Jam meja kerjaku telah menunjukkan pukul delapan malam lewat lima belas menit. Aku masih membuka beberapa file presentasi sekaligus, mencocokkan beberapa isinya agar tidak ada data yang terlewat. Setelah ini, ada tumpukan dokumen yang harus disortir, besok adalah deadline pengumpulan tender untuk pengerjaan proyek apartemen mewah. Kalau perusahaan kami menang tender tersebut, sisa tahun ini dapat dijalankan dengan sedikit santai karena 50% lebih target tercapai.
"Lo belum mau pulang?" Rani muncul dari balik pintu ruangan yang tersisa aku saja seorang diri.
"Tanggung nih. Selesaikan dokumen tender dulu deh, biar besok pagi gue enggak buru-buru."
"Gue duluan saja ya."
"Iya, hati-hati."
"Lo juga hati-hati. Tinggal lo doang di kantor."
Aku mengangguk tanpa memalingkan wajah dari layar komputer. Tangan kananku melambai ke arah Rani dan membiarkannya pergi. Untung juga aku menginap di apartemen Rani yang tidak jauh dari kantor, sehingga aku tidak perlu waktu lama untuk pulang pergi ke kantor. Tidak sampai setengah jam aku sudah sampai di apartemen sahabatku itu.
Selepas kepulangan Rani, aku kembali fokus pada layar laptop sebelum satu jam kemudian menekuri tumpukan dokumen tender, menyortir dokumen-dokumen yang dibutuhkan untuk diurutkan sesuai dengan persyaratan pengumpulan tender. Salah satu syarat utama lolos masuk ke proses pitching untuk menjual diri sebelum penunjukkan, adalah pengumpulan dokumen yang sesuai dengan persyaratan yang diberikan, dan disusun sesuai dengan urutan persyaratan. Salah urutan sedikit saja, bisa langsung dicoret. Jangankan kesempatan presentasi untuk menjual keunggulan perusahaan, diundang hadir untuk pengarahan persiapan presentasi saja tidak.
Ponselku berkedip-kedip di atas meja. Lampu ruangan memang tinggal menyala di areaku saja, sehingga tetap terasa gelap karena di luar ruangan lampu kantor sudah mati. Kedip-kedip cahaya dari ponsel memantul ke luar ruangan.
Aku meninggalkan sejenak kegiatan menyortir dokumen untuk melihat siapa yang menghubungiku malam-malam seperti ini.
Pak Ivan.
Aku membiarkan ponselku sampai mati sendiri. Melihat jam yang tertera di layar ponsel, sudah tiga jam berlalu dari waktu Rani pulang. Perempuan itu pasti sudah jatuh tertidur juga jam segini. Setengah jam yang lalu dia masih mengirimiku pesan untuk makan di apartemen saja, karena dia beli nasi goreng lumayan banyak.
Setelah cahaya ponsel mati, aku meraih ponselku dan membuka kuncinya. Ada dua missed call dari Pak Ivan dan lima dari Ibu.
Setelah tiga minggu aku meninggalkan rumah, Ibu akhirnya menghubungiku. Aku tidak pernah mengangkat telepon yang ditujukannya kepadaku, tetapi sesekali aku membalas pesan-pesan yang dikirimkannya. Toh Ibu hanya bertanya apakah aku sehat, sudah makan atau belum, sedang di mana atau mengingatkanku untuk menjaga kesehatan. Pilihan jawabanku hanya tinggal ya atau tidak saja untuk semua pertanyaan yang ada.
"Hatchi!" Aku buru-buru mengambil tisu untuk bersiap-siap akan bersin berikutnya yang biasa mengikuti bersin pertama. Benar saja, tidak hanya dua kali, tetapi aku bersin sampai lima kali.
Tangan kananku tanpa sadar berjalan ke arah kening, dan disambut dengan rasa terbakar. Kuulangi pengecekan dengan tangan kiri. Sama saja. Kali ini tanganku turun ke arah leher, mengecek leher bagian depan dan belakang. Tidak sehangat kening tapi tetap bukan kondisi normalku.
"Gue kan sudah bilang jangan diforsir kalau kerja. Begini kan gue juga yang susah." Rani mengoceh sendiri ketika keesokan paginya aku bangun dengan kondisi tubuh yang jauh lebih parah dari semalam. Ia sibuk mengganti air kompres dan berulangkali mengingatkanku untuk mengganti air kompresnya.
"Lo pulang jam berapa sih semalam? Gue terbangun jam satu ambil minum masih belum terlihat tanda-tanda kemunculan lo."
"Hatchi!" Aku bersin kembali di saat yang tepat. Tidak mungkin aku bilang kalau baru subuh tadi aku sampai di apartemen. Selain karena tanggung sedang menyelesaikan dokumen tender, aku juga tidak bisa jalan karena kepala pusing sekali. Jadi kuputuskan untuk istirahat sebentar di ruangan sambil menunggu ada satpam yang patroli, untuk membantuku turun ke lobi dan memanggilkan taksi. Aku takut pingsan di tengah jalan.
"Bukannya lo bilang sudah kasih porsi yang cukup banyak ke Reza terkait proyek lo? Kenapa masih banyak saja sih kerjaan lo?"
"Untuk proyek resor memang sudah gue berikan tanggung jawab lebih ke Reza, tapi ada beberapa proyek lain sedang gue pegang plus tanggung jawab tender sekarang ada di gue." ...karena permintaan gue sendiri, lanjutku dalam hati.
Rani menghela napas sebelum mengoceh untuk terakhir kalinya mengingatkanku untuk menghabiskan sup ayam yang sudah disiapkannya, sebelum ia bergegas bernagkat ke kantor. Hari ini aku izin tidak masuk dan meminta tolong pada Rani untuk menyampaikan juga kondisiku pada Pak Dani.
Badanku lemah sekali tetapi pikiranku tidak. Hanya ini lah yang bisa kulakukan untuk melupakan pertengkaranku dengan Mama serta Pak Ivan. Aku butuh pengalihan, dan pekerjaan adalah pengalihan terbaik yang dapat kupikirkan saat ini.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Salah Cinta
Fiksi UmumAnjani, yang selalu mengikuti kemauan sang Ibu sepanjang hidupnya, mulai berubah sejak kehadiran Ivan. Ivan membuat Anjani berani melakukan banyak hal yang selama ini tidak terpikirkan mampu dilakukannya. Sayangnya, sang Ibu tidak menyukai perubah...