Bab 19

175 11 0
                                    

Andit terpaku saat Burhan menatapnya nanar. Kata-kata yang sudah disusun rapi, lenyap begitu saja berganti cecaran yang berhasil membuat mulut ayahnya bungkam. Tangan kiri Burhan memegang dada. Tubuhnya merapat ke tepi tempat tidur dan mencengkeramnya kuat. Baru kali ini, Andit melihat mata ayahnya berkaca-kaca.

Sementara Andit masih berurai air mata. Kekesalan yang memenuhi dadanya kembali berontak. Bisa jadi kesempatan ini yang pertama sekaligus yang terakhir untuknya. Selangkah saja ayahnya keluar dari pintu, dia pasti akan kembali menjadi orang asing. Dia pasti akan sulit mengajak ayahnya bicara kembali.

“Asal Ibu tahu, laki-laki ini...” Andit menunjuk wajah Burhan. “Dia sudah menyebutku anak pengkhianat!”

Galuh yang masih berurai air mata, menatap lelaki yang berdiri tidak lebih dari satu meter darinya. Burhan menutup mulutnya dengan tangan kiri. Matanya yang berkaca kini sudah berurai air mata. Sementara tangan kiri Galuh mengepal menahan amarah.

“Jahat kamu, Mas!” Telunjuknya tepat berada di depan Burhan. “Andit tidak tahu apa-apa, tak sepantasnya dia mendapatkan perkataan seperti itu.”
Galuh yang meradang membuat Andit menjadi takut. Baru kali ini, Galuh tak bisa menahan emosinya. Sorot mata yang semula teduh, kini membulat penuh amarah menatap Burhan. Rahangnya mengeras, membentuk garis-garis tegas di bawha telinga.

“Maafkan aku...Aku mohon...Maafkan aku.” Burhan terduduk lemah di kursi.

“Kamu boleh membenci aku, Mas. Kamu boleh menghina aku, seperti yang dilakukan orangtuamu.” Galuh berhenti sejenak, mengambil napas dalam. “Tapi aku tidak pernah terima jika kamu menghina dan menyakiti Andit.” Telunjuk Galuh kembali mengarah ke wajah Burhan.
“Andit itu darah daging kamu. Sejak kecil, kamu tak pernah ada buat dia. Bahkan ingin memiliki kehidupan normal seperti temannya yang lain saja dia tidak bisa.” Galuh mengatakan semuanya hanya dalam satu tarikan napas. “Aku yang sudah merawatnya sejak kecil saja  tak pernah membentaknya. Dimana hati kamu hingga kata-kata sekejam itu bisa keluar dari mulutmu?” Galuh bergeming saat melihat Burhan semakin terisak. “Mungkin memang benar, kamu tidak pantas menjadi seorang Ayah.”

Andit tidak menyangka, ibunya bisa semarah itu pada ayahnya. Semua kebaikan ayah yang pernah diceritakan ibunya lenyap begitu saja dari pikirannya. Kini tinggallah Burhan, penyebab semua kehancuran hidupnya. Burhan-lah yang menjadi pangkal penderitaan yang dialaminya sejak kecil.

Ingatan Andit kembali ke masa kecilnya. Ketika bermain dengan teman sebaya, bully-an temannya masih membekas hingga dewasa. Sejak saat itu, Andit lebih memilih menarik diri. Bukan hanya karena sering mendapat perundungan, Andit yang sering menghemat uang jajan lebih memilih perpustakaan sebagai tempatnya bersembunyi.

Beranjak remaja Andit ingat sekali, ujung jarinya sering terkena jarum saat membantu menyelesaikan jahitan ibunya. Pekerjaan rumah yang diselesaikan hingga larut malam hanya sebagai alasan untuk menemani ibunya bekerja. Andit mengulang-ulang materi pelajarannya, sampai hafal setiap lembar yang dibacanya.

Pil pahit kehidupan dilaluinya dengan segala keterbatasan. Andit bergerak membantu ibunya yang sudah mulai kelelahan. Galuh yang terus memegang kepala, membuatnya semakin khawatir. Gadis itu sama sekali tak mengizinkan Burhan menyentuh ibunya.

Andit mengusap pipi Galuh dengan cekatan. Bola mata Burhan bergerak mengikuti setiap gerakan Andit yang sedang membantu ibunya berbaring di ranjang. Andit mencoba menenangkan ibunya. Bibirnya membentuk garis lurus saat menatap wajah Galuh. Sementara tangannya terus mengusap punggung tangan Galuh dengan lembut.

Sudut mata Andit menemukan bayangan Burhan sedang menatap ibunya dengan sorot mata sedih. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya.  Sesekali jempol dan telunjuk kanannya memijat panggal hidung setelah mengusap kedua pipinya, membersihkan sisa air mata. Tubuhnya tampak lelah menyandar di sudut tempat tidur Galuh.

Aktivitas di koridor kembali ramai. Petugas kebersihan memasuki ruangan, bersamaan dengan dua perawat yang bertugas memeriksa perkembangan kesehatan Galuh. Salah satu dari wanita berseragam putih menanyakan perihal infus Galuh yang lepas. Sedangkan seorang lagi keluar ruangan untuk mengambil jarum yang baru.

“Bu Galuh infus ini tidak boleh
dilepas sebelum Ibu dinyatakan sehat. Ibu harus banyak istirahat,” jelas perawat.

“Baik Sus,” Galuh menjawabnya singkat sambil mengejapkan mata.

“Bapak, Mbak tolong jangan ada keributan lagi. Tekanan darah Bu Galuh naik, pasien dijaga jangan terlalu banyak pikiran.” Andit mengangguk saat diingatkan perawat, sementara Burhan hanya terdiam.
Hening menyelimuti ruangan saat perawat melanjutkan tugasnya. Seorang petugas gizi masuk, memberikan sarapan untuk pasien.

Setelah memeriksa persediaan obat dan memeriksa infus sekali lagi, perawat merapikan peralatannya sebelum meninggalkan ruang rawat. Petugas kebersihan adalah petugas yang terakhir meninggalkan ruang Galuh.

Andit menatap ibunya dengan penuh kecemasan. Galuh yang memejamkan mata membuat Andit semakin khawatir. Tangannya mengusap lembut lengan ibunya. Iba menyusup dihati Andit melihat ayahnya yang terus menatap ibunya penuh penyesalan.

“Maafkan aku, Galuh.” Suara Burhan lirih terdengar serak.

Andit menatap Burhan sekilas sebelum perhatiannya kembali pada ibunya. Mulut Galuh terkunci dengan mata masih terpejam. Buliran bening kembali mengalir dari dua sudut matanya. Tangan kiri Galuh mengusap-usap dadanya.

“Aku mohon Galuh...maafkanlah aku.” Burhan bergerak mendekati Galuh.

“Aku tahu ini sudah terlambat, tapi...” Burhan kembali terisak.
Galuh membuka dua matanya, sementara Andit mulai menghapus air mata ibunya dengan tisu. Pikirannya masih berkecamuk, bukan pertemuan seperti ini yang menjadi harapannya. Sakit hati masih menguasai satu sisi hati Andit, namun di sisi yang lain keinginan untuk memiliki orangtua yang utuh itu masih ada. Andit tahu, luka itu tak akan pernah sembuh.

“Seharusnya kamu minta maaf sama Andit, Mas. Bukan aku,” Galuh kembali menegakkan badannya yang dibantu Andit dengan memasangkan bantal di punggung. “Kamu tidak pernah memberikan alasan, kenapa kamu pergi? Aku sama sekali tidak pernah tahu kenapa mau menyerah?”

“Iya, memang aku yang salah.” Burhan berusaha menenangkan diri dengan membasahi tenggorokannya dengan ludah. “Aku terlalu cemburu, sampai tidak bisa berpikir jernih.”

“Bukan itu masalahnya,” Andit mulai ikut bicara. “Seharusnya anda juga bertanggung jawab atas kehidupan kami, bukan membuang kulit setelah memakan pisangnya. Tak sepantasnya anda lari seperti pengecut.”

“Maafkan ayah, Andit.” Burhan menatap anaknya memohon.

“Tidak!” tukas Andit. “Kata maaf tidak akan cukup untuk membayar lima belas tahun sikap anda pada kami.” Kristal bening kembali mengalir di pipinya, “Anda bukan Ayahku. Ayahku orang yang baik. Ayahku tak pernah menyakiti Ibuku. Ayahku selalu ada saat aku membutuhkannya. Ayahku selalu melindungi keluarganya. Sementara anda,” Andit menggenggam telapak tangan ibunya untuk mencari kekuatan. “Anda itu seperti monster yang tak punya hati.”

Burhan kembali tersedu, menjatuhkan tubuhnya dan bersimpuh di depan Andit. Kepalanya menunduk lemah. Tubuhnya berguncang menahan isakan. Sementara Andit membungkam mulut agar tangisnya tidak pecah. Andit merasakan tangan kiri Galuh perlahan mengusap lengannya.

***

Missing Dad (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang