Ada yang salah.

537 94 7
                                    

"Areyza Madya, 10 Oktober 1997. Berarti baru 23 tahun ya sekarang?"

Eja mengangguk. Dokter spesialis penyakit dalam di depannya kembali membuka catatan. Dia sangat tenang, tapi tidak tahu kenapa Eja malah sebaliknya.

Dokter Faizalam Sp.PD-KEMD adalah dokter baru yang dia pilih sebagai pengganti dokter langganannya yang meninggal dunia sekitar dua bulan lalu karena serangan jantung.

Namanya berkonsultasi dengan dokter baru, Eja pun mau tak mau harus kembali meladeni pertanyaan seperti; tentang siapa yang punya riwayat penyakit serupa di keluarga, kapan Eja mulai didiagnosa mengidap diabetes lalu gangguan kesehatan apa yang dia alami akhir-akhir ini, sampai sudah mendapat perawatan apa saja selama sakit ini.

Eja menjawab semua apa adanya, tanpa ada yang dirahasiakan. Semua dijelaskan dengan sangat rinci.

"Ini adikmu?" Tiba-tiba dokter Faizal itu melirik Sutan.

Eja mengangguk saja begitupun Sutan.

Dokter Faizal pun ikut mengangguk. "Harus dipastikan tiap checkup ada yang nemenin ya!"

"Siap, Dok," jawab Eja, sementara Sutan hanya manggut-manggut saja.

"Jadi begini, saya buatkan rujukan ke dokter spesialis mata untuk pemeriksaan lanjutan. Gak hari ini, tapi besok," ucap dokter Faizal. "Saya cuma pengin memastikan apakah buramnya penglihatan kamu ini seutuhnya efek dari tingginya gula darah atau memang karena pengaruh sinar radiasi dari PC dan gadget."

Eja mendengarkan penjelasan dokter baik-baik. Sejak awal didiagnosa diabetes, dia memang sudah mendapat informasi dari dokter bahwa penyakitnya memang mungkin akan serumit itu. Seluruh organ tubuh mungkin kena dampaknya cepat atau lambat.

Namun bukan berarti Eja boleh menyerah dan hanya pasrah. Sebab kata dokter juga penyakitnya itu masih bisa dikendalikan dan peluang sembuh pun bisa tinggi jika dia disiplin.

Akan tetapi jika berkaca dari kasus ayahnya. Eja merasa pesimis akan bisa sembuh total. "Ayah saya juga dulu sering ngeluh gini, Dok. Eh dua tahun kemudian dia mengalami kebutaan. Gak permanen sih, tapi hampir 90%."

Pernyataan itu meluncur mulus dari mulut Eja, membuat Sutan sedikit kaget dibuatnya. " A Eja mah mikirnya kejauhan."

Dokter Faizal tersenyum lembut. "Maka dari itu saya sarankan periksa sedini mungkin, biar bisa lebih cepat ditangani."

Eja kembali mengangguk.

"Untuk saat ini belum perlu suntik insulin. Saya hanya resepkan dulu obat penurun gula darah. Tapi kalau misalkan tidak ada perubahan, atau kamu ngerasa ada yang makin aneh. Langsung hubungi saya saja."

Eja dan Sutan kompak mengangguk.

"Olahraga minimal 30 menit setiap hari, diet rendah kalori-nya dilanjutkan. Walau berat badan kamu turun, tapi masih masuk kategori ideal. Nah, yang terakhir ini yang paling sulit tapi harus kamu lakukan." Dokter Faizal selesai menulis resep lalu menatap Eja. "Berhenti merokok dan jangan stress. Komunikasikan ini dengan keluarga dan teman, supaya mereka bisa bantu kamu membuat suasana yang nyaman supaya kamu termotivasi untuk sembuh. "

"Siap, Dok," jawab Sutan dengan lantang saat mata dokter Faizal beralih menatapnya.

Eja menghela napas. Dua syarat terakhir benar-benar membuatnya berpikir keras. Rokok dan stress adalah sahabat dekatnya akhir-akhir ini. "Akan saya usahakan, Dok."

"Saya yakin dokter mu sebelumnya juga menyarankan itu, tapi sepertinya belum bisa kamu realisasikan. Untuk kali ini, tolonglah hentikan perlahan-lahan. Kita berjuang bersama-sama. Kamu gak sendiri pengidap diabetes seusia mu gak sedikit."

Sweet Like SugarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang