Aku membolak-balikkan tubuh di ranjang. Kelelahan seharian di kantor hari ini, tidak juga mampu mengantarkan pada kelelapan malam. Aku belum juga menyampaikan rencana akhir pekan ini pada Mama.
Teringat saat di kantor tadi, sebelum pulang, Pak Dani memanggil.
"Jani, klien kita meminta untuk mempresentasikan proyek kerja yang sudah kamu bikin itu—di lokasi, akhir pekan ini."
"Tapi, Pak—"
"Jadi, karena kantor juga sudah merencanakan company gathering kali ini, dengan lokasi yang sama. Maka, mau enggak mau, kamu juga harus ikut dalam kegiatan kali ini. Sesampai di sana nanti, kita akan mengadakan presentasi dulu sebelum kegiatan lain," urai Pak Dani tanpa memberi jeda padaku, untuk menyanggah.
"Tidak bisa diwakilkan saja untuk presentasi itu, Pak?"
"Ho ... tidak! Maaf, saya harus mengatakan bahwa ini perintah. Kamu yang membuat proposal penawaran tersebut, itu artinya kamu yang harus mempresentasikannya."
"Baiklah, Pak," sahutku lemah.
Sejujurnya, aku pun ingin ikut serta dalam kegiatan tersebut. Hanya saja, hati kecilku selalu bertolak belakang dengan keinginan itu. Agenda rutin akhir pekan bersama Mama, adalah aktivitas wajib yang tidak mungkin dilewatkan. Aku tidak sanggup membayangkan raut kekecewaan perempuan berparas ayu itu.
Sore tadi, ketika menyambut kepulanganku dari kantor, Mama sudah menawarkan rencana agenda akhir pekan ini.
"Jani, kamu masih ingat dengan Tante Wita? Teman Mama yang punya banyak koleksi anggrek di rumahnya? Dia juga bercerita tentang rencana pembuatan kebun bunga di daerah puncak, masih ingat?" Penuh antusias Mama memintaku untuk mengingatnya.
Aku berusaha mengingat sosok perempuan yang dimaksud. Susah payah aku mengulang memori otak, agar memutar kembali tentang hal itu.
"I-iya, Mama—Jani ingat." Walaupun belum sempurna, tetapi benakku mulai tergambar taman kecil yang dipenuhi aneka jenis anggrek.
"Nah! Tante Wita tadi menghubungi Mama, dan mengabarkan bahwa minggu ini soft opening kebun bunganya tersebut. Dan dia mengundang kita untuk hadir—tentu saja dengan janjinya, akan menghadiahi Mama beberapa jenis bunga koleksinya ... secara gratis tentunya." Raut wajah perempuan tercinta itu begitu bahagia. Hingga mengurungkan niat untuk menyampaikan apa yang diperintahkan Bossku.
"Oh, benarkah? Wah, pasti seru ini akhir pekan kita," ujarku menimpali kegembiraannya.
Kelebat ingatan itu berganti-ganti menari di benakku. Keresahan mewarnai malam yang kian larut. Hingga akhirnya aku tertidur, tanpa menemukan jawaban atas kebingungan ini.
***
"Hai, Mama ... selamat pagi," sapaku ketika menemui Mama di dapur yang sedang menyiapkan sarapan.
"Pagi, Sayang ... bagaimana tidurmu tadi malam? Nyenyakkah?" tanya Mama tanpa mengalihkan tatapannya dari nasi goreng yang sedang diolahnya.
"Hmm ... nyenyak banget, Ma. Jadinya Jani telat bangun dan enggak bisa bantuin Mama," sesalku memelas.
"Enggak apa-apa, sudah selesai juga, kok." Mama meletakkan semangkuk nasi goreng teri yang menguarkan aroma kenikmatan, penyempurna pagi.
Tidak sabar segera aku menyendokkan nasi, dan menambahkan irisan telur dadar serta potongan tomat dan timun ke piring saji. Tentu saja taburan bawang goreng dan kerupuk emping ikut mewarnai kerenyahan agenda sarapan kali ini.
"Yuk, Ma—makan yuk!" seruku pada Mama, yang sedang menuangkan jus jeruk hangat ke gelas.
"Eh, bentar—" Mama mengernyitkan keningnya, seraya menatap lekat ke wajahku. "Kamu seperti kurang tidur, ada lingkaran halus di matamu, Nak."
Aku gelagapan sejenak, lalu kualihkan kekhawatiran perempuan itu.
"Ah, mungkin karena lelah. Maklum saja, kesibukan di kantor beberapa hari ini sangat menyita waktu dan pikiran Jani, Ma," elakku.
"Kamu boleh saja fokus dengan pekerjaan, tapi ingat loh—jangan abai dengan kesehatanmu."
"Iya, Mama Sayang, terima kasih sudah mengingatkan." Aku membalas perhatian Mama dengan menghadirkan senyum yang terindah.
Kami meneruskan acara sarapan pagi, dan lagi-lagi aku belum berani mengutarakan rencana dan perintah Pak Dani.
***
Di kantor, aku masih memikirkan bagaimana cara untuk menyampaikan hal tersebut pada Mama, sedangkan untuk menolak perintah Boss juga rasanya tidak mungkin.
"Hei—masih pagi sudah bengong aja lo. Apa gak takut akan bernasib sama kayak ayam tetangga gue," celoteh Rani membuyarkan lamunanku ketika akan masuk ke pintu lift.
"Apa lo bawa-bawa ayam tetangga, ini kantor woi," sahutku pura-pura bego.
"Ish, dasar kamu tuh ya, gak ngerti peribahasa," sergah Rani.
"Peribahasa dari negeri mana?" balasku.
"Dari negeri per-ayam-an," jawab gadis asli betawi itu."
Kami pun terbahak bersama, untung saja penghuni lift hanya kami berdua, hingga tidak ada yang akan tersiksa dengan kecemprengan tawa dua makhluk imut pagi ini.
"Udah, ah ... sampai jumpa nanti," pamitku pada Rani seraya melangkah menuju ruanganku.
"Jani, ntar makan siang bareng ya."
"Oke siap!"
Aku menuju meja kerjaku, dan menyapa Reza serta rekan yang lain.
"Boss udah datang, Za?" tanyaku.
"Kayknya belom tuh, napa muka lo kok kayak panik gitu? Ada masalah dengan Boss?"
"Enggak—emangnya gak boleh nanyain Boss?" balasku kembali bertanya.
"Iya ya, kalau lo nanyain Pak RT baru gue kudu heran ya—" Reza mengetuk-ngetuk keningnya.
"Nah tuh, lo sadar." Aku kembali tergelak menyaksikan wajah pura-pura begonya Reza.
"Mba Jani, tuh dipanggil Boss!" teriak Bang Ojen, office boy di kantor kami.
"Tuh, Jani—Boss udah datang." Reza menyela.
"Iya, gue tahu kali." Aku melewati meja Reza, seraya memukulkan gulungan kertas di tangan ke bahu rekanku yang rada absurd itu.
Aku memasuki ruangan Pak Dani dengan pikiran yang masih berkecamuk. Jawaban apa yang akan kusampaikan jika pria nomor satu di kantor ini, menanyakan perihal rencana presentasi, serta company gathering akhir pekan ini. Pak Dani juga sudah paham bahwa aku adalah satu-satunya pekerja yang tidak pernah ikut dalam agenda tersebut. Agenda yang paling dinanti-nantikan oleh hampir seluruh pekerja.
"Selamat pagi, Pak," sapaku pelan.
"Pagi, Anjani. Karena ini sudah Kamis, jadi tolong siapkan berkas-berkas yang akan dibawa pada saat presentasi besok. Kita akan berangkat hari Sabtu—malam harinya jadwal presentasi. Eh, sudah dapat izin dari Mamamu, kan?" Pak Dani mengejutkan dengan pertanyaan yang sangat mengusik benak.
"Be-belum, Pak," jawabku terbata.
"Loh, kenapa? Rencana sudah enggak mungkin diubah loh, saya enggak mungkin menggantikan kamu dengan yang lain. Sebab sejak awal, kamu yang menangani proposal penawaran kerja itu," tegas Pak Dani.
"Iya, Pak ... saya mengerti. Sore nanti akan saya sampaikan kepada Mama, dan saya yakin Mama akan mengizinkan." Entah keyakinan dari mana kudapat, hingga terucap kalimat tersebut. Sedangkan aku, belum siap melihat raut kekecewaan Mama, kala mengingat antusiasnya mengajak aku mengunjungi kebun bunga Tante Wita, teman Mama yang hingga detik ini belum terbayang juga bentuk rupanya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Salah Cinta
General FictionAnjani, yang selalu mengikuti kemauan sang Ibu sepanjang hidupnya, mulai berubah sejak kehadiran Ivan. Ivan membuat Anjani berani melakukan banyak hal yang selama ini tidak terpikirkan mampu dilakukannya. Sayangnya, sang Ibu tidak menyukai perubah...