30. Bukan Masalah Besar

189 33 0
                                    

"Kamu yakin?" Pak Dani bertanya untuk kesekian kalinya.

Aku mengangguk mantap. "Tolong jangan tahan saya kali ini, Pak. Reza sudah siap, saya tidak akan kemana-mana dan proses pengerjaan resor sudah 80% selesai. Tinggal finishing off saja kemudian siap untuk soft opening."

"Tapi nanti kamu enggak dapat kredit, padahal proyek itu sebagian besar hasil karya kamu."

"Tidak apa-apa, Pak. Saya tidak haus pengakuan, kok. Dengan teman-teman di sini saja tahu kalau saya ikut mengerjakan resor tersebut, sudah cukup untuk saya."

"Ini karena Ivan?" tanya Pak Dani hati-hati. Terakhir kali ia sedikit mencampuri urusan pribadiku membuatku tersinggung, sehingga sekarang ia tampak menjaga benar perkataannya.

Aku menggeleng, kemudian tersenyum. "Sebelumnya, atau kalau kemarin saya melakukannya, hampir 100% jawabannya karena beliau. Namun kali ini tidak, Pak. Saya memang ingin melepaskan diri dari proyek ini karena begitu menguras pikiran dan tenaga saya. Sepertinya masih banyak yang saya perlu pelajari sebelum memegang proyek sebesar ini. Juga, saya lebih nyaman melakukan tender. Kalau boleh, saya fokus di area tersebut."

Pak Dani mengangguk-anggukkan kepalanya, menyatukan kedua tangannya di depan dada di atas meja.

"Kamu sudah jauh lebih dewasa dibandingkan pertama kali kamu bergabung. Saya senang melihatnya."

"Harus dong, Pak. Masak mau jadi anak kecil terus."

Kami berdua tertawa, sebelum Pak Dani melanjutkan kalimatnya. "Kamu sudah berbaikan dengan Mamamu dan menyelesaikan permasalahan dengan Ivan?"

Aku tersenyum. "Akan saya lakukan secepatnya." Kali ini aku tidak tersinggung sama sekali dengan pertanyaan Pak Dani yang bersifat pribadi. Karena kali ini, aku tahu apa yang harus kulakukan.

Keluar dari ruangan Pak Dani aku tersenyum lega. Satu masalah telah selesai, tinggal menyelesaikan masalah lainnya.

Satu per satu.

Setengah jam kemudian aku sudah memasuki kafe Morning Glory untuk menyelesaikan masalah keduaku.

Pak Ivan tersenyum melihatku masuk ke dalam kafe. Ia melambaikan tangan untuk menyapaku. Aku membalas senyumnya dan berjalan mendekat ke arah tempat duduknya. Sebelum ia menawarkanku untuk membelikan minum, aku menghentikannya. Waktuku tidak banyak. Aku harus melakukannya dengan cepat.

"Sudah selesai istirahatnya?"

Aku mengangguk.

"Tidak akan mengacuhkan lagi semua panggilan serta pesan yang akan saya kirimkan?"

Aku menggeleng.

"Tidak menolak kalau saya ingin mengantar atau menjemput kamu?"

"Sepertinya untuk yang itu tergantung keadaan."

Pak Ivan mengerutkan kening.

"Sepertinya hubungan kita lebih baik sebagai teman saja, dan rekan bisnis."

"Maksud kamu?"

"Kita berpisah saja, Bang."

Hubunganku dengan Pak Ivan hanya akan mengingatkanku dengan semua pemberontakan-pemberontakan yang kulakukan terhadap Mama. Aku tidak ingin melakukannya lagi. Mama sudah berkorban banyak untukku. Aku harus dapat melakukan hal yang sama. Berpisah dengan Pak Ivan seharusnya bukan masalah besar untukku.

*** 

Bukan Salah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang