Bang Rama.

533 95 8
                                    

Sepulang mengantar Arzetty, Eja tidak langsung tidur. Dia memilih menyelesaikan sisa pekerjaannya sampai jam tiga pagi kemudian bersantai sambil menunggu subuh. Membaca artikel tentang perkembangan tekhnologi serta usaha start-up di Indonesia.

Namun tiba-tiba ponselnya menampilkan pop-up chat dari nomor Romeo. Seperti mimpi, Eja sampai membacanya dua kali.

Romeo:

Ja?
Dah tidur?

Eja:

Belum. Kenapa?

Romeo:

Udah lama aja gak ngobrol.
Masih coding?

Tumben sekali Rama membalas lagi chat-nya. Biasanya juga "Ja" doang kemudian lenyap. Dan basa-basi apa itu, udah lama gak ngobrol? Pasti ada sesuatu yang salah nih, tebak Eja.

Eja:

Lagi makan,
Kerjaan baru selesai.
Mau ngobrol apa emang?

Tidak langsung ada balasan seperti tadi, Eja yakin Rama kembali lenyap. Dia pun melanjutkan makan.

Romeo:

Ja, kamu ada minat ke bisnis gak sih?

Eja buru-buru menghabiskan makanannya sambil berpikir. Kenapa tiba-tiba seorang Romeo Doortje Madya menanyakan itu padanya. Padahal Rama sudah tahu jawabannya apa.

Dan itu membuat Eja semakin yakin kalau ada yang salah dengan Rama.

Eja:

Ada sih.
Tapi kalau bisnis yang Abang maksud adalah bisnis Bapak, Kayaknya aku enggak minat.
Bukan apa-apa.
Otak ku gak akan nyampe.

Berbeda dengan kakaknya yang lain. Dengan Rama, Eja tidak pernah bicara kasar. Begitupun sebaliknya, kakak lelaki satu-satunya itu pun tidak pernah berbicara kasar. Bahkan cenderung kaku.

Romeo:
Jadi programmer bukannya lebih pusing, ya?
Bikin kode-kode kayak gitu apa gak susah?


Eja:

Gak juga.
Tiap kerjaan emang ada tantangannya tersendiri.
Tapi sampai detik ini aku sih menikmati.
Mungkin karena suka juga.

Lama lagi. Eja pun memilih meninggalkan kamarnya untuk mencuci piring dulu, buang air kecil dulu, menyiram tanaman dulu dan setelah semua selesai barulah kembali ke sana.

Saat diperiksa masih belum ada balasan. Eja pun kembali duduk di depan komputer. Sambil mengemil.

"Kalau Eti tahu malam-malam gue makan ginian, pasti gue langsung dicingcang terus dimasak pake bumbu lada hitam, terus masaknya dibakar kayak kambing guling." Sambil mengunyah kue sagu, Eja tersenyum sendiri membayangkan Eti.

Rasanya berkah sekali memiliki pacar yang pintar masak. Ingin makanan apapun sudah pasti dibuatkan. Kira-kira begitulah pikiran Eja saat masih baru pacaran dengan Eti.

Tapi sayangnya berkah itu berubah jadi musibah setelah Eja divonis diabetes. Sebab Eja jadi tidak bisa makan makanan yang dibuat Eti lagi, terutama masakan khas Padang-nya.

Tapi Eja tahu dia harus tetap bersyukur.

Dan bicara tentang diabetes, tiba-tiba dia jadi ingat Rama dan kakaknya yang lain. Mereka 'kan anak-anak pak Madya juga, masa iya diabetesnya cuma diwariskan ke Eja saja.

Sweet Like SugarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang