Bab 31

154 8 0
                                    

Sudah pukul delapan malam. Sari mulai merasa gelisah. Dia sedang duduk di depan televisi. Namun tak satu pun siaran televisi itu menarik hatinya. Wanita itu mengganti channel televisi berkali-kali. Eki yang duduk di sebelahnya mulai merasa tidak betah.

"Mama apa-apaan, sih? Yang tadi bagus."

"Ck!" Sari berdecih jengkel. Dia kembali mengganti siaran televisi ke acara yang diminati Eki.

"Papa kamu belum pulang. Lihat, udah jam berapa ini?" Sari menumpahkan kegelisahannya pada Eki.

"Coba telpon, Ma. Mungkin lagi banyak kerjaan."

"Kerjaan apa? Tidak biasanya Papa kamu pulang telat seperti ini. Mama curiga. Jangan-jangan ... " Sari menggantung kalimatnya.

"Jangan-jangan apa, Ma?" tanya Eki, penasaran.

"Ah, sudahlah." Sari meraih ponselnya di atas meja. Kemudian memeriksa kotak panggilan. Sekali lagi ia mengembuskan napas kecewa. Tak ada nama Burhan di sana. Bahkan suaminya itu tidak meninggalkan pesan apa-apa. "Haduh! Kemana kamu, Mas? Apa susahnya sih, kasih kabar aku?"

"Coba Mama yang telpon duluan," saran Eki. Sejujurnya, Eki merasa aneh sekali dengan tingkah ibunya itu. Dia gelisah menunggu, tapi tidak ingin mencari tahu atau sekadar menanyakan kabar terlebih dahulu. Harga diri seperti apakah yang dipertahankan wanita seperti ibunya itu? Eki benar-benar tidak mengerti. Tak ingin memikirkan hal yang menurutnya tidak penting, kedua mata remaja itu kembali terpaku pada tontonannya.

Jarum jam terus bergerak. Entah sudah berapa kali Sari mondar-mandir dari ruang tamu ke teras. Lalu dari teras, kembali lagi ke ruang tamu. Kedua tangan wanita itu terlipat di depan dada. Tangan kanannya menggenggam ponselnya.

Tidak tahan terus menunggu, Sari akhirnya mencoba menghubungi Burhan. Panggilan pertama tidak diangkat. Sari terlihat kesal. Dia mencoba lagi menghubungi ponsel Burhan.

"Hallo, Mas kamu di mana? Sudah jam sembilan malam kok belum pulang?"

"Ini sudah dekat rumah. Sudah. Aku sedang menyetir," jawab suara di seberang telepon.

Sari mematikan ponselnya dan kembali ke depan televisi. Beberapa menit setelah itu, sebuah mobil memasuki pekarangan rumah Sari.  Burhan keluar dari mobilnya.

"Ma, itu Papa datang," Eki melihat ke arah Burhan. Biasanya Sari akan menyusul suaminya itu ke kamar. Membantunya melepas pakaian dan menyediakan apa pun keperluan Burhan. Kali ini wanita itu memilih diam saja. Sari seolah tidak mendengar apa-apa.

Eki mulai memahami situasi yang sedang terjadi. Remaja itu mengembuskan napas keras dan kembali fokus pada tontonannya. Sebenarnya, ia khawatir dengan keadaan yang membuat canggung seperti ini. Namun ia juga bingung harus melakukan apa. Diam-diam remaja itu mengirimkan pesan pada teman-temannya. Ia mengatakan agar menunggunya di tempat biasa--sebuah gudang milik seorang temannya yang telah mereka sulap menjadi posko untuk mereka berkumpul.

Burhan keluar dari kamar. Sepertinya ia baru saja selesai mandi. Pakaiannya sudah berganti dengan kaus dalam putih dan celana pendek. Lelaki tambun itu duduk di samping Sari. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan penyesalan. Sari semakin muak mendapati bahwa Burhan bersikap seolah tak terjadi apa-apa.

Wanita itu bangkit dari duduknya. Berkali-kali ia mengambil napas dalam, tapi tidak juga meredakan gemuruh di dalam dadanya. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Dari mana kamu tadi, Mas? Kenapa pulang terlambat?"

Burhan melirik sekilas. Matanya mengarah ke televisi dan tangannya sibuk mengganti siaran televisi. "Tadi ketemuan dulu sama teman lama."

"Siapa?" tanya Sari dingin.

"Ada, kenalanku dulu. Kebetulan ketemu, terus kita ngobrol. Aku nggak sadar, ternyata sudah malam." Burhan bersikap seolah yang ia lakukan adalah hal yang wajar.

"Apa nggak bisa kabari aku dulu? Aku nungguin kamu dari tadi, Mas. Sekarang lihat! Makanannya sudah dingin. Tahu begitu aku tidak perlu capek-capek masak," geram Sari.

"Loh, kenapa? Ayolah, kita makan sekarang. Aku lapar." Burhan berdiri kemudian menuju meja makan. Benar saja, di sana sudah terhidang makan malam yang masih utuh. "Loh, belum pada makan? Masih utuh begini." Burhan mengambil tempat duduk, dan makan dengan tenang.

Sikap Burhan yang terlihat baik-baik saja membuat Sari tidak tahan. Wanita itu meninggalkan Burhan sendiri di meja makan. Ia masuk ke kamar dan membanting pintu.

Setelah menyelesaikan makan malamnya, Burhan menyusul istrinya itu ke kamar. Entah apa yang terjadi di dalam sana, yang jelas semua ketegangan yang terjadi di rumah itu membuat Eki tidak tahan.

Tanpa menunggu lagi, Eki meraih jaket dan helmnya. Remaja itu menstarter motornya dan pergi dari sana.

***

Eki pikir itu setelah hari itu, kedua orang tuanya akan menyelesaikan segala masalah mereka dan keadaan kembali seperti biasa. Namun ternyata, hal itu bukan sekali ini terjadi. Sudah beberapa kali Burhan  pulang terlambat. Tepatnya setelah Andit mendatangi rumah itu. Sari mencurigai sesuatu telah terjadi di antara Burhan dan Galuh. Namun ia belum memiliki bukti untuk membuat Burhan mengakui hal itu.

Hari ini pun sama. Burhan pulang ke  rumah saat jam menunjukkan pukul sembilan malam. Berkali-kali Sari memancing Burhan dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah kepada Galuh. Namun yang terjadi akhirnya malah perseteruan di antara mereka. Burhan yang berwatak keras tidak senang dengan cara Sari bertanya padanya.

"Sudah berapa kali kukatakan, aku tidak suka caramu mencurigaiku seperti itu. Bukankah kau selalu mengetahui ke mana pun aku pergi?"

"Ini buka kali pertama kau bersikap seperti ini, Mas. Aku hanya bertanya, ke mana kau setelah pulang bekerja? Siapa yang kau temui sebenarnya? Perempuan itukah?"

"Apa maksudmu? Jaga bicaramu, Sari!"

"Huh! Jadi benar kau ke sana, Mas? Ingat, Mas, aku tidak sudi jika kau berhubungan lagi dengan wanita itu dan anaknya. Aku tidak terima."

Burhan sudah muak dengan cara Sari berkata tentang Galuh seperti itu. Ia murka. "Cukup, Sari! Bagaimana pun kau menyangkalnya, mereka adalah istri dan anakku juga!"

"Huh! Caramu menjawab pertanyaanku sudah menunjukkan semuanya, Mas. Aku sudah lelah kau perlakukan seperti ini."

"Perlakukan seperti apa? Enam belas tahun pernikahan kita, kapan aku membuatmu kecewa? Lalu tiba-tiba saja kau menyebutku telah mengecewakanmu? Sari ... sudah cukup semua perdebatan ini. Aku benar-benar lelah menghadapi sikapmu."

Suara tangis ibunya terdengar jelas. Selalu saja begitu. Eki yang berada di balik pintu kamar mendengar semua perdebatan yang terjadi. Dan seperti biasa, Eki memilih melarikan dirinya ke posko tempat ia dan teman-temannya biasa berkumpul.

Di sana ia bisa melupakan semua yang terjadi di rumah. Rasa marah, kecewa, dan  kegelisahannya seakan sirna saat ia memainkan drumnya di sana. Eki menggebuk drum dengan emosional, menciptakan bunyi yang selaras, dan menghentak jiwa remaja itu.

***

Haduuu... Kasian Eki, ya. Tapi syukurlah, dia nggak memilih melakukan hal-hal yang buruk. Sering para remaja malah akhirnya terjerumus pada kehidupan yang salah saat kondisi rumah tak lagi seperti seharusnya. Tunggu part selanjutnya esok hari, ya... Terima kasih 😘







Missing Dad (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang