pelukan keduanya membuat Sari kembali terisak. Keduanya masih berpelukan saat orangtua Andit dan Satria ikut menghambur keluar.

“Loh ada tamu kok nggak diajak duduk, Nduk.” Galuh tersenyum menghampiri Sari.

“Tolong maafkan saya Mbak,” Sari kembali memohon.

“Sudahlah, semua sudah berlalu. Ikut makan bersama kami yuk,” Galuh mengajak Sari ke ruang makan.

“Oh tidak, terimakasih Mbak.” Sari menolak dengan halus, “Saya ingin menjemput Eki pulang. Saya tadi sudah ke rumah tapi kosong. Jadi saya ke sini, maaf kalo kedatangan saya mengganggu.”

“Sama sekali tidak,” Galuh tersenyum tulus. “Ayolah makan dulu, kita semua keluarga.”

Andit hanya terdiam saat melihat Galuh setengah memaksa Sari mengikuti langkahnya memasuki ruang makan. Tak perlu diragukan lagi, ibunya memang pandai mencairkan suasana. Sedangkan Andit mendahului mereka dengan menyiapkan peralatan makan untuk ibu tirinya.

“Kamu sehat, Sari?” tanya Burhan memecah keheningan.

“Sehat Mas,” jawabnya pendek sebelum melanjutkan. “Aku ingin menjemput Eki pulang. Sebenarnya sudah sejak pagi aku sampai di Semarang. Seharian sendirian di rumah, sepi nggak ada Eki.”

“Eki, kamu temani Mama pulang ya,” perintah Burhan.

“Baik Pa,” Eki kemudian menatap kearah Galuh. “Bu, Eki masih boleh main ke sini kan?”

“Tentu saja boleh, pintu depan terbuka untuk kamu dan Mamamu.” Eki tersenyum sambil menggelendot lagi di lengan Galuh.

“Dasar, kayak gitu masih ditanya juga. Cari perhatian sama Ibu ya?” Ejek Andit sambil mencibir.

Keduanya kembali saling melempar ejekan. Tak lama kemudian suasana kembali hangat. Sementara Sari menunduk sambil mengunyah makanannya. Sesekali bibirnya membuat garis lurus menyaksikan Eki dan Andit yang tak berhenti membuat kegaduhan.

***

TAMAT

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 29, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Missing Dad (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang