Sore itu sepulang kantor, aku bergegas menemui Mama, ternyata Mama sedang berada di halaman samping. Selain memasak, Mama juga suka menanam dan merawat aneka bunga. Aku tidak begitu paham jenis bunga-bunga tersebut, dan sepertinya Mama juga tidak terlalu memusingkan tentang nama-nama tersebut.
Aku teringat ketika Mama pulang dengan membawa sejumlah bibit bunga yang beraneka rupa.
"Bunga apa tuh, Ma?" Aku bertanya sembari membantu Mama mengeluarkan dari bagasi mobil..
"Mama lupa, tadi Tante Wita yang ngasi ke Mama. Ada sih Tante Wita nunjukin jenis-jenis bunga ini, tapi beneran Mama gak ingat. Lagian, buat Mama yang penting tanaman itu tumbuh subur dan tertata rapi, udah cukup. Percuma juga buat Mama ngafalinnya, tapi enggak dipelihara dengan baik."
"Iya juga sih, Ma."
Setelah meletakkan tas dan berganti pakaian, aku menemui Mama di halaman samping.
"Ada bunga yang baru, ya, Ma?"
"Enggak ada kok, Mama hanya merapikan, ada beberapa bunga yang tanahnya perlu diganti. Maklumlah, udah beberapa hari ini enggak dipeduliin."
Aku menghampiri Mama, dan ikut menyibukkan diri memasukkan tanah ke dalam pot yang sudah dibongkar.
"Ma, Jani mau ngomong sesuatu." Aku memberanikan diri memulai percakapan serius dengan Mama.
"Kedengarannya serius, nih! Ada apa, Sayang? Cerita deh, sama Mama." Mama menghentikan sejenak aktifitasnya, lalu menoleh ke arahku.
"Tadi siang, Jani makan siang bareng Om Baskoro." Aku berucap pelan, tetapi Mama tersentak dan beranjak dari posisisnya semula.
"Kenapa, Jani? Percayalah, Mama tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Baskoro."
"Jani tahu, Ma."
Kemudian aku menceritakan pertemuan dengan Om Baskoro. Mulai dari saat pria itu menemuiku di kantor, hingga aku marah-marah. Sampai ke saat aku bertemu tidak sengaja di restoran taman pancing itu. Aku menceritakan detil apa yang kami perbincangkan, termasuk penyebab keberanianku untuk pulang, salah satunya adalah karena saran dari Om Bas.
"Jika Mama benar yakin dan mencintai Om Bas, Jani merestuinya. Jani merasa, Om Bas orang yang baik, dia mampu menjaga dan menyayangi Mama dengan tulus."
"Mama akui, ada perasaan nyaman ketika bersamanya. Om Bas bukan hanya baik, tapi juga cerdas dan berwawasan luas. Tulus dan ikhlas, itu yang bikin Mama senang saat bersamanya. Namun, untuk berkomitmen, Mama butuh waktu, Nak. Kegagalan yang pernah Mama alami, jujur, menimbulkan trauma yang membekas di hati Mama."
"Jani ngerti, Ma."
"Itu juga yang jadi alasan, kenapa Mama belum mau berterus terang padamu tentang Om Bas."
"Iya, Ma. Om Bas sudah cerita tentang itu. Maafin Jani, ya, Ma." Aku mendekati Mama yang duduk di kursi taman.
"Terima kasih atas pengertianmu, Sayang."
"Ya, Ma—semuanya terserah Mama, tentu Mama yang lebih tahu apa yang terbaik. Apa pun keputusan yang Mama ambil, Jani akan selalu support Mama. Satu hal yang harus Mama tahu, Jani senang punya Papa kayak Om Bas." Aku kembali menggoda Mama.
"Apa-apaan sih, kamu!" Mama terlihat jengah, dan tidak berhasil menyembunyikan rona merah pada pipinya.
Meskipun aku belum berhasil menbuat Mama menyetujui untuk melanjutkan hubungannya dengan Om Baskoro, paling tidak, aku tahu bahwa kekagumannya pada pria itu tidak berubah. Mungkin Mama butuh waktu, untuk meyakinkan perasaannya.
***
Sambil memeriksa file-file untuk pekerjaan besok, aku menghubungi Om Baskoro melalui whatsApp.
[Malam, Om]
Tidak lama, Om Bas langsung membalas pesanku.
[Malam juga, Anjani. Udah makan, kamu?]
[Udah, Om. Tadi bareng Mama. Mama bikin gado-gado, enak loh]
[Waduh, jadi laper nih]
[Emangnya Om belum makan? Ke sini aja, Om!]
[Pengen banget, tapi mana berani Om ke sana]
[Kasi kejutan kek, atau apalah yang romantis, gitu. Biar Mama yakin akan kesungguhan cinta Om]
Om Baskoro mengirimkan emot tertawa terbahak-bahak.
[Ih, malah ketawa] Aku membalas dengan emot cemberut.
[Ya, deh, akan berjuang hingga titik darah penghabisan]
[Gak lucu] Aku lampirkan emot marah.
[Jangan marah, dong, Nona Cantik. Mama kamu itu, orangnya keras, dia tidak akan mudah ditaklukkan hanya dengan kata-kata romantis atau kejutan-kejutan receh. Tapi Om akan tetap berusaha mendapatkan cintanya. Percayalah!]
[Nah, gitu, dong! Aku tunggu actionnya, bukan talk only]
[Siap, Boss! Udah, tidur sana, jangan begadang, ntar dimarahin Bang Rhoma]
Aku tersenyum membaca pesan yang terakhir dari Om Baskoro, dasar produk jadul, mana aku kenal dengan Bang Rhoma segala. Kalau Wild Flower-nya Park Hyo Shin, baru deh aku tahu.
Aku memejamkan mata, sembari berharap, Mama akan menemukan pendamping yang terbaik untuknya.
***
Berkutat dengan pekerjaan kantor, terkadang menimbulkan rasa bosan juga. Apa lagi sejak Ivan tidak lagi menyambangiku di kantor. Tidak kupungkiri, ada perasaan kehilangan sejak memutuskan berpisah dengannya, tetapi aku tidak ingin menyesalinya. Jika Mama rela mengorbankan hidupnya untukku, mengapa aku tidak bisa melakukan hal yang sama.
"Lo emang spesialis bengong, ya." Lagi-lagi Reza mengacaukan lamunanku.
"Dan lo, spesialis usil, suka banget gangguin orang yang lagi mikir."
"Kebanyakan mikir, lo—kalau Pak Ivan direbut cewek lain, baru deh nangis bombay lo."
"Biarin aja, itu namanya enggak jodoh."
"Yaela, apatis banget nih bocah. Jodoh itu kudu dikejar, tau! Ingat, penyesalan itu selalu datang belakangan."
"Hooh, kalau di depan namanya pendaftaran, 'kan?"
"Basi!"umpat Reza, yang diiringi dengan tawa kami serentak.
Aku dan Reza melanjutkan obrolan tentang progress resor yang sedang dihandlenya. Tengah asyik berdiskusi, aku dikejutkan oleh dering telepon seluler di meja. Aku melirik sekilas, panggilan yang tertera di layar handphone, Om Baskoro.
"Sorry, Za. Aku angkat telepon dulu, ya."
"Yup, lanjut."
"Ya, halo Om. Apa kabar?" Aku berbasa-basi menjawab sapa suara itu.
"Om, baik-baik aja, sih. Teramat baik malah." Ucapannya menimbulkan penasaran, seolah ada sesuatu yang ingin disampaikan.
"Nada-nadanya, ada kabar gembira, nih. Napa, Om?" Aku bertanya tidak sabar menanti penjelasannya.
"Kamu tahu, Jani—tadi siang Om makan sama siapa?" Yaela si Om pakai ngajak main tebak-tebakan segala.
"Mana aku tahu, Om."
"Dengan seorang perempuan, namanya Ratri."
"Serius? Om udah ketemu Mama?" Aku membayangkan bagaimana raut wajah Om Baskoro di sana, pasti dia sangat gembira.
"Terus, gimana, Om udah ngelamar Mama? Mama bilang apa?" Beruntun pertayaan penuh keingintahuan, aku lontarkan pada Om Bas, tetapi jawaban yang kudengar dari seberang sana, hanya tawa baritonnya saja.
"Kamu, ya—enggak sabaran banget. Doain aja biar Om berhasil menaklukkan hati Mama kamu."
"Ya deh, Om—doa yang terbaik selalu untuk Om dan Mama tentunya."
Kami pun mengakhiri obrolan online itu, dan aku ikut deg-degan dengan kelanjutan hubungan antara Mama dan Om Baskoro. Namun, ada sebersit keyakinan, bahwa pada saatnya nanti mereka akan bersatu. Semoga deh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Salah Cinta
Aktuelle LiteraturAnjani, yang selalu mengikuti kemauan sang Ibu sepanjang hidupnya, mulai berubah sejak kehadiran Ivan. Ivan membuat Anjani berani melakukan banyak hal yang selama ini tidak terpikirkan mampu dilakukannya. Sayangnya, sang Ibu tidak menyukai perubah...