Bab 22

180 10 0
                                    

“Sudah, hentikan saja bualanmu!” Suara Andit hampir tak bisa didengar dengan jelas karena serak. “Apa kamu tidak bisa berpikir sedikit pun, kalau kamu punya anak yang harus disayangi dan dinafkahi?”

Andit kembali terisak. Suaranya semakin parau. Kepingan masa lalu yang pahit menari-nari di kepala, sulit untuk dikendalikan. Genggaman tangan Andit meremas-remas pinggiran kasur. Underpad bed yang keras membuat buku-buku jemarinya memutih.

Andit sama sekali tak menyurutkan niat, sebelum mendapatkan jawaban yang bisa membuat hatinya puas. Sorot matanya menantang ke arah Burhan yang tak berkedip lurus menatap dengan mata merah. Alasan yang diberikan Burhan sama sekali tak menyembuhkan, justru malah semakin membuatnya sakit hati. Dia tak menyangka, masalahnya menjadi semakin rumit.

“Bagaimana bisa saya bertanggung jawab dengan baik kalau waktu itu Abimanyu terus mendekatinya?” Pembelaan Burhan semakin membuat Andit kalap.
Kepalan tangannya hampir saja melayang ke wajah Burhan jika Galuh terlambat sedikit saja menarik dari belakang. Gemuruh hampir saja membuat dada Andit meledak. Dadanya naik turun, tertahan oleh pelukan ibunya dari belakang. Kulit Andit yang bersentuhan bisa merasakan tubuh ibunya yang gemetar.

“Argh!” Andit melemparkan tinjunya di kasur hingga membuat cekungan. “Ibuku bukan wanita seperti itu. Jangan pernah mencari kambing hitam untuk menutupi kesalahnmu sendiri.”

Galuh kembali terisak di punggung anaknya. Ruang rawat kembali sunyi. Tak ada satu pun yang berani membuka suara. Andit merasakan detak jam dinding berjalan melambat.

“Tidak hanya Abimanyu, saya juga tahu siapa saja yang mendekati ibumu.” Suara Burhan terdengar gamang, “Itulah salah satu alasan, kenapa saya tak mau menemui Ibumu lagi.”

“Sepicik itukah pikiranmu?” Andit mencondongkan kepala, tak percaya dengan ucapannya sendiri.

“Orang yang sedang sakit hati bisa melakukan apa saja, Nak.” Senyum Burhan berlawanan dengan ucapan yang berhasil membuat telinga Andit semakin merah. “Seperti kamu sekarang, apakah kamu berpikir kalau kamu bisa jadi anak durhaka dengan melawan ayahmu?”

“Aku baru tahu, selain keras kepala. Kamu juga pandai sekali bersilat lidah.” Gigi geraham Andit beradu, menimbulkan suara tertahan. “Kalau memang Ibuku seperti wanita yang kamu tuduhkan mungkin sekarang Ibu tidak berada disini. Bekerja di perusahaan yang sama denganmu pasti sudah membuat Ibu tersiksa, belum lagi paparan zat kimia yang menggerogoti tubuhnya.” Andit mengucapkannya hanya dengan satu tarikan napas.

“Ibu tak perlu banting tulang hingga tidur larut malam.” Andit menggeser tubuhnya, mengarahkan telunjuk tepat di wajah ibunya. “Lihat keadaan Ibu sekarang! Semua ini karena kamu melalaikan tanggungjawab.”

Andit terus menatap tajam wajah ayahnya. Ada getaran aneh saat mata mereka bertemu. Dadanya semakin sesak di penuhi rindu, sakit hati dan marah yang silih berganti. Sementara butiran hangat terus meluncur di pipinya. Andit tak menghiraukan lagi orang di sekitarnya. Kipas angin yang dipasang di ternit tak berhenti berputar, namun tak juga meredakan suasana panas disekitar tempat tidur Galuh yang ditutupi tirai hijau.

“Ibuku bukan sampah yang bisa kamu buang seenaknya. Lepaskan Ibuku dengan cara yang selayaknya kalau kamu memang sudah tidak mau menjadi suaminya.” Kebencian terdengar jelas dari setiap kata yang diucapkan Andit.

“Di mana hatimu hingga rela meninggalkan dengan cara seperti ini?” Andit menghela napasnya dengan kasar. “Mungkin saya yang harus membuat Ibu segera sadar agar tidak terus mengharapkan laki-laki pengecut seperti kamu.”

“Terserah kamu mau menganggap saya sebagai anak durhaka, yang jelas saya tidak akan pernah rela kalau Ibu selalu diinjak-injak.” Tegas Andit.
Tangan Andit mengusap wajahnya yang basah dengan keringat dan peluh dengan tisu yang diambilnya di nakas. Matanya menemukan satu kantung platik besar yang tak bisa diterka isinya. Perutnya terasa melilit karena belum diisi sejak tadi malam. Dia sama sekali tak bisa menebak isi pikiran lelaki paruh baya di depannya.

Tak ada seorang pun yang menemaninya di rumah sakit, bisa dipastikan bungkusan platik itu dari Burhan. Tubuh Andit bergetar, tenaganya sudah terkuras. Rambutnya yang lepek membuat tubuhnya semakin gerah. Matahari belum juga tinggi tapi badannya sudah mulai lengket. Andit mengambil poselnya dari kantong celana, berniat untuk meminta izin tidak masuk sekolah.

Pikirannya yang kacau tak mungkin bisa menerima pelajaran dengan baik. Dia juga tak mungkin ke sekolah dengan mata sembab. Teduduk di tepi ranjang membuat Andit tak lagi limbung. Tak dihiraukan sama sekali Burhan yang masih menatapnya sejak tadi.

Kepala Andit terasa berat saat menoleh ke arah ibunya. Tatapan sedih tampak di wajah ibunya saat mata mereka bertemu. Tanpa diminta, Andit mengambil beberapa tisu untuk mengusap air mata ibunya. Wanita itu hanya mengunci mulutnya sambil terus menatap anaknya dengan perasaan bersalah. Andit mengambil sarapan yang sudah mulai dingin untuk disuapkan pada ibunya.

Galuh yang sejak tadi tidak bisa mengeluarkan satu kata pun menolak suapan Andit. Dia tak berani menatap wajah Andit yang mulai protes karena mendapat penolakan. Wanita paruh baya itu meminta air putih untuk membasahi kerongkongannya yang kering. Sementara Burhan hanya bisa menatap keduanya dengan mata sendu yang penuh dengan penyesalan.

“Makanlah Bu, obat ini harus segera diminum,” tangan Andit menunjukkan wadah obat yang sudah disiapkan perawat.

“Perut Ibu mual, Nduk.” Suara Galuh hampir tak terdengar.

“Ibu harus paksa, biar cepat sembuh.” Tak mau menyerah, Andit terus membujuk ibunya.

“Galuh, kamu harus makan.” Bujukan Burhan membuat Andit terkejut.
Burhan mengambil alih piring yang ada ditangan Andit. Perlahan duduk di tepi ranjang menghadap Galuh, siap untuk menyuapinya. Andit yang masih dipenuhi dengan kebencian sempat ragu dengan sikap ayahnya. Perasaan takut Burhan akan menyakiti ibunya masih ada, membuatnya tak mau berdiri terlalu jauh dari orang yang telah melahirkannya.

Terenyuh menguasai hati Andit saat melihat ibunya membuka mulut, menerima sodoran sendok berisi makanan. Andit memang tak bisa membaca pikiran orangtuanya, namun bisa merasakan, masih ada cinta diantara keduanya. Sedangkan hatinya sendiri berlawanan dengan ucapannya pada Burhan. Jika bisa, ingin sekali bisa menghentikan waktu.

“Ayo Galuh, tinggal sedikit lagi.” Ada ketulusan yang menghiasi senyum Burhan meski tampak dipaksakan. Sementara mulut Galuh terus mengunyah makanan tanpa mengeluarkan satu kata pun.
“Kalau saya masih diberikan kesempatan, saya ingin membayar semua kesalahan di masa lalu.” Suara Burhan terdengar parau.

Andit yang sudah mengambil alih kursi yang tadi diduduki ayahnya, tak berkedip seolah takut Burhan akan melukai ibunya lagi. Tangan Burhan meletakkan piring kosong di nakas, kemudian menyodorkan obat dan air putih dengan lembut. Tak lagi menemukan kebencian yang dilihatnya setiap kali bertemu Burhan di sekolah.

“Terimakasih Mas, sudah berada di sini.” Senyum mengembang di bibir Galuh.

“Kebaikan Ibu jangan sampai kamu manfaatkan untuk menyakitinya lagi.” Nada ketus Andit memecah suasana, membuat orangtuanya tak mengeluarkan suara lagi.

***

Missing Dad (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang