ketakutan.

610 89 8
                                    





Eja tahu Arzetty pasti kelelahan, tapi gadis itu tetap tidak mau mengakui walau beberapa kali dipergoki Eja sedang menguap.

Arzetty berdalih dia menguap karena terlalu banyak makan di acara nikahan teman ayahnya tadi. Bukan karena kelelahan. Lagipula tidak begitu banyak aktivitas yang dia lakukan hari ini. Hanya pergi ke pasar bersama Gita. Kemudian mengantar ayahnya ke kondangan dan terakhir berkunjung ke apartemen Eja.

Tapi bukan Eja namanya kalau gampang percaya. Jika pun yang dikatakan Arzetty adalah sebuah kejujuran. Dia akan tetap tidak percaya, karena fakta yang dilihatnya berkebalikan dengan apa yang dikatakan.

Dan lagi Eja akan sangat merasa bersalah. Jika sampai Arzetty sakit karena kelelahan menjaganya.

"Kalau capek tidur aja dulu. Dua jam lagi aku bangunin," Eja menarik pundak Arzetty agar gadis itu berbaring di kasurnya. Sementara dia sendiri memilih duduk.

"Kamu mau ke mana?"

"Pipis."

"Lagi?"

Eja mengangguk. "Mau ikut?"

Arzetty hanya memutar bola matanya sambil menarik selimut menutupi seluruh tubuh kecuali kepala.

"Makanya tidur kalau capek lihat aku bolak-balik pipis." Eja mengambil ponselnya lalu beranjak ke toilet.

Tidak ada yang dilakukan Eja setelah buang air kecil di sana. Dia hanya duduk di atas kloset sambil memainkan ponsel. Sebungkus rokok yang teronggok di wastafel tidak berani dia ambil, lantaran dia sudah berjanji akan mengurangi untuk menyulut benda itu.

Setelah diperiksa dokter Faizalam tadi sore. Eja langsung tidur. Entah efek dari obat atau memang dia yang kelelahan karena malam kemarin sesudah mengobrol dengan Arzetty tidak tidur lagi. Yang pasti Eja merasa langsung tidak sadarkan diri sampai lupa semuanya. Termasuk membalas email kliennya.

Eja sudah memutuskan, mungkin dalam waktu sebulan ini dia tidak akan dulu menerima pekerjaan. Selain karena kondisi kesehatan yang membuatnya sulit fokus. Eja juga ingin memastikan masalah di keluarganya selesai dulu. Setidaknya sudah tidak ada lagi keributan tentang warisan-warisan.

Dengan berat hati Eja pun mengetikkan balasan email kepada beberapa klien dengan balasan yang sama, yaitu; selama sebulan ke depan mungkin saya belum bisa menerima projek ini. Mohon maaf yang sebesar-besarnya. Bukan karena masalah honor, tapi karena saya harus fokus menyelesaikan kepentingan keluarga dulu.

Setelah semua pesan surel itu terkirim. Eja pun memutuskan untuk keluar. Tidur lagi sepertinya akan jadi solusi terbaik. Apalagi ada Arzetty.

Namun dering ponsel keburu menghentikan langkahnya. Eja pun kembali duduk di atas kloset menjawab telepon yang ternyata dari Sutan.

"Halo, Tan. Ada apa?"

"Ini bukan Sutan."

Tubuh Eja langsung tegak dengan sendirinya begitu mendengar suara ayah Arzetty. Dia pun reflek berdeham saat menjawab, "halo, Om. Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam. Kamu di apartemen?"

"Iya, Om."

"Arzetty masih di sana?"

Singkat, padat dan jelas. Ayah Arzetty memanglah begitu.  "Masih, Om."

"Jam berapa ini?"

"Jam setengah dua belas, Om."

Giliran ayah Arzetty yang berdeham. "Saya gak tanya ini jam berapa? Tapi jam berapa ini kamu masih berani bawa main anak saya!"

"Saya pikir Om nanya jam berapa?" Eja mengusap tengkuknya sebab merasa malu sekaligus bingung. "Bagi saya berapa ini dan ini berapa sama saja."

Sweet Like SugarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang