Bab 4

215 14 0
                                    

Jam makan malam sudah lama berlalu. Andit mengucek matanya yang terasa berat. Di luar sana, hewan-hewan kecil yang melakukan perburuannya di malam hari mulai keluar dari sarang. Sesekali deru kendaraan terdengar melewati jalanan beraspal tak jauh dari rumah Andit.

Di rumah mungil sederhana, ibu dan anak itu rupanya masih berkutat dengan kegiatan mereka masing-masing. Masih terdengar suara televisi yang menayangkan film box office Amerika, ditimpali bunyi dinamo mesin jahit Galuh yang mendesis, kemudian gemeratak jarum  beradu dengan potongan-potongan kain saat disambungkan oleh seutas benang yang berputar.

"Kalau sudah ngantuk, mbok tidur, Nduk." Sekilas Galuh mendapati Andit beberapa kali menutup mulutnya saat menguap.

"Ibuk juga belum tidur."

"Ini tanggung banget loh, kalo Ibuk tinggal." Galuh kembali menginjak dinamo listrik kecil di kaki kanannya. Mesin jahit itu berputar serupa kincir. Dulu saat dinamo itu belum terpasang, Galuh masih menggunakan pijakan kaki yang dikayuh bergantian menggunakan tumit dan ujung jari. Tak jarang Galuh mengeluhkan pegal pada pergelangan kakinya. Sekarang saja saat sudah menggunakan dinamo listrik, Galuh masih mengeluhkan pegal dan kesemutan jika terlalu lama di depan mesin jahit.

"Besok saja dilanjutkan, Buk. Nanti kaki Ibu sakit lagi."

"Nggak apa-apa. Kamu duluan. Ini pesanan Bu Tedjo buat diambil besok. Ibu nggak enak sudah bilang bisa. Lumayan, buat tabungan kamu nanti. Buat kuliah." Galuh berhenti sejenak. Dibukanya kaca mata yang bertengger di hidungnya. Akhir-akhir ini memang kepalanya sering terasa pusing. Galuh memejamkan mata, memijit pelipisnya untuk mengurangi rasa pusing dan mual yang datang tiba-tiba.

"Ibuk kenapa? Tuh, kan ... Andit udah bilang, Ibuk nggak usah memaksakan diri. Nanti Ibuk sakit." Gadis itu bangkit dari duduk, kemudian mengambil segelas air hangat untuk diberikan pada Galuh.

"Ibuk nggak apa-apa. Cuman pusing," ucap Galuh setelah seteguk air hangat membasahi kerongkongannya.

"Ayolah, Bu. Kita istirahat. Andit nggak mau Ibuk kenapa-napa."

Galuh mengembuskan napas lelah. Sejenak ia tertegun menatap putrinya itu. Segala rasa berkecamuk di dalam dadanya saat tatapan mereka beradu. Rasa gundah dan khawatir akan masa depan Andit membuat Galuh merasa sedih dengan keadaan mereka. Seharusnya, Andit mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari ini. Andit melihat perubahan raut wajah ibunya. Gadis itu mengerti, apa pun yang dilakukan Galuh semata-mata untuk kepentingan dirinya.

"Buk, Ibuk nggak usah khawatir. Andit nggak akan mengecewakan Ibuk. Andit akan belajar lebih giat. Pokoknya, Andit akan berusaha lebih baik supaya nilai Andit bagus."

Galuh menatap wajah Andit sejenak. Perempuan empat puluh tahunan itu menarik napas panjang, kemudian menggeleng pelan. "Kamu nggak pernah mengecewakan Ibuk, Nduk. Kamu yang terbaik. Ibuk bangga sama kamu. Terima kasih sudah jadi anak yang berbakti." Setetes air mata mengalir di wajah lelah Galuh. Andit pun tak kuasa menahan tangisnya. Keduanya berpelukan penuh haru.

Andit bersungguh-sungguh saat mengatakan akan belajar lebih giat. Masih jelas diingatannya saat ia lulus dari Sekolah Menengah Pertama. Galuh tak perlu bersusah payah mencarikan sekolah untuk Andit. Gadis itu mendaftar di SMA Aksara 04 dengan jalur beasiswa. Melewati seleksi dan ujian masuk, Andit lolos dengan nilai memuaskan.

Andit mengusap air mata di wajah Galuh. "Ya udah, Andit bantuin Ibuk, ya."

Galuh tersenyum simpul kemudian mengangguk mengiyakan. Andit meraih pakaian hasil jahitan ibunya. Pakaian-pakaian itu belum sempurna, sebab kancingnya belum terpasang. Gadis itu terlihat cekatan sekali bermain dengan benang dan jarum.

Sebelumnya, Andit memang sudah biasa membantu  pekerjaan ibunya. Memasang kancing, mengelim tepi kain, atau saat Galuh mendapat orderan merombak pakaian, Andit akan membantunya melepas jahitan lama.

Demikian juga urusan rumah tangga lainnya. Andit sudah terampil membersihkan rumah, mencuci peralatan makan yang kotor, dan mencuci pakaiannya sendiri sejak ia duduk di Sekolah Dasar.

Galuh memang sudah melatih Andit melakukan segala hal sendirian. Semua karena keadaan yang memaksanya. Namun, berkat ajaran Galuh itu pula lah, Andit tumbuh menjadi anak yang berkepribadian baik dan juga mandiri.

"Kalau Bapakmu masih di sini, kamu nggak perlu repot nolongin Ibuk sampai tengah malam begini, Nduk. Kamu juga nggak perlu susah-susah nyari beasiswa untuk sekolah. Beliau pasti nyekolahin kamu sampai jadi orang hebat." Galuh seolah bicara pelan pada dirinya sendiri, tetapi cukup jelas terdengar oleh Andit.

Gadis itu menghentikan kegiatannya. "Buk, udahlah. Kita nggak usah ngomong soal Bapak lagi. Andit nggak butuh sama Bapak. Toh selama ini Andit bahagia hidup walaupun nggak ada Bapak. Buat Andit, cuma Ibuk satu-satunya orang tua yang Andit miliki. Anggap aja Bapak sudah mati, Buk."

"Gustiii ... jangan ngomong gitu, Nduk. Nyebut. Biar bagaimana pun, Bapakmu masih ada. Ibuk yakin, suatu hari kita akan berkumpul sama-sama lagi. Percayalah, Nduk."

"Tapi Bapak sudah jahat, Buk. Bapak sudah ninggalin kita. Andit bahkan nggak pernah tahu rasanya punya Bapak. Andit nggak tahu rasanya disayangi oleh seorang Bapak tuh, gimana." Gadis itu mulai emosional.

"Ibuk paham, Nduk. Kita berdoa saja, semoga suatu hari kita bisa kumpul lagi. Hanya itu harapan Ibuk."

Andit membatin mendengar harapan ibunya. Rasanya sesak saat mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin akan terjadi. Lelaki itu sudah lama meninggalkan mereka. Jika saja ia benar-benar ingin kembali, tentu bukan perkara yang sulit. Toh Burhan berada di kota yang sama dengan mereka.

Andit membenci lelaki itu. Ia benar-benar tidak percaya, ibunya masih saja mengharapkan lelaki itu kembali pada mereka. Entah bagaimana ibunya bisa punya pemikiran seperti itu.

Terkadang Andit merasa, apa sebenarnya yang telah terjadi hingga Burhan tega meninggalkan mereka. Andit pernah menanyakan pertanyaan ini pada Galuh. Dan jawaban Galuh, "Bapakmu salah paham sama Ibuk. Beliau hanya salah paham."

"Salah paham apa, Buk? Kenapa Ibuk nggak coba jelasin?" desak Andit kepada Galuh. Galuh hanya menggeleng. Air matanya mengalir menganak sungai. Andit tidak bisa melihat wanita yang paling ia cintai itu menangis. Sejak itu ia tidak pernah bertanya lagi. Hanya rasa benci dan sakit hati yang terkadang kembali terasa jika Galuh mulai bicara soal Burhan.

Andit menatap Galuh yang kembali terpekur pada mesin jahit di hadapannya. Gadis itu menghela napas panjang berkali-kali. Berharap beban batinnya sedikit berkurang. Bunyi mesin dinamo listrik kembali mendesis seiring gemeretak jarum dan benang yang turun naik dengan cepat.

Tak ada lagi percakapan setelah itu. Malam semakin larut. Andit  menghabiskan waktu dengan diam meski beribu pertanyaan menggelayuti hatinya. Gadis itu membiarkan waktu tenggelam bersama sentakan peniti dan jarum, menerobos masuk melalui celah kecil pada potongan-potongan kain dan menyatukannya kembali.

***

Yuhuuu... Akhirnya kelar part ini. Enjoy manteman. 😘😘




Missing Dad (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang