Detak jantung Eki semakin kencang saat menemukan pagar bercat hitam. Tak ada seorang pun yang berada di depan rumah. Tubuh Eki terasa semakin tegang saat menemukan pintu rumah setengah terbuka. Dia tahu pasti akan mendapatkan penolakan, tapi hanya ini yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan Papanya.
Aglonema yang berjejer rapi terlihat masih basah. Tak ada satu daun kering pun yang jatuh berserakan di halaman. Tempat tinggal yang jauh lebih sederhana jika dibandingkan dengan rumah yang ditempatinya. Rumah mungil ini terasa lebih hangat, berbeda jauh dengan rumahnya. Penghuni rumah yang sibuk dengan dirinya sendiri, membuat rumah besar itu terasa dingin dan sepi.
Sejenak Eki terpaku menatap ke dalam gerbang. Matahari baru saja beranjak naik, orang-orang yang tinggal di sekitar rumah itu tampak sibuk dengan aktivitas masing-masing. Terdengar percakapan dua orang wanita dari dalam rumah. Eki tak bisa menangkap dengan jelas apa yang sedang mereka bicarakan, namun dia bisa mendengar suara yang sangat dikenalnya sedang tertawa.
Pikiran Eki mulai membayangkan, bagaimana jika papanya sudah tidak ada? Apakah dia juga siap untuk tinggal di rumah kecil?Memiliki kehidupan jauh dari kehidupannya sekarang tak pernah terlintas dalam pikirannya sebelumnya. Apalagi harus berjuang keras, sekedar mempertahankan hidup.
Eki terkesiap saat seorang wanita paruh baya mucul dari dalam rumah. Wajahnya yang lembut membuat hatinya terasa adem saat menatapnya. Kelembutan yang akhir-akhir ini tak dia dapatkan dari ibu kandungnya sendiri. Eki ingin sekali menghampirinya, namun kakinya terasa berat untuk beranjak dari tempatnya.
Eki masih terpaku, sampai wanita itu menyadari kedatangannya. Tegang menyelimuti wajah wanita yang baru beberapa hari minta dipanggilnya dengan sebutan ibu. Sapu ditangannya dilempabegitu saja di lantai teras. Langkahnya tergopoh-gopoh segera menghampiri gerbang.
“MasyaAllah, Eki.” Tangannya bergetar tergesa membuka pintu. “Kamu kenapa Nak? Kenapa tidak masuk?” Tangannya yang mulai keriput menarik lengan Eki sampai melewati gerbang yang terbuka. “Ayo masuk dulu,” Galuh terkejut saat Eki menahan lengannya agar ibu tirinya menghentikan langkah.
“Bu...” Eki menatap lekat mata ibu tirinya. “Kak Andit ada?”
“Ada Nak, Kakakmu baru mandi.” Galuh menggeser badan, membuat mereka saling berhadapan. “Kamu kenapa?”
“Papa...Bu,” Eki menghambur ke pelukan Galuh.
Tangis anak lelaki itu pecah, kedua lengannya memeluk erat ibu tirinya mencari kekuatan. Dia tak peduli lagi jika Galuh akan menolaknya. Saat ini yang ingin dia lakukan hanya menangis, karena dia tak bisa melakukan di depan Sari. Mamanya akan semakin terpukul jika dia terus menerus menangis.
“Papamu kenapa Nak?” Eki bisa merasakan, Galuh juga tegang seperti dirinya. Ada ketakutan, meski Galuh berusaha menutupinya.
“Papa berada di ICU Bu,” katanya kemudian setelah usapan tangan Galuh dipunggung membuatnya sedikit lebih tenang.
Galuh yang terkejut melepaskan pelukannya. Eki tak kuat mendapatkan tatapan menyelidik wanita di depannya. Galuh tak kalah cemas dengan dirinya. Air bening mulai memenuhi kelopak matanya. Tak percaya dengan pendengarannya, Galuh coba meyakinkan diri dengan mengulangi pertanyaannya.
“Apa kamu bilang tadi?”
“Papa tadi sore pingsan, Bu. Sampai sekarang belum sadar. Papa nyebut nama Kak Andin terus dari semalam.”
“Andit...” tanpa diminta Galuh memanggil anaknya untuk segera keluar.
Tak mendapatkan jawaban, Galuh lari ke dalam rumah. Eki mengikutinya sampai di ruang tamu. Galuh mengetuk pintu kamar mandi dengan cepat karena Andit tak segera keluar. Tak lama kemudian Andit keluar dengan membawa handuk di tangan.
“Ada apa sih Bu?” Andit terkejut mendapati ibunya berdiri menunggunya dengan wajah cemas.
“Nduk, ayahmu sedang koma. Kamu ke rumah sakit ya,” pinta Galuh penuh harap. “Eki sudah menjemputmu.” Tak menunggu jawaban Andit, Galuh segera meminta anaknya berkemas.
“Enggak Bu,” Andit menarik genggaman tangan ibunya. “Andit sudah pernah bilang nggak mau ketemu orang itu lagi.”
“Ayolah Nak,” Galuh memohon. “Ayahmu berkali-kali menyebut namamu. Dia ingin bertemu kamu, Nduk.”
“Aku nggak mau Bu. Nanti di sana paling aku diusir lagi.” Andit terus menolak permintaan ibunya. “Aku nggak mau dihina lagi. Sakit Bu,” suara Andit semakin dekat terdengar dari ruang tamu.
Andit tegang mendapati Eki yang masih terpaku di ruang tamu. Tangannya berhenti menggosok rambutnya yang basah dengan handuk. Selama dua menit Andit terdiam menatap Eki. Tak ada yang dilakukannya selain saling menatap satu sama lain.
Sementara Eki masih terisak. Sulit rasanya menahan air matanya agar tidak keluar. Tak ada harapan lagi untuk menyelamatkan papanya. Usahanya untuk meminta Andit datang ke rumah sakit tak membuahkan hasil.
“Please Kak,” Eki memohon. “Tolong maafkan sikap Mamaku dan Papa selama ini. Aku tahu kakak sakit hati, tapi ini demi Papa.”
Langkah Eki mendekati Andit. Dengan sisa tenaga, dia berharap Andit memiliki sedikit iba untuk dirinya. Kakinya terasa terasa berat, tapi Eki tak mau berhenti menyeret langkahnya. Sementara Galuh masih terisak di belakang Andit.
Lutut Eki terasa lemas hingga bersimpuh di depan Andit. Kepalanya menunduk, tak sanggup lagi menatap wajah kakak tirinya. Dia tak mau kehilangan kesempatan, apa saja kan dilakukannya untuk mendapatkan kesembuhan papanya. Dia tak peduli lagi dengan air yang terus menetes, membasahi jaketnya.
“Tidak bisa, aku mau pergi sama Kak Satria.” Andit masih bersikukuh.
“Aku mohon Kak, Papa mengalami serangan jantung lagi.” Eki memegang kaki kakaknya mengiba.
“Kita bisa pergi besok Ndit,” sebuah suara mucul dari teras. “Maaf aku tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian.” Langkah Satria memasuki ruang tamu, “Andit, kita tidak pernah tahu, apakah kamu akan memiliki kesempatan lagi. Jangan sampai kamu menyesal nantinya.”
“Tapi Kak...” Satria memotong ucapan Andit.
“Aku tahu, ini sulit buat kamu. Memaafkan dan menerima bukanlah hal yang sama. Tapi kamu tidak bisa mengelak, ada darah Pak Burhan yang mengalir di tubuhmu.” Satria menyingkat jarak dengan Andit. “Ingat Ndit, kita tidak pernah bisa memilih dari siapa kita akan dilahirkan. Jangan sampai ketika kamu sudah tidak memiliki orangtua seperti aku, kamu menyesal.”
Dua telapak tangan Andit menangkup di wajah, menutup buliran bening yang membanjiri pipinya. Ucapan Satria berhasil menghantap tembok pembatas yang sudah dibangunnya agar tak bersentuhan lagi dengan Burhan. Tubuhnya berguncang, tak bisa mengendalikan isakannya yang semakin menjadi. Sementara Galuh memeluknya dari belakang, memberikan kekuatan.
Eki mengangkat kepalanya, menatap Andit dengan penuh harap. Mata Andit yang tadi hanya merah, kini sudah digenangi dengan air bening yang tumpah membasahi pipinya. Kakaknya itu membalas pelukan Galuh sebelum melepaskannya. Tangannya bergerak memegang pundak Eki, membantunya berdiri. Eki tak bisa menebak lagi apa yang sedang dipikirkan Andit.
“Ayuh Ki, kita ke rumah sakit.” Ribuan energi terasa memenuhi tubuh Eki yang hanya membalasnya dengan anggukan.
“Kak kita ke rumah sakit dulu ya,” pinta Andit pada Satria.
“Iya, aku akan nemenin kamu ke rumah sakit.” Senyum mengembang di bibir Satria.
“Bagaimana dengan Ibu?” tanya Andit sambil menatap ibunya.
“Ibu di rumah saja, nanti kamu kabarin Ibu ya bagaimana kondisi Ayahmu.” Galuh tersenyum lembut sambil menatap Andit.
Andit mengangguk. “Saya ambil tas dulu Bu,” kata Andit sebelum berlalu menuju kamar.
Sementara Eki mengucapkan rapalan do’a dalam hati agar papanya segera membaik setelah bertemu dengan Andit. Tak menunggu lama Andit keluar membawa tas. Ketiganya pamit pada Galuh sebelum meninggalkan rumah. Dalam perjalanan detak jantung Eki masih bergemuruh seiring deru motornya, pikirannya tak lepas dari mamanya. Besar harapannya, agar mamanya memiliki hati legowo seperti yang dimiliki Andit sekarang.***
KAMU SEDANG MEMBACA
Missing Dad (Completed)
Teen Fiction🎉TAMAT (29 November 2020)🎉 Bagaimana mungkin memelihara kebencian dan rasa rindu pada orang yang sama? Anindita kehilangan kasih sayang seorang ayah sejak ia berusia dua tahun. Segala kesulitan hidup ia jalani hanya bersama ibunya. Sementara sang...