Bab 36

151 9 0
                                    

Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Burhan sejak memasuki mobil. Tatapan lelaki itu lurus ke jalan yang mulai dipadati pengendara yang saling berlomba menuju tempat kerja. Pikiran lelaki itu masih berkecamuk, tak menyangka Sari akan melakukan hal senekad ini dengan mengikuti kepergiannya. Lima belas menit terasa sangat lama dengan tetap diam berdua di mobil dengan Sari, namun Burhan belum menemukan kata yang pas untuk memulai pembicaraan dengan istri mudanya.

Burhan melirik spion di atasnya untuk mengetahui kondisi emosi Sari. Wanita itu memalingkan wajah menatap deretan ruko yang mereka lewati. Matanya masih sembab, dengan tangan kiri yang menutup sebagian wajah, Burhan sama sekali tak bisa menerka isi hati istrinya. Biasanya Sari yang selalu memulai percakapan, menceritakan apa saja yang sedang dirasakannya. Sekarang saat Burhan yang harus memulai, dia kehilangan kata untuk membuat Sari tertarik berbicara dengannya.

Nyeri kembali menjalari dada Burhan. Tangan kirinya bergerak mengusap dada, berharap sakitnya sedikit mereda. Di balik kemudi, Burhan menarik napas dalam untuk menghalau dadanya yang terasa sesak. Besar harapannya agar Sari mengalihkan pandangan ke arahnya, tapi Sari masih sibuk dengan pikirannya sendiri.

Tangan kiri Burhan memasang earphone.  Nada bip terdengar setelah menemukan nama sekertarisnya. Setelah dua kali tak mendapatkan jawaban, Burhan kembali memencet telepon Arini.

“Arini, tolong lihat jadwal saya hari ini ya, saya tunggu sekarang...” Mobil Burhan berhenti diantara antrian kendaraan lain di lampu merah.

“Oh iya, saya hari ini kemungkinan tidak ke kantor. Ada urusan yang harus saya selesaikan. Tolong persiapkan presentasi untuk besok ya,” raut muka Burhan terlihat lebih lega saat Arini menjawab teleponnya. “Kamu hubungi saya kalau ada hal penting.”

“Nggak apa-apa, telepon saja. Ponsel saya aktif kok,” Burhan tetap fokus dengan jalan yang ada di depannya. “Oke, makasih.”

Burhan kembali mencuri pandang sebelahnya setelah menutup telepon. Tak ada respon apapun, Sari masih menatap pemandangan sebelah kiri mobil. Burhan tahu, pengakuannya akan sulit diterima tapi dia tidak mau terjebak dalam kebohongan yang diciptakannya sendiri.

“Aku minta maaf, Sari.” Burhan belum menemukan kata lain untuk memulai pembicaraan dengan istrinya.

Sari tak bergeming. Seolah melihat kesibukan orang-orang yang sudah dilewatinya lebih menarik daripada harus berbicara dengannya. Burhan gelisah dengan sikap istrinya. Tangannya meremas kemudi berharap bisa membuat hatinya menjadi lebih tenang.

“Aku yang salah,” Burhan membuat nada suaranya serendah mungkin.
Sari memberikan reaksi, wajahnya langsung menatap orang yang duduk dibalik kemudi. Burhan mendapati gamang menyelimuti istrinya saat mereka saling menatap. Luka yang dalam terpancar jelas dari matanya. Sari hanya menatapnya selama beberapa detik.

“Tapi aku tak punya pilihan lain, kamu pasti marah jika kau mengatakan yang sebenarnya.”

“Apakah kamu pikir, dengan menutupinya, aku tidak akan marah Mas?” protes Sari.

“Bukannya aku tidak mau jujur Sari. Aku akan mengatakannya di waktu yang tepat. Aku tidak mau kamu emosi jika aku mengatakan yang sebenarnya.”

“Coba kamu pikir, Mas!” Sari menggeser tubuhnya serong ke kanan. “Istri mana yang mau suaminya bersama wanita lain?”

“Galuh, istriku juga Sari. Sama seperti kamu,” Burhan kehilangan akal untuk membuat istrinya menerima kenyataan.

“Kenapa kamu tidak menceraikannya saja? Kenapa Mas?” Sari menelan ludah, “Dia itu masa lalu kamu. Aku...aku, Mas...yang jadi masa depanmu.”

“Aku...” Burhan menatap wanita disampingnya, “A..Aku...” Lelaki itu membiarkan kalimatnya menggantung.

Sari yang tak sabar menunggu jawaban Burhan hanya melempar pandangan. “Apa sih yang sudah dia lakukan sampai kamu sulit sekali untuk meninggalkannya?” Sari tersenyum sinis, “Kurang apa aku, Mas? Aku tak habis pikir, wanita seperti itu bisa membuat kamu tergila-gila seperti ini.”

“Wanita seperti apa maksudmu?” Burhan kembali terpancing dengan ucapan istrinya.

“Sungguh tidak masuk diakal, kamu lebih memilih bersama wanita kampungan seperti dia setelah apa yang kamu capai sekarang ini.” Kali ini ucapan Sari benar-benar berhasil menusuk hati Burhan.

“Sifat seperti ini yang membuat aku tidak bisa jatuh cinta sama kamu, Sari.” Spontan Sari menoleh ke arah suaminya.

“Ya, sebenarnya hatiku sudah mati denganmu. Aku tak pernah merasa dihargai saat bersama kamu.” Sari tampak tegang, kedua matanya semakin membulat. Tapi Burhan sudah tidak tahan lagi, enam belas pernikahan hanya dihabiskan dengan penuh tekanan.

“Galuh memang kampungan, tidak modis, miskin pula. Dia juga tak secantik kamu, tapi aku bisa mendapatkan satu hal yang tak pernah kudapatkan dari kamu.” Burhan menarik napas dalam, “Asal kamu tahu, aku mau menikah denganmu karena orangtuaku yang meminta. Bukan atas keinginanku sendiri, apalagi cinta.”

Burhan sudah tak kuat lagi menutupi hatinya. Dia tahu, Sari akan sulit menerima kenyataan tapi dia tidak mau menggali kebohongan lebih dalam lagi dan menciptakan kebohongan baru. Pahit memang, tapi Burhan harus mengatakannya. Sari akan semakin terluka jika dia terus menutupi kesalahannya.

“Aku sudah mencobanya, tapi sampai detik ini aku benar-benar tidak bisa mencintaimu.” Burhan melihat situasi jalan sebelum memencet sign kiri. “Dengar, aku tidak akan menceraikanmu. Aku akan tetap bertanggung jawab atas kehidupan keluarga kita. Tapi tolong, kamu harus mengerti kalau masih ada keluarga lain yang harus aku jaga ... aku nafkahi ... dan aku perhatikan.”

“Tidak Mas! Aku tidak mau...” Isakan Sari semakin tak terkendali. “Aku mau kamu tinggalkan wanita itu dengan anaknya.”

Mobil sudah tidak jauh dari rumah, saat pertengkaran mereka semakin sengit. Tangis Sari semakin menjadi, kedua tangannya menutup wajah tak bisa mengendalikan diri. Kedua bahunya terguncang keras seiring dengan tangisannya. Sari melepas dengan kasar saat Burhan memegang bahunya.

“Sari...” tangan kiri Burhan mengusap dada. “Aduh... .”

Burhan menepikan mobilnya. Nyeri kembali menyerang dadanya. Setelah minum obat pereda nyeri, Burhan menurunkan sedikit sandaran tempat duduknya. Pundaknya dan pangkal lehernya semakin tegang. Kepalanya terasa berat.

“Mas...Mas...” Sari panik melihat suaminya terlihat lemas. “Mas, kamu kenapa?”

“Dadaku sesak...” Burhan terus memegang dadanya.

Nyeri semakin menyerang, ada sesuatu yang terasa menusuk-nusuk dadanya. Tulang-tulang terasa lepas dari tubuh Burhan. Berat sekali menggerakkan tubuh, kepala Burhan menyandar di jok mobil. Dia tak menghiraukan Sari yang mulai panik.

“Aku antar ke rumah sakit ya Mas,” tak mendapatkan jawaban, Sari menjadi semakin panik.

Sari melempar tasnya ke dashboard sebelum keluar dari mobil. Dia berjalan memutar sebelum membuka pintu belakang kemudian berikutnya pintu kemudi. Perlahan ditariknya Burhan keluar dari mobil. Tubuh Burhan yang terasa lemas hanya bisa bergeser. Dengan bantuan istrinya, perlahan Burhan pindah ke jok belakang.

Sari menurunkan sandaran membuat Burhan lebih leluasa. Mata Burhan terpejam, dalam sekejap sudah tidak ingat lagi dengan apa yang terjadi. Dalam benaknya Burhan sedang bersama Galuh dan Andit tertawa bersama di sebuah rumah yang sederhana. Rumah yang dulu mereka tinggali. Burhan merasakan hangat, hatinya mengembang melihat dua orang wanita yang disayanginya tertawa lepas.

***

Missing Dad (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang