Sudah hampir tengah malam, namun Arzetty masih memilih tetap berada di apartemen Eja. Kejadian tadi siang di kedai kopi seakan menahannya untuk tetap tinggal. Ditambah kondisi Eja pun belum terlihat membaik sepulang dari rumah sakit tadi.
Adapun Jihan, perempuan itu memilih berdiam diri di kamar. Dia tidak keluar sejak kejadian itu. Saat ditawari makan pun hanya menjawab belum lapar.
Dan Arzetty tidak berani membantah. Dia tahu Jihan butuh menenangkan pikiran.
Beruntung Eja langsung paham saat Arzetty mengatakan kalau Jihan sedang tidak ingin diganggu. Lelaki itu langsung masuk ke kamar dan membaringkan tubuhnya sampai terlelap hingga sekarang.
Membuat Arzetty bosan lantaran tidak ada teman yang bisa diajak ngobrol. Dan demi mengusir rasa bosannya itupun Arzetty membereskan meja kerja Eja yang sebenarnya tidak berantakan.
Dia lalu membuka-buka album foto yang bertumpuk dengan buku bacaan Eja.
Tak sadar Arzetty tersenyum. Dia merasa sangat istimewa di satu sisi saat melihat hanya dirinya yang ada di album foto itu. Tapi juga sedih di sisi lainnya. Terlebih saat menyadari bahwa ternyata masih dirinyalah satu-satunya orang asing yang bisa dekat dengan Eja hingga saat ini.
Eja sangat mudah bergaul sebenarnya. Punya banyak teman juga. Tapi sayangnya Eja itu seperti membuat batas. Seperti jika teman sekolah cukuplah hanya tahu bagaimana dia di sekolah saja. Teman kuliah cukuplah tahu bagaimana dia di kampus saja. Dan teman kerja cukuplah tahu bagaimana dia di tempat kerja saja. Tidak pernah lebih dari itu.
Dan Arzetty baru menyadari itu setelah mereka mulai dekat lagi. Awalnya dia pun merasa aneh, karena manusia sejatinya adalah mahkluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya. Dan akan merasa bahagia jika memiliki banyak teman.
Tapi sepertinya itu tidak berlaku bagi Eja. Menurutnya memiliki banyak teman artinya dia harus siap menanggung banyak resiko. Seperti jadi bahan gosip antara temannya yang lain misalnya. Apalagi kata Eja kehidupan keluarganya paling enak dijadikan bahan omongan. Jadi dia tidak mungkin mengambil resiko itu demi menjaga nama baik keluarga.
"Terus kenapa kamu mau temenan sama aku?" tanya Arzetty saat Eja memberitahu alasan kenapa dia tidak memiliki banyak teman.
"Karena percaya. Kenapa harus punya banyak kalau satu aja bisa buat nyaman?" jawab Eja.
Seketika Arzetty tersentak. Dia tersadar akan perjanjiannya dengan Jihan saat mengingat itu. Sepertinya dia sudah salah kaprah dengan menyanggupi untuk merahasiakan kejadian di kedai tadi pada Eja.
Eja sudah sangat percaya padanya. Pasti akan sangat mengecewakan kalau sampai lelaki itu tahu dia membohonginya.
Arzetty pun buru-buru meninggalkan meja kerja Eja dan beralih ke tempat tidurnya. Dia diam di pinggiran ranjang sambil menatap wajah lelap Eja. Perlahan jari lentiknya bergerak membelai wajah lelaki itu. Mulai dari dahi hingga dagu. "Ja, aku harus gimana?" ucapnya pelan.
"Gimana apanya?" Suara serak Eja tiba-tiba menginterupsi.
Arzetty sontak memindahkan tangannya. "Kamu udah bangun?"
"Belum. Ini mataku masih merem," jawab Eja. "Jam berapa sekarang?"
"Jam dua belas kurang sepuluh menit."
"Oh." Eja kemudian terlelap lagi. Namun tak lama dia kembali bangun dan langsung duduk. "Kamu belum pulang?" tanyanya sambil mengucek mata.
"Aku masih di sini. Berarti belum pulang lah," jawab Arzetty, santaii.
"Ya udah, tunggu sebentar aku cuci muka dulu."
Arzetty langsung menahan Eja yang akan turun dari tempat tidur. Membuat lelaki itu langsung menatapnya bingung. "Kayaknya aku gak akan pulang."

KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Like Sugar
Acak"Kisah hidup gue itu manis banget, manis kayak gula, sangking manisnya sampai bikin gue diabetes." Areyza Madya.