"Tapi Mama bilang aku pengganggu."
Kerutan di dahiku makin mendalam saat mendengarnya. Ini aku benar-benar gak salah dengar kan?
"Mamanya Oca bilang begitu? Kapan, Sayang?" tanyaku.
Gadis kecil itu memalingkan wajahnya lagi menatap entah apa aku tak yakin karena pandangannya tak bisa dibilang fokus. Ia terdiam, sama sekali tak memberi jawaban atas pertanyaanku.
"Oca..." panggilku pelan tapi ia tetap tak bergeming. Aku menghela napas pelan. "Kalau Oca gak mau jawab gak apa-apa kok, Miss gak paksa," ujarku kemudian. Apa pun itu aku yakin pasti ada suatu hal cukup berat yang menahan Oca untuk bicara. Kita tak pernah tahu pergolakan batin macam apa yang terjadi dalam diri seseorang.
"Good morning, Miss!"
Perhatianku teralih pada beberapa anak yang memasuki ruang bermain. "Good morning," sapaku seraya memberi pelukan singkat sebelum mereka berhamburan mencari mainan ke rak mainan.
Melihat anak-anak lain yang aktif kesana-kemari, berinteraksi dan bermain dengan yang lainnya membuatku kembali melirik Oca yang masih juga bergeming di tempatnya duduk. Perasaan penasaran yang semula memenuhi kepalaku kini berubah menjadi kekhawatiran. Apa yang telah terjadi pada Oca hingga membuatnya menjadi sangat pendiam seperti ini.
"Oca, mau main, sayang? Mau Miss ambilkan mainannya?" tanyaku pelan dan gadis kecil itu menggeleng.
"Kenapa? Oca gak suka mainan di sini?" tanyaku lagi.
Oca kemudian menoleh menatapku, "Bukannya main itu bikin bodoh?" tanyanya membuatku mengerjap tak percaya. Does that question really come from a six years old girl?
"Oca dengar dari siapa?" tanyaku.
"Mama selalu bilang itu tiap kali aku mau main."
Mamanya lagi? Seriously? Oke, aku gak tahu apa mamanya itu benar-benar mengatakan itu atau justru Oca yang salah menangkap maksudnya karena saat ini aku hanya mendengarnya secara sepihak dari Oca. Takutnya Oca dan mamanya ini miss communication sehingga kata-kata yang diucapkan mamanya menjadi negatif maknanya dalam persepsi Oca.
Aku menghela napas sesaat sebelum menyentuh pelan bahu Oca, "Oca sayang, kayaknya maksud Mama Oca bukan begitu. Mungkin maksudnya kalau terlalu banyak bermain itu bisa bikin lupa waktu akhirnya lupa melakukan kegiatan lainnya seperti belajar," terangku. Ini termasuk ke dalam salah satu hal paling menantang saat berinteraksi dengan anak-anak di daycare. Di mana kita perlu meluruskan pandangan anak terkait sesuatu yang telah ditanamkan oleh orangtua mereka, tanpa membuat orangtuanya terlihat salah. Karena jika kita menyalahkan orangtua mereka, anak-anak bisa jadi hilang kepercayaan pada orangtuanya dan jadi enggan mendengarkan mereka lagi. Tentu saja kami tak mau hal itu terjadi.
"Tapi aku gak pernah main. Aku selalu belajar dan ikutin semua kata Mama tapi kenapa Mama tetap bilang aku bodoh? Kenapa Mama bilang aku gak pantas jadi anaknya? Kenapa Mama─" Kalimat Oca terhenti. Pandangan kosongnya berubah jadi tatapan penuh ketakutan.
"Oca?" panggilku pelan tapi gadis kecil itu langsung menepis tanganku dari bahunya.
"Jangan, Ma! Ampun, Ma! Sakit, Ma!" serunya histeris sambil menutupi kepalanya.
Teriakan Oca itu tak hanya mengagetkan bagiku, tapi juga anak-anak lain yang tengah bermain. Mereka terlihat terkejut, dan nampak takut karena melihat Oca tiba-tiba berteriak dan meracau. Aduh, gimana ini?!
Dalam situasi seperti ini, aku tidak bisa panik meskipun saraf-saraf di kepalaku saat ini terasa buntu saking kagetnya karena kejadian itu begitu tiba-tiba terjadi di depan banyak mata.
Aku buru-buru bangun dan mengajak anak lainnya keluar ruang bermain. "Sayang, semuanya ke ruang tengah aja ya sambil nunggu sarapan," titahku pada mereka.
"Itu kenapa, Miss?"
Aku juga gak tahu, tapi kalau kubilang begitu yang ada nantinya akan menimbulkan banyak praduga dalam benak mereka yang aku takutkan mereka akan menganggap Oca aneh nantinya. Ya ampun, harus bilang apa?
Aku melirik sekilas pada Oca yang menyembunyikan kepalanya dalam kedua lengannya, "Emm... Oca kepalanya sakit, mau Miss periksa dulu sebentar, yang lain tunggu di luar ya," ujarku sambil menggiring mereka ke pintu keluar.
"Kenapa, Mbak?" Prita dengan tergopoh-gopoh datang menghampiriku. Mungkin ia mendengar suara keributan dari sini.
"Ta, ini tolong diajak ke ruang tengah. Terus kalau ada anak-anak lain yang baru datang juga tolong jangan masuk ke sini dulu ya," pintaku.
Prita tampak mencuri pandang sejenak ke arah Oca. "Ada apa emangnya, Mbak?" tanyanya.
Aku mencondongkan wajahku ke telinga Prita untuk berbisik padanya. "Mbak juga belum tahu tapi kalau ada yang tanya bilang aja Oca sakit kepala ya, Ta."
Meski nampak tak yakin, Prita akhirnya mengangguk. "Perlu panggil bantuan yang lain?" tawarnya dan aku menggeleng. Aku tak ingin semakin banyak orang yang tahu mengenai ini.
"Ya udah kalau gitu. Anak-anak, ikut Miss Prita yuk!"
Selepas Prita pergi dengan anak-anak, aku menutup dan mengunci ruang bermain. Oca masih terlihat memeluk dirinya dengan ketakutan.
"Oca..."
"Jangan, Ma! Ampun, Ma! Oca salah, iya Oca salah!" sahutnya langsung dengan histeris padahal aku hanya memanggil namanya.
"Oca bisa dengar suara Miss, sayang? Ini Miss Dinar, bukan Mama. Coba Oca buka mata Oca."
Gadis kecil itu akhirnya perlahan mengangkat kepalanya mengintip menatapku dari balik lengannya yang menyilang. Ia menatapku cukup lama sebelum akhirnya benar-benar mengangkat wajahnya. Oca nampak melihat kesana-kemari seolah mencari sesuatu? "Mama gak ada?" tanyanya masih dengan raut ketakutan.
Aku tersenyum tipis dan menggeleng. "Mama gak ada di sini, sayang," sahutku.
Aku kemudian mendekatinya dan duduk di hadapannya yang masih terlihat begitu waspada seolah aku akan berubah menjadi sosok yang menakutkan secara tiba-tiba. "Lihat, ini Miss kan? Oca boleh sentuh Miss biar yakin," ujarku seraya berjongkok di hadapannya.
Oca nampak ragu untuk sekian detik sebelum akhirnya ia mau mendekat ke arahku. Jemari mungilnya dengan hati-hati juga terulur menyentuh wajahku.
"Iya, kan, ini Miss Dinar?" tanyaku.
Oca mengangguk kemudian dengan segera menarik kembali tangannya.
"Oca masih takut?" tanyaku dan gadis itu mengangguk samar.
Aku mengulurkan telapak tanganku ke hadapannya. "Kalau Oca masih takut, Oca boleh pegang tangan Miss," ujarku.
"Oca aman kok di sini, tenang ya," kataku lagi saat jemari kecilnya sudah berada dalam genggamanku. Kutepuk-tepuk pelan punggung tangannya berusaha menenangkan sekujur tubuhnya yang bisa kulihat masih begitu gemetar.
"Aku gak mau," ujarnya tiba-tiba dengan begitu lirih.
"Enggak mau?" tanyaku mengulang perkataannya.
Gadis itu mendongak menatapku. "Aku gak mau punya Mama," katanya lagi kali ini dengan tegas. Namun, entah kenapa meskipun ia mengatakannya seolah ia benar-benar membenci hal itu, tapi sorot matanya terlihat sebaliknya. Alih-alih nyalang sebagaimana orang marah, tatapan matanya justru nampak sendu.
Hatiku semakin dipenuhi pertanyaan. Apa yang sebenarnya telah terjadi pada Oca? Respon Oca yang seperti ini tentu tak sama seperti gerak refleks saat seseorang terkejut. Aku yakin pasti ada suatu kumpulan peristiwa di masa lalu Oca yang membuatnya bereaksi seperti ini. Masalahnya, peristiwa apa?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kepingan Dirham
Storie d'amoreDinar, seorang caregiver di sebuah daycare suatu hari diminta mendampingi Oca, seorang anak yang punya trauma besar karena ibunya. Kesabaran Dinar mendampingi Oca juga membuatnya mengenal Dirham, ayah Oca yang menarik Dinar untuk menjadi bagian dari...
Wattpad Original
Ada 2 bab gratis lagi