CATATAN & PROLOG

1.6K 207 4
                                    

"Manusia ingin percaya bahwa mereka hidup dan bertindak berdasarkan kemauan mereka sendiri, namun pada kenyataannya mereka hanya dipaksa oleh keadaan."

—Eiji Yoshikawa Novelis dari Jepang 1892-1962

□■□■□■□■□

Update mungkin sedikit ngaret, karena waktu digunakan untuk packing buku-buku yang dikirimkan, juga mengurus beberapa urusan rumah, dan kucing-kucingku. Adapun beberapa urusan pribadi, tidur misalnya sejak subuh, bangun-bangun mungkin jam 12 siang. Nge-game, karena otak butuh refleksi, walau isinya cuma emosi kalau gebuk-gebuknya udah kayak jeli, tapi tetep on, kalau nggak gitu nanti aku dikeluarin dari klub.

Selain patuhi protokol kesehatan, jangan lupa patuhi setiap peraturan lapak ini. Bacanya cuma lima menit, tapi bikinnya bisa berjam-jam, jadi hargai penulisnya, jangan bertindak anarkis, cukup kalau pas demo aja, terima kasih kalau sudah menyempatkan vote, kalian yang terbaik.

Yaks, terakhir sedikit nyempil promosi walau kalian enek kenapa malah jualan. Ya, gini dong guys, penulis juga butuh asupan kopi dan camilan, selain itu kucingku favoritnya bukan tongkol tapi Snappy Tom, nggak cukup satu kaleng dalam sebulan, mana peduli kalau babunya miskin sekarang. "Masih untung aku nggak minta Royal Canin," kata kucingku di sebelah. 

ELEGIAC OPEN PO FEBRUARI-AKHIR MARET

HARGA 100.000 (dp 50.000)

Lebih banyak lagi penjelasannya? Silakan baca-baca di lapak cerita sebelah.

Arigachuuuu~

□■□■□■□■□

Gadis itu pergi mungkin karena aku tidak pernah menanggapi permintaannya. 

Sejak lulus SMA, Hinata sudah menyinggung soal pernikahan, tapi menikah tidak pernah aku bayangkan. Hubungan sama saja, menikah atau tidak menikah, aku tetap mencintai dan menggilainya, tapi aku sadar kalau cara berpikir laki-laki dan perempuan itu amat berbeda. Sekarang, satu-satunya yang aku tahu kalau dia pergi dariku memang karena itu. Tapi semua berubah, mematahkan apa yang dapat kusebut alasan utama, sampai saat aku menyewa mata-mata dan aku tahu semua yang dia sembunyikan dariku. 

Setelah menerima informasi itu, aku menghela napas. "Apa mereka anakku?" kalimat itu terdengar jahat, tapi bisa saja Hinata berselingkuh. Namun, apa benar gadis itu berani melakukannya di belakangku? 

Aku sudah pernah menghajar siapa-siapa yang telah menggodanya meski dengan bersiul. Aku memukuli mereka dan mematahkan tulang-tulang mereka. Kecemburuanku tidak main-main, karena aku tidak ingin kehilangan kekasihku, dan bukankah itu wajar?

Sejujurnya, hampir yang kulakukan menjadi budak cintanya, tidak pernah marah sebesar ini. Aku merasa dikhianati olehnya. Dipermainkan, tapi nyatanya aku tidak benar-benar bisa membencinya. Aku tetap mencintainya, aku tetap menginginkannya. Namun wanita itu telah menyembunyikan hal-hal seperti ini, bahkan tidak memercayai diriku sebesar aku memercayai dirinya, itulah yang membuatku merasa dilema.

Lima tahun kemudian, setelah aku kehilangannya, setelah dia tahu bahwa aku menemukan tempat persembunyiannya. Akhirnya, aku punya waktu untuk bertanya padanya. 

Selama ini aku yakin sudah cukup tenang untuk menanggapi hubungan tidak sehat kami. Akan tetapi melihat dia menari-nari di lantai dansa dengan bahagia, aku sungguh marah dan membencinya dengan seluruh cinta yang meracuni isi kepala. 

Ponsel itu berdering, dan dia menaiki meja dengan mengapit rokok di jarinya. Aku bertanya padanya dari jauh—dari sambungan telepon sembari memperdengarkan getaran kemarahan. "Di mana anak-anakku?" tanyaku dengan tenang, tapi aku lupa kalau Hinata adalah satu-satunya gadis yang dapat memprovokasi keadaanku.

"Anakmu? Kau yakin itu anakmu?" bahkan sampai sekarang aku tidak yakin, si kembar itu apakah anak-anakku. Tapi melihat rupa mereka menyerupai kami sewaktu kecil, hampir 70 persen aku yakin kalau mereka adalah anak-anakku. Baiklah, kita buktikan 30 persen lagi dengan tes. "Karena kau tidak menginginkannya, maka dari itu aku membuang mereka, Sayang."

"Kau masih ingat, bukan, kalau kau ketahuan bohong apa yang akan terjadi?" Hinata membuang tawa di ujung sana, setelah dia berhenti merokok, dan meniupkan asap ke udara sambil berwajah menantang. "Jangan menantangku, Sayang. Aku tidak cukup yakin setelah ini, jika berhasil membawamu pulang, apakah aku perlu memotong kaki dan tanganmu agar tidak pergi dariku. Kau yang paling tahu, kalau aku tidak pernah main-main."

"Seperti biasa, kau tidak pernah berubah, maka dari itu aku tidak pernah menaruh harapan besar padamu."

"Minta maaflah sekarang, maka aku akan melupakan semuanya." 

"Minta maaf?" gadis itu tertawa, kali ini membuang puntung rokoknya. "Tidak. Aku tidak akan pernah minta maaf atau mengemis layaknya gelandangan seperti dulu. Aku bukan budakmu, dan tentu saja aku bukan kekasihmu lagi. Aku wanita biasa yang ingin bahagia bersama anak-anakku, dan aku tidak akan pernah mengemis hanya karena keegoisanmu!" 

"Anak-anak?" ketika aku melangkah, gadis itu tertegun. "Kau hidup bersama mereka? Dengan kemiskinan yang sedang mempersulit mereka? Kau membuat anak-anakku menderita!"

"Mereka anak-anakku!" 

"Mereka adalah darah dagingku, aku bersumpah tidak akan pernah melepaskanmu setelah ini!"

Setelah gadis itu menjatuhkan ponselnya dan turun dari meja tanpa alas kaki, berlari menjauhi kelab tersebut. Aku menyuruh orang-orang untuk mengikutinya. Hinata pergi keluar dengan memberhentikan taksi, sementara taksi tersebut hanya berputar-putar. Tapi masalahnya, aku tahu tempatnya pulang, aku tahu di mana dia tinggal dengan seluruh kemiskinan yang membuat si kembar menderita. 

Saat itu, aku sudah berada di apartemen kecilnya yang tidak ada kamar pribadi dan matras yang empuk. Hinata tertunduk dengan kaki terluka karena gesekan dari aspal yang kasar. Dia akhirnya bersujud di depanku dengan wajah yang sedih dan putus asa. 

"Selamat datang," aku menyapa setelah melihat seluruh barang-barang di sana dan merusaknya karena marah. "Akhirnya kau bersujud sekarang, tapi aku belum mendengar kau meminta maaf." 

"Anak-anakku... di mana mereka?" 

"Apakah kau bakal percaya kalau aku mengirim mereka ke surga lebih cepat?"

"Naruto!" sudah cukup lama tidak merasakan tangan sekecil itu menamparku. Dulu, setiap aku menggodanya ketika kesal bahkan saat aku memukuli pemuda-pemuda yang mengajaknya kencan, Hinata selalu menamparku dengan menangis dan marah. Tapi kali ini dengan alasan yang berbeda dia menamparku, dan semua kekecewaan itu tidak beda jauh. Aku cemburu ketika dia lebih memedulikan orang lain ketimbang diriku. Sangat hina cemburu pada anak-anakku sendiri. Itu membuatku sangat menyadari bahwa aku benar-benar tidak bisa menjadi seorang Ayah yang baik bagi mereka. 

Maaf, karena aku mencintaimu, Hinata.

□■□■□■□■□

BERSAMBUNG

BAB 1 SETELAH IMBROGLIO TAMAT!



Meet Again ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang