Seakan tidak pernah terjadi apapun. Eja bersikap biasa saat Jihan mengajaknya sarapan bersama. Jikapun ada yang berbeda, Eja lebih banyak diam. Tidak aktif bicara seperti biasanya.
Jihan memilih menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah sejak selesai shalat subuh tadi. Membuat Eja jadi segan untuk mengajaknya bicara, apalagi ibunya itu seperti sengaja menghindar. Seperti takut kalau dia akan ditanyai apa yang terjadi kemarin.
"Jadi Arzetty nginep semalam?" tanya Jihan sambil menaruh roti panggang ke atas piring Eja. "Mama pikir dia pulang pas udah makan malam."
"Aku yang larang dia pulang." Eja menyingkirkan pisau dan garpu yang disiapkan Jihan. Memilih langsung menggigit rotinya. "Abisnya Mama gak keluar-keluar dari kamar. Jadi aku gak ada teman," ucapnya sambil mengunyah.
"Gak disuruh sarapan dulu?" Jihan memilih duduk di depan Eja. Perempuan itu tidak menyadari kalau Eja sedikit berbeda hari ini. Sebab mau sarapan di meja makan, karena biasanya dia selalu makan di sofa sambil menonton televisi.
"Ayahnya udah nyuruh pulang," jawab Eja, bohong. Padahal alasan Arzetty pulang buru-buru itu karena ingin memberikan ruang agar Eja dan Jihan bisa membahas masalah mereka dari hati ke hati tanpa hadirnya orang lain.
"Arzetti gak akan dimarahin ayahnya pulang sepagi ini?"
Eja mengangguk. "Dimarahi pasti. Tapi gak akan berlarut-larut."
"Kayaknya kamu sudah dekat banget sama keluarganya?"
Eja mengangguk lagi.
"Oya?" Jihan tersenyum lebar. "Sedekat apa?"
"Dekat banget, sampai gak ada yang dirahasiakan," jawab Eja seraya menaruh roti yang tersisa setengah ke piring. Nafsu makannya benar-benar hilang. "Mereka terbuka dan sangat jujur. Padahal aku belum tentu jadi anggota keluarga mereka," lanjutnya seraya menatap Jihan. Eja berharap ibunya itu langsung paham kalau itu tak lebih dari sekadar sindiran halus yang ditujukan untuk dirinya.
"Syukurlah. Berarti mereka orang-orang baik."
Eja menunduk. "Gak seperti keluarga kita, ya?"
Ekspresi wajah Jihan berubah. Kegiatannya memotong-motong roti berhenti sejenak. Dia lantas tersenyum. "Memang keluarga kita kenapa?"
Eja tidak menjawab.Dia malah merogoh sakunya lalu mengeluarkan ponsel Jihan dan menyerahkan benda itu ke pemiliknya.
"Sudah selesai?"
"Iya. Cuma perlu ganti charger."
Mata Jihan berbinar saat memegang kembali benda berharganya itu. "Terima kasih," ucapnya.
Eja berdeham."Tapi aku mau minta maaf?"
"Maaf untuk apa?" Jihan langsung menatap Eja.
"Maaf karena udah lancang baca pesan-pesan yang ada di situ. Tapi aku bersyukur karena berkat benda itu aku jadi tahu semuanya."
Kali ini Jihan benar-benar langsung diam.
"Arzetty sudah cerita sama aku tentang kejadian kemarin. Bukan karena dia gak percaya sama Mama. Tapi karena aku yang terlalu percaya sama dia. Dia gak mau menyalahgunakan kepercayaan itu. Tapi sebaliknya, aku yang bohong. Aku bilang udah tahu semuanya sejak lama. Padahal aku baru tahu kemarin sore dari pesan-pesan yang ada di hape Mama itu." Eja tersenyum miris. Ingat Arzetty yang terlihat begitu percaya saat dia mengatakan kalau sudah tahu rahasia keluarganya itu sejak lama.
"Kalau begitu Mama yang harusnya minta maaf," kata Jihan dengan suara bergetar.
"Mama gak salah," balas Eja. "Situasinya pasti menyulitkan Mama untuk cerita. Tapi beruntung Arzetty berani walau resikonya besar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Like Sugar
De Todo"Kisah hidup gue itu manis banget, manis kayak gula, sangking manisnya sampai bikin gue diabetes." Areyza Madya.