19 - Reza di Rumah Pices?

30 8 10
                                    

Pices dibuat kesal mati-matian karena dia hanya mendapatkan satu ikan bersisik dan berduri di sirip punggung, ukurannya bahkan sejempol kaki padahal Pices paling lama memelototi pancingnya.

Jani yang cara mancingnya pakai tatapan datar plus kalem malah mendapat 5 ikan lele jumbo di dalam ember hitam gadis itu. Sungguh mengecewakan. Trik bapak tadi tidak ampuh sama sekali dan Pices ingin memprotes padanya, tapi sayang bapak itu sudah pulang.

Akhirnya Pices hanya menghela napas dengan membawa perlengkapan mancing besarta ikan kecil itu di ember berisi air. Ini mah cocoknya jadi peliharaan saja padahal Pices membayangkan lebih yaitu membakar ikan lele jumbo dan dicocol pakai sambal rica-rica. Eh, malah cuma jadi hayalan. Memang ya, halu tak seindah realita.

Pices meletakkan perlengkapan pancing di sisi rumah dan membawa ember itu ke rumah dan rencananya akan dipelihara saja. Lumayan 'kan, daripada dibuang? Kasihan juga si ikan yang mulutnya sedikit lecet akibat mata pancing.

Kedatangan gadis itu di rumah membuat orang yang duduk di atas sofa ruang tamu lantas menoleh ke ambang pintu. Pices mengerutkan dahi dan bergeming layaknya patung yang jadi pajangan di mall-mall.

Di atas sofa itu duduk sepasang suami istri dan seorang cowok yang duduk di sebrangnya. Pices berkedip, lidahnya kelu untuk berkata, tatapannya terkunci dengan tatapan tajam cowok itu, mereka tenggelam dalam diam tidak menghiraukan pertanyaan-pertanyaan dari kedua orang tua Pices.

"Lah? Kok malah diem-diem?" Roma geleng-geleng memandang kedua remaja itu.

"Enggak sopan banget, sih, Pices ini masuk tanpa permisi kayak jelangkung aja!" cibir Eni ikut geleng-geleng.

Entah dari mana asalnya, lagu yang berjudul "Apa Itu Cinta" menambah kesan dramatis yang elit kayak di sinetron-sinetron. Lagu nyasar itu tambah membuat kedua orang tua Pices melongo dan bergidik.

Cowok yang merupakan guru privat dadakan Pices pun memutus kontak mata dan berdehem cukup keras membuat Pices tersadar. Bukankah cowok itu sendiri yang menyuruhnya datang ke rumah cowok itu? Lalu kenapa cowok itu datang ke sini?

"Reza? Kapan datengnya? Kok enggak bilang? Katanya gue yang ke rumah lo? Gimana, sih?" tanya Pices bertubi-tubi dalam satu tarikan napas alias tanpa jeda.

"Cek WA," jawab Reza tanpa menoleh membuat Pices tersenyum kikuk. Jawaban Reza membuat Pices yakin bahwa cowok itu sudah memberitahukan lewat WhatsApp, tapi Pices tidak tahu karena belum mengeceknya.

"He he, ya maaf, kapan mulai belajarnya?" Pices bertanya setelah meletakkan ember di dapur dan berdiri di samping sofa yang diduduki bapaknya.

Eni dan Roma sudah tahu maksud kedatangan cowok itu ketika Reza menjelaskan dengan singkat dan jelas. Maka dari itu Reza diperbolehkan untuk masuk dan berdekatan dengan putrinya.

Eni dan Roma memilih meninggalkan mereka berdua dengan alasan menjenguk Kino yang katanya keseleo gara-gara kepeleset kelereng. Ceroboh sekali si albino itu!

"Sekarang," jawab Reza kemudian dia berdiri. "Di mana?"

Pices yang berbalik badan hendak mengambil alat belajarnya itu pun berhenti dan menoleh. "Apanya?" tanya Pices tidak paham yang ditanyakan oleh Reza. Apanya yang di mana? Belajarnya? Atau--

"Ck!" Decakan kesal sebagai jawaban itu membuat Pices tambah mengernyitkan dahi. Apalagi cowok itu berjalan mendekatinya dalam balutan celana jins hitam dan jaket kain tipis berwarna abu-abu dipadukan dengan sepatu kets putih. Rambut yang disisir miring ke kiri menampilkan kesan rapi yang memesona.

Cowok itu berhenti di depan Pices dan menyentil dahinya membuat Pices tersentak karena mendapatkan serangan tiba-tiba. Rasa nyeri di dahi tidak membuat ringisan Pices bertahan lama setelah usapan kesepuluh rasa itu hilang.

"Otak tuh dipake," kata Reza dingin dan sangat mengena ke hati.

Pices lantas memegang dada kiri dan menekuk bibir ke bawah dengan pandangan sedih. "Kok lo tega, sih! Boleh sakitin fisik gue, tapi jangan sakitin hati gue karena di sana ada elo." Wah, wah, mulut Pices minta ditampol pake apa, ya? Masih sempet-sempetnya gombal sama si singa, nanti diterkam baru tahu rasa!

Reza menaikkan alis dan menampilkan seringaian. "Coba gue liat," tantangnya membuat Pices melongo.

"Jangan!" Pices heboh seketika saat otaknya menerjemaahkan bahwa Reza ingin melihat hatinya berarti harus membuka baju 'kan? Tentu saja Pices tidak mau karena dia bukan murahan. Kedua tangan disilangkan di depan dada sebagai tameng dan tanda penolakan. "Lo mesum ih!"

Reza menatap tajam dan datar. "Lo pilih pisau apa pistol?" tanyanya dingin membuat Pices teringat sesuatu. Surat! Ah, ya! Mirip sekali ancaman Reza dengan surat itu, apa benar si Rezalah yang mengirim surat itu? Apakah tadi malam juga?

"Otak lo mau gue bersihin?" tanya Reza pedas.

"Seharusnya otak lo yang dibersihin, eh, tapi habis itu wajah gue simpen di otak lo, ya? Biar lo inget terus sama gue." Pices tersenyum manis dan setelahnya dia tergelak.

"Lo memang gila."

"Gila itu indah tahu!"

"Ha?"

"Iya, tergila-gila padamu." Pices tertawa riang kala berhasil membuat wajah Reza memerah. Sungguh! Reza ingin sekali menenggelamkan Pices ke kali Ciliwung sekarang juga, tapi tahan.

Tarik napas... buang! Sabar, Za! Inget kata ayah, "Jangan gegabah!" Reza menyalurkan emosinya pada genggaman di kedua tangan. Sekilas matanya menutup hanya untuk menenangkan diri.

"Bercanda kok enggak usah tegang juga. Yaudah, Yuk!" Tangan kanan Pices meraih kepalan tangan kiri Reza membuat cowok itu langsung menghentak kasar.

"Don't touch me!" gertak Reza dengan suara tinggi. Dia berharap Pices akan takut padanya dan menuruti, tapi nyatanya Pices malah terkekeh.

"Aduh, ampun Bang Jago! Ak--aku takut!" ejek Pices dengan nada dibuat-buat takut lalu dia mengibaskan tangan. "Bodo ah! Enggak usah marah-marah, percuma. Sampe urat leher lo putus juga enggak bikin gue kicep," kata Pices santai dan melanjutkan langkah menuju kamar. What?!

"Kamar?" tanya Reza tidak habis pikir. Dia berkata, 'Ya salam,' dalam hati dan mengalihkan pandangan ke arah lain. Dia itu cowok normal, kalau dibawa ke kamar nanti khilaf bagaimana? Kan, berabe jadinya.

Pices yang tersadar pun berbalik badan. "Belajarnya di halaman belakang, gue ngambil buku sama pena, penggaris, penghapus, dan buku paket di kamar."

Reza tidak menjawab dan melongos menuju pintu belakang membuat Pices heran. Kok Reza main nyelonong aja, padahal Pices belum ngasih tahu di mana arahnya.

"Lo udah tahu tempatnya?" tanya Pices.

"Udah," jawab Reza tanpa menghentikan langkah.

"Tapi gue belum ngasih tahu di mana kita duduk nanti."

"Di bawah pohon mangga," jawaban dari Reza diakhiri dengan hilangnya cowok itu di balik pintu belakang membuat Pices kagum.

Pices sama sekali tidak memberitahukan di mana tempatnya nanti, tapi cowok itu sudah tahu seakan-akan bisa membaca pikiran Pices. Atau jangan-jangan Reza cenayang, ya? Ah, tidak mungkin. Atau indigo? Apalagi itu! Lalu apakah Pices dan Reza memiliki satu pemikiran? Pices tersenyum dan masuk hendak mengambil peralatan belajarnya. Semoga dia dan Reza bisa menjadi pasangan karena Pices bosan jomblo, dia kadang iri pada Kino dan Itia dengan segala ke-uwu-uwuan mereka.

***

Holla^^ makasih udah mampir. Lanjut di bab selanjutnya, ya....

Jan lupa bintang dan komennya ditunggu^^

Bye~

Challenged by Love [ END ]  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang