Sang Pangeran.

538 97 9
                                    

Arzetty tidak tahu harus berbuat apa.

Tadi selagi menelepon Eja di kamar,  Jihan dan Roman pergi ke luar. Saat Arzetty ikuti ternyata mereka  pergi ke kedai kopi yang ada di area lobi apartemen.

Awalnya Arzetty akan memutuskan kembali ke unit setelah memastikan Jihan baik-baik saja. Namun keputusannya ia ubah saat tidak sengaja  melihat lelaki seusia ayahnya itu merangkul Jihan.

Setengah kaget dan tidak percaya Arzetty pun memberanikan diri mendekat. Namun belum sempat dia mendekat seseorang lebih dulu datang ke hadapan Jihan dan Roman.

"Rama."

Arzetty mundur selangkah lalu memilih duduk membelakangi mereka  di kursi yang hanya berjarak dua meter saja.

"Areyza belum pulang." Suara Roman membuka percakapan.

"Pergi ke mana?" tanya Rama. Terdengar santai dan tidak terpengaruh dengan apa yang sedang Roman lakukan pada Jihan.

"Kata teman perempuannya dia pergi sebentar. Tapi gak bilang ke mana."

"Pasti kepentingan mendesak. Dia bukan tipe anak yang suka jalan-jalan gak jelas atau nongkrong.  Seingat ku dia bahkan gak punya teman dekat selain teman perempuannya itu."

"Anti sosial?"

"Enggak. Dia lebih senang kerja. Tepatnya lebih mementingkan pekerjaan ketimbang keluyuran gak Jelas."

"Like father like son?" Roman tertawa congkak.

"Jiwa pekerja kerasnya gak usah diragukan." Rama menimpali.

"Gak salah dulu dia dididik sedikit lebih keras dibandingkan kalian iya kan? Dia bahkan gak begitu menikmati harta yang dimiliki oleh ayahnya. Dia seperti sengaja dibuat berbeda. Atau dia memang berbeda?" Roman kembali tertawa.

Arzetty melirik ke belakang. Ingin memastikan kalau Jihan masih ada di sana lantaran tidak terdengar ikut bersuara.

Perempuan itu memang ada di sana, tapi hanya diam. Arzetty tidak bisa melihat ekspresi Jihan karena posisi perempuan itu membelakanginya.

"Ram?"

Arzetty menajamkan pendengarannya. Roman mulai berbicara lagi dengan memanggil Rama.

"Iya?"

"Ibu kamu tahu, Om ke sini?"

Arzetty seketika menoleh ke arah Roman. Dilihatnya lelaki itu masih tenang merangkul Jihan. "Sebenarnya keluarga Eja ini kenapa sih?" batinnya.

"Sepertinya enggak. Tapi dia tahu kalau aku akan datang ke sini.  Ratih pasti laporan kalau aku berinisiatif buat jemput Eja lebih dulu."

"Ibu mu pasti akan marah besar. Dia tahu betul kalau sebenarnya bukan Eja yang ingin kamu jemput, tapi perempuan ini," ucap Roman sambil merangkul Jihan lebih erat.

Raut wajah Rama tampak tegang. Namun dia coba menutupinya dengan senyuman. "Bukannya tujuan kita sama?"

Roman tertawa. "Romeo, Romeo. Sudah Om bilang, Om  akan menyerahkan perempuan ini, dan membantu supaya kamu mendapat restu dari Amalia dengan satu syarat; buat seluruh harta kekayaan Madya jadi milik Om. Dan yakinkan Eja kalau cuma kamu yang berhak mewarisi semua harta peninggalan Madya. Di acara peringatan 40 hari nanti buat Eja percaya kalau dia tidak mendapat apa-apa karena dia bukan anak dari Amalia."

"Eja mungkin emang bukan anak dari Ibu Amalia, tapi Eja anak dari Madya Nataprawira. Dari kelima anak almarhum cuma Eja satu-satunya anak yang menyandang nama Madya di belakang namanya. Kalau Om lupa." Rama duduk tegak menatap tajam ke arah Roman. "Dan dari wasiat yang dibuat almarhum cuma Eja dan ibunya yang berhak atas semua harta peninggalannya."

Sweet Like SugarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang