Chapter 7

834 66 18
                                        

Ino dan Naruto selesai mengemasi barang bawaan mereka tepat jam 9 pagi. Keduanya memutuskan untuk langsung menuju ke terminal bus.

"Ah...,"

Mendengar suara Naruto, Ino memalingkan wajahnya. Menatap ke arah suaminya yang sekarang juga tengah memandanginya. Gadis itu berusaha membaca arti tatapan Naruto dan kemudian membelalakan matanya begitu menemui sebuah kesimpulan.

"Jangan mengatakannya," ujar Ino tajam. Naruto menggeleng-geleng, seolah mengatakan bahwa pria itu tidak akan berani mengatakannya.

"Apa isinya?"

"Dompet,—" belum selesai mengatakannya, Ino menarik lengan pria pirang itu dan langsung berlari. Ini sudah hampir jam 10 dan bus yang mereka tumpangi akan berangkat sebentar lagi. Ino mengumpat kesal atas kelalaian Naruto.

"Kita tidak akan sempat!" ucap Naruto pasrah. Ino menatapnya tajam. "Siapa suruh mobilmu tidak ada di saat seperti ini," geramnya.

Naruto memasang wajah menyesal. "'Kan aku sudah bilang, entah kenapa saat kunyalakan mesinnya, ada suatu bunyi aneh yang keluar. Mau bagaimana lagi?"

Ino memutar kedua bola matanya. Alasan yang sungguh membuat moodnya bertambah buruk. Gadis berambut pirang itu memutuskan untuk fokus berlari ke arah rumah mereka yang tidak jauh dari sana.

"Dapat!" ucap Ino ketika mereka sampai, suaranya nyaris menjerit. Wajah putihnya terlihat lega dan juga lelah. Naruto yang melihatnya hanya bisa tersenyum lembut dan entah kenapa ia merasakan tarikan untuk melihat arlojinya.

Jam 9 lebih 56 menit.

Begitulah ia melihatnya.

Pemuda itu langsung menarik pergelangan tangan gadis pirang yang berdiri di dekatnya dan berlari tanpa aba-aba. "Kita kehabisan waktu!"

"Eh?"

"Cepat!"

Mereka berlari lagi. Kecepatannya jauh lebih lambat dari yang sebelumnya, tentu saja. Saat itu Ino merasa bahwa kakinya sudah tidak sanggup lagi berdiri. Ia mau mati saja!

"N-Narut... o," ucapnya di sela-sela napas. Gadis itu melepas paksa pegangan Naruto dan membungkuk memegang kedua lututnya.

"Apa yang kau lakukan?" Naruto, yang terlihat capek—walau tidak selelah itu,—mengelap keringatnya. "Kita tidak akan sempat kalau begini."

"Aku tahu...," balas Ino. Tenggorokannya terasa amat sangat kering, ia tak peduli bagaimana kondisi Naruto, tapi ia tidak ingin berlari lagi. Tidak akan! Lebih baik tidak pergi kalau begini.

Naruto terlihat menghela napas. Pria Namikaze itu membenarkan letak tas di pundaknya dan kemudian membungkuk membelakangi Ino. Tentu saja Ino tahu apa yang pria itu lakukan. Gadis itu naik ke punggungnya tanpa berpikir dua kali, dan memegang leher Naruto erat. Naruto sangat yakin, rasanya mirip seperti dicekik orang. Tapi ia tak peduli, toh, ia hanya lanjut berjalan.

"Ada telepon masuk," ujar Naruto tiba-tiba. Tangan Ino yang memegang lehernya, merasakan getaran saat pemuda itu bersuara, dan rasanya lucu.

"Ini, kau yang jawab," Naruto, masih dalam posisi mereka, menyerahkan ponselnya ke tangan Ino dengan acuh tak acuh. Terlebih, karena ia tahu siapa yang menelpon, keinginan untuk menyerahkan ponsel pun bertambah kuat.

Ino, di lain pihak, tidak peduli dengan siapa yang menelpon, gadis itu langsung mengangkatnya dan dengan tidak sopan berkata, "Halo?"

["Ah, Ino-chan!"] sebuah suara dari seberang telepon terdengar. Suara itu mudah dikenali dan Ino tahu benar siapa pemilik suara itu.

My Princess SerenityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang