HAPPY READING 📖
--------------------------------------------
Keduanya menatap langit-langit kamar. Mereka tahu tidak ada yang bisa tidur hari ini. Berbagai pikiran, menyerang kepala dan menetap di sana hingga mata pun tak mau tertutup. Selain kepala, ada hati yang gundah.
Angel memposisikan tubuhnya menyamping, memunggungi Griss yang masih terdiam. Jantungnya berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Jika sebelumnya hanya dua kali, kali ini empat kali lipat dan ia benar-benar ingin tenggelam ke lubang hitam kalau ada.
"Aku ingin kau tahu kalau aku amat merasa bersalah pada Christine karena merebutmu," kata Angel memecah keheningan. Terdengar Griss menghela napas kasar dan ia tahu Griss pasti tidak mau mengangkat topik ini. Mau bagaimana lagi, topik itulah yang terus mengendap di kepalanya dari tadi.
"Kau terlalu menyalahkan dirimu, Angel."
"Bukankah itu faktanya? Aku merasa bersalah padanya. Harusnya aku tidak menukar posisinya. Ini sejak awal memang salah. Aku egois, aku tidak bisa di sini terus-menerus. Aku tidak tahu apa isi pikiranmu tapi kumohon, lepaskan aku. Biarkan aku menjalani hidupku. Aku merelakan Christine bersamamu walaupun—"
"Walaupun kau harus tersiksa? Begitu? Jangan munafik, Angel. Kau masih mencintaiku dan kau sebenarnya tak rela aku bersamanya. Sesekali pikirkanlah kebahagiaanmu!" Griss menoleh, memberikan tampang tak suka dengan Angel yang terlihat putus asa. Ia merasa ia tidak bisa lagi diperjuangkan. Ia takut Angel akan menepis perasaan untuknya dan menggantikannya dengan siapa pun. Ia tidak mau kehilangan Angel untuk kedua kali walaupun ia harus.
"Aku akan terus bersikap egois seperti katamu," lirih Angel. Matanya memanas namun ia tidak mau menangis hanya karena tak ingin kehilangan Griss. Griss benar. Ia munafik.
"Stop thinking about it! Aku sama sekali tak ingin mengungkit masalah yang pernah berlalu. Jalani hidup kita sekarang. Aku dan kau. Tidak ada orang lain, tidak ada Christine, atau siapa pun. Hanya kau dan aku!"
Angel terduduk. Ia menatap marah Griss karena ucapan itu bak memberinya harapan. Ia tak mau berharap lebih karena sudah setahun ia mencoba meredam perasaannya untuk Griss dan jangan karena sehari, hatinya berubah lagi.
"Kenapa harus sesukamu melarangku, hah? Kenapa kau bersikap otoriter dan memberiku harapan? Kau tidak tahu kalau kata-katamu seakan memberiku sesuatu yang tak bisa kuraih!"
"Apa itu?" tanya Griss dengan senyum tipis mengembang dari rahang perseginya.
Angel terkesiap. Saking terbawa emosi, mulutnya pun sesuka hati bertutur. "Tidak ada. Aku hanya tak mau kau memberiku harapan lagi, Griss! Kita sudahi saja kalau keadannya begini. Aku tidak mau membuat pihak mana pun terluka. Please, carilah kebahagiaanmu sendiri."
"Kalau kubilang kau kebahagiaanku, kau percaya?"
Terdiam. Angel hampir menarik senyuman namun ia tahan. "What? Kau berbicara seakan kau mencintaiku." Lalu ia memutar bola mata dan mengalihkan wajahnya pada Griss.
Griss tersenyum di balik punggung Angel. Ia harus mengatakannya namun tidak sekarang. Akan ada saat yang tepat ia menyatakan perasaan pada Angel dengan sesuatu yang manis.
"Padahal sering sekali kau menghubungi Christine." Lagi-lagi Griss tersenyum. Ia tahu Angel cemburu dan ... astaga, betapa manisnya sosok itu. Ia tak pernah merasa menjadi sosok yang masih diinginkan walau sudah melakukan kesalahan. Ia tak pernah merasa bahagia hanya dari perdebatan.
"Aku tidak berkomunikasi lagi dengan Christine," bantah Griss. Semula ia berbaring, kini duduk di samping Angel, mengamati raut wajah yang terlihat marah.
"Oh, ya? Jadi siapa yang menelponmu? Kau pikir aku tidak tahu itu Chris? Kalau kau memang mencintainya, pergilah ke rumahnya dan bilang kau masih mencintainya! Aku rela kau bersamanya! Pergilah! Sudah kubilang kau terlalu memberiku harapan!" Angel bersedekap dada, wajahnya cemberut dan marah namun malah membuat Griss tergelak.
"Kau cemburu, kan? Kau cemburu Chris masih menghubungiku?"
"Aku hanya ingin minta kejelasan! Kau menampungku lagi di rumah ini malah sebagai pajangan."
Griss kembali tergelak. Ia tak menyangka ekspresi dan nada Angel benar-benar terlihat seperti kesal. Biasanya Angel terlalu pintar menutupi kekesalan dan ... kecemburuannya tentu saja.
"Kenapa kau tertawa?" Angel mendekat, matanya menajam hingga Griss yang tak tahan dengan raut manis itu, mencubit kedua pipi Angel dan melebarkan matanya.
"Kau cemburu, kan? Jawab saja kalau kau cemburu. Aku tahu istriku pasti sedang kesal karena butuh perhatian lebih dariku."
Angel menepis kasar tangan Griss lalu menunjuk tepat di dada Griss. "Jangan percaya diri, Mr. Clark."
"Bagaimana denganmu? Kau juga berdekatan dengan kacung tak tahu diri itu! Entah apa maksudnya mendekatimu dan berlagak baik." Griss mendelik kesal. "Sebenarnya aku mau jujur kalau aku tidak suka kau berdekatan dengannya. Dia menyukaimu tapi pura-pura kalau dia menyukaimu sebatas sahabat. Aku benar-benar tidak yakin niatnya mendekatimu."
"Jangan bawa-bawa Xander pada topik kita, Mr. Clark. Dia tidak ada kaitannya. Dan apa katamu? Cemburu? Haha, yang benar saja. Bahkan kau tak pernah cemburu aku berdekatan dengan siapa pun. Bagaimana aku bisa percaya?" Angel menaikkan alisnya, menantang Griss untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan. "Apa yang keluar dari mulutmu, aku tidak percaya!"
Merasa ditantang, ia menarik pinggang Angel untuk mendekat, mengunci Angel melalui tatapannya dan mengelus lembut pipi Angel. "Aku cemburu dan aku tidak bisa mengatakan seberapa panas hatiku melihatmu bersama pria lain kecuali aku. Kau tidak tahu rasanya ingin menghajar mereka walau kau bilang dia hanya customer, pelayan, atau apa pun termasuk kacung tak beradap satu itu. Kau milikku dan akan selalu begitu. Nama belakangku tetap punyamu," bisik Griss, intens, tak terbantahkan, dan hangat.
Diam sejenak.
Angel mendorong dada Griss lalu langsung berbaring—menyudahkan topik malam ini karena ia tak sanggup menahan detak jantungnya yang semakin menggelegar di dalam sini. Perlakuan Griss yang tak ia sangka, bisa saja membuatnya salah tingkah.
"Jangan panggil Xander sesukamu. Dia punya nama dan namanya adalah Xander Robinson. Bukan curut, kacung, atau apa pun. Ingat, Xander Robinson!"
"Terserah. Yang jelas aku tidak suka kau berdekatan dengannya. Hentikan kebiasaanmu memeluk siapa pun saat mereka datang karena kalau aku tak bisa menahan emosi, hidung mereka bisa patah."
Angel tertawa kecil. Ia mengatur posisi yang pas lalu menoleh. "Tidurlah. Selamat malam." Ia ke posisi semula sembari membayangkan kejadian yang baru saja terjadi. Ia benar-benar malu dan merasa ada kupu-kupu di perutnya. Ia terlalu gugup.
Semakin lama mendalami kejadian memalukan tadi, ibu peri sepertinya ingin ia tidur. Tak lama, ia memejamkan mata, terlelap bersama mimpi indah.
Griss yang masih duduk, berbaring lalu menumpukkan kepalanya menggunakan tangan. Dielus lembut rambut Angel dan menatap lekat istrinya. Selagi Angel masih bersamanya, ia ingin mengubah semua yang pernah terjadi di hubungan mereka menjadi lebih baik. Ia tahu ini hanya satu kesempatan karena hati Angel bisa saja berubah kapan pun. Karena ketakutan itulah, ia ingin Angel terus mencintainya dengan perlakuan yang ia beri.
"Good night, Sweetheart," gumamnya lembut. Ia mengatur posisi yang pas untuk memeluk Angel dari belakang. Hatinya tahu pembatas di antara mereka akan berakhir dan akan ada jalur menuju cinta yang mereka tempuh nanti.
.
.
.
TO BE CONTINUE
KAMU SEDANG MEMBACA
No Reason Why ✅
Romance[NOVELET] Pertama kali publish : 12 Oktober 2020 Grisster Clark merasa bodoh karena tidak menyadari jantungnya berdegup untuk siapa. Dulu ia mencintai dan mengira untuk Christine Sullivan. Tapi semuanya berubah sejak kalimat itu menamparnya keras. I...