Berjuang

978 106 13
                                    


Di awal-awal masa pacaran Eja sebenarnya agak merasa risih. Sebab selalu mengantar Arzetty pulang di dini hari. Sebab dia takut orang akan berpikir negatif tentang itu.

Namun seiring berjalannya waktu, perasaan itu perlahan luntur. Karena ternyata di lingkungan rumah Arzetty sebagian besar warganya adalah para pekerja yang kerap pulang tengah malam bahkan sampai subuh. Entah apa jenis pekerjaannya, Eja tidak pernah ingin tahu. Tapi yang pasti dia jadi merasa lega karenanya.

Seluruh penghuni rumah, kecuali Sutan semuanya belum tidur. Saat Eja dan Arzetty tiba di rumah.  Ayah dan kakak ke dua Arzetty tampak masih mengobrol di ruang tamu dengan seorang kurir pengantar buku. Sedangkan ibunya sedang menginap di rumah Almira kakak pertama Arzetty, karena suaminya yang berprofesi sebagai konsultan pengukuran tanah sedang ada tugas ke Kalimantan.

"Kata Eti lagi sakit, Ja?"  Sadam kakak ketiga Arzetty menghampiri Eja yang memilih duduk di ruang keluarga. Sementara menunggu Arzetty ke dapur mengambil minum.

"Biasa, Bang.  Masuk angin." Eja menyeringai sambil mengeluarkan barang yang selalu ditanyakan Sadam kalau dirinya datang, yaitu sebungkus rokok dan pemantik apinya. Sadam pernah mengatakan kalau rokok pemberian Eja rasanya selalu beda. Entah benar atau hanya alasan, Eja tidak pernah memikirkannya. Lagipula hanya sebungkus rokok.

"Kalau lagi sakit kenapa keluyuran?"

"Gue gak keluyuran. Gue cuma nganter Arzetty pulang."

"Sama aja."

"Emang Bang Sadam bisa tega ngelihat anak gadis keluar sendiri di pagi buta gini?" tanya Eja.

"Ya lu kan bisa ngasih tahu gue biar jemput si Eti."

"Lagian sakit gue gak parah kok, Bang. Gak usah sekhawatir itu, bikin gue senang aja."

"Gue udah tahu kok lu sakit gula. Seisi rumah ini sih sebenarnya. Dan gue tahu sakit kayak gitu tuh gampang-gampang susah." Sadam mengeluarkan sebatang rokok kemudian langsung menyulutnya di depan Eja.

"Arzetty cerita?" Eja kaget, tentu saja. Tapi dia merasa lega.

"Kayak belum tahu aja keluarga di sini rombengnya kayak apaan." Sadam tersenyum lebar. "Kami tuh gak bisa merahasiakan sesuatu ke orang tua. Kadang ada sih yang dirahasiakan, tapi yang sifatnya masalah sepele."

"Gue pikir Eti gak bakalan cerita," ucap Eja dengan perasaan bersalah.

"Dia gak cerita dari dulu sih. Paling baru tiga apa dua bulanan gitu. Itupun gak sengaja. Waktu itu kebetulan kami lagi bahas tentang ruko Ayah yang mau disewa sama tukang obat herbal gitu. Eh si Eti tiba-tiba nyeletuk nanya obat diabet. Dari situ  keterusan cerita."

"Coba kalau lo gak mancing-mancing emosi gue. Gak mungkin juga gue cerita." Arzetty Muncul dari dapur membawa dua botol air minum untuk Eja dan dua cangkir kopi. Satunya untuk Sadam dan satu lagi dia hantarkan pada ayahnya.

"Kalau udah urusan lu dia emang selalu baper. Heran gue juga, sama mantan-mantannya dulu dia gak sebucin ini." seloroh Sadam dengan suara pelan, takut didengar Arzetty. "Jangan-jangan pakai pelet ya lu?"

"Emang Arzetty ikan kudu dipelet segala," ucap Eja membuat Sadam langsung mendelik tak suka. "Kami mah penganut prinsip apa yang kita tanam itu yang kita tuai. Gak pake gituan."

"Makanya Bang Sadam nyari pasangan coba biar paham." Arzetti kembali ke ruang keluarga lalu duduk di samping Eja. "Teman-teman Bang Sadam udah pada punya anak, ini masih aja jalan di tempat."

Eja tersenyum, dia pun sebenarnya penasaran kenapa sampai saat ini Sadam masih memilih sendiri. Padahal jika dilihat dari segi usia, Sadam sudah sangat pas untuk memiliki pasangan. Dan dari segi finansial pun dia sudah sangat mapan.   Sebagai dosen di salah satu universitas swasta di Bandung pastilah gajinya tidak kecil.   

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sweet Like SugarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang