Penasaran.

507 96 17
                                    


Eja dilanda kebingungan sekarang.

Arzetty mengajaknya pergi ke rumah sakit, sementara Jihan tidak mungkin ditinggalkan sendiri. Apalagi Rama juga pasti tidak akan nyaman kalau hanya ada Jihan saja saat dia sampai di sini nanti.

"Emang kenapa sih? Biarin aja. Lagian Mama kamu udah tahu ini kita mau ke mana." Eti berbisik-bisik sambil mengunyah jatah sarapan Eja yang dibuatkan Jihan.

"Bukan gitu. " Eja menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Dia sudah lemas sebenarnya, ingin segera ke rumah sakit agar segera bisa ditangani dokter. Sebab lemasnya kali ini, lebih dari sebelum-sebelumnya. "Masalahnya Bang Rama mau ke sini."

"Ya terus masalahnya apa?"

"Masalahnya aku gak bisa ninggalin mereka berdua."

"Karena?"

Eja menghela napas. "Karena Mama sama Bang Rama emang gak pernah dibiarin benar-benar berdua doang. "

"Sama siapa?"

"Sama ibu dan bapak.".

Eti mengangguk paham. "Kamu kan bukan mereka. Kenapa harus ikut-ikutan? Percaya aja coba."

"Pengin sih percaya." Eja membalikkan badannya ke arah Eti. "Tapi kadang otak cetek ku mikirnya kejauhan. Bang Rama sama mama itukan seumuran, gimana jadinya coba kalau mereka lagi berduaan aja, terus tiba-tiba terbersit pikiran yang enggak-enggak? Bukannya su'uzon, tapi kan mereka sama-sama normal," ucapnya sambil bergidik. "Sekalinya dengar Bang Rama nyebut Mama aja , kesannya kayak bukan anak manggil ibu tahu gak? Tapi kayak suami lagi manggil isteri."

Eti ingin tertawa, tapi alasan Eja sangat masuk di akal. "Gak mungkin iman Mama kamu selemah itu."

Eja berdecak. "Kalau dibantu setan mah mungkin-mungkin aja."

Eti tidak menjawab karena makanannya sudah habis jadi dia keluar dari kamar untuk mencuci piringnya dulu.

Sembari menunggu Eti kembali, iseng-iseng Eja mengirim pesan pada Rama untuk menanyakan keberadaan lelaki itu. Namun belum juga pesan itu dikirim, Ibu Amalia lebih dulu menelepon.

"Halo, Bu. Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam. Lagi di mana, Dek?" Amalia terdengar buru-buru.

"Di rumah, Bu."

"Rama pergi tadi pagi, dia bilang mau ke Jakarta. Tapi Pak Nasrul dengar dia bilang ke Ratih kalau dia mau ke Bandung. Dia ada hubungi kamu gak?"

Eja mengerenyitkan dahi, mencium aroma-aroma akan adanya pertikaian antara ibu dan anak di sini.

Dengan harapan tidak ingin memperkeruh keadaan, Eja pun memilih jujur. "Tadi pagi kami emang chatting, Bu. Dia bilang emang pengin ke sini. Tapi sampai sekarang belum ada kabar lagi."

"Semalam, Ibu emang nyuruh Ratih jemput kalian ke Bandung. Tapi bukan hari ini. Mungkin Rama dengar dan minta Ratih supaya dia aja yang jemput kalian ke Bandung. Gimana dong, Dek?"

"Ya mana Adek tahu," celetuk Eja, santai. Sementara orang diseberang telepon terdengar gelisah. "Aku kan baru tahu ceritanya kayak gitu. Lagian kenapa sih Bang Rama gak boleh ke sini?"

Ibu Amalia tidak bicara, hanya suara deru mesin mobil dan suara Pak Nasrul, sopir pribadinya yang sedang mengobrol.

"Kalau boleh aku kasih saran, mending Ibu kasih tahu alasannya kenapa Bang Rama gak boleh ke sini. Biar nanti pas dia hubungi aku, bisa aku larang dia ke sini dengan alasan yang bisa dia terima."

Ibu Amalia kembali diam, namun tak lama. "Kalau terlanjur datang, biarin aja dulu dia di sana. Tapi sebisa mungkin tolong awasi dia. Maksud Ibu jangan biarin dia sama Mama kamu berdua aja."

Sweet Like SugarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang