"Bagaimana?"
Hampir lima menit aku hanya mampu tertegun dan terdiam mendengar pernyataan Pak Ivan. Pikiranku melayang kemana-mana tapi tidak ada satupun yang menyentuh cara menjawab pernyataan pria di hadapanku ini.
"Sebenarnya saya mengajak bertemu lebih cepat untuk membahas, membahas," suaraku seperti tertelan dan tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Aku hanya menunjuk-nunjuk ke layar laptop dengan kedua tanganku. Sebuah isyarat yang semoga saja dimengerti olehnya.
"Saya tahu. Tetapi saya pikir kalau tidak sekarang, mungkin kita tidak akan memiliki kesempatan lain lagi. Waktu kita berdua untuk bertemu terbatas, saya harus mencari berbagai macam alasan untuk bertemu denganmu tanpa mengganggu. Kalau kita berhubungan lebih dekat, saya tidak perlu mencari-cari alasan lagi untuk bertemu."
Kali ini aku tidak dapat menahan hangat yang merekah di kedua pipiku. Entah bagaimana, aku akhirnya mengangguk dan kami berdua terdiam dalam senyum. Sibuk dengan pikiran kami masing-masing.
"Jadi, untuk permintaan kamu, saya setuju," seru Pak Ivan beberapa menit kemudian memecah keheningan.
"Eh, saya belum menjelaskan apa permintaan saya."
"Tidak perlu." Pak Ivan meraih tangan kananku yang baru saja menyentuh tetikus, hendak menunjukkan perubahan timeline yang ingin kuminta. "Saya percaya denganmu. Kamu pasti tahu yang terbaik apa. Kirimkan saja perubahan yang kamu inginkan, saya akan mengikuti."
"Ini tidak profesional," sanggahku. "Kita mungkin saja memiliki hubungan yang berbeda dengan sebelumnya, tetapi proyek ini profesional. Saya dibayar untuk menyelesaikan proyek sebaik mungkin. Mohon jangan membuat saya tidak nyaman dengan perlakuan istimewa ini." Aku menatap Pak Ivan lekat, menunjukkan kesungguhan dari setiap kata yang kuucapkan.
Pak Ivan tersenyum. "Saya tahu kamu berbeda sejak pertama saya bertemu kamu. Namun yang saya lakukan saat ini juga profesional, dan misalnya bukan berhadapan denganmu, saya akan tetap melakukan hal yang sama. Persediaan batu koral di pasaran memang tidak selalu ada. Kalaupun ada, tetap harus dilakukan pengecekan secara menyeluruh apakah tidak ada cacat menimpa. Sehingga saya yakin, supplier mana saja yang akan menyediakan material tersebut, pasti tidak dapat memenuhi permintaan dengan cepat."
"Bapak tahu sekali tentang hal ini," ujarku kagum. Supplier yang kutelepon tadi siang juga menjelaskan permasalahan yang sama persis seperti yang diucapkan Pak Ivan baru saja. Namun kupikir, karena dia supplier, mereka hanya mencari aman saja dengan memberikan alasan.
"Bertahun-tahun berkecimpung dalam industri properti, hal-hal seperti ini sudah menjadi makanan saya sehari-hari. Justru aneh kalau saya tidak tahu."
Aku tersenyum, membenarkan pernyataannya. Benar juga, seorang pebisnis handal harus paham detail akan produk atau jasa yang ditawarkannya. Jangan hanya mau untung cepat tanpa memikirkan kualitas jualan mereka.
"Walaupun mengenal detail pekerjaan adalah makanan sehari-hari saya, tetapi enggak bikin saya kenyang. Jadi, saya tetap harus makan makanan sungguhan. Bagaimana kalau makan malam dengan saya nanti malam?" ajak Pak Ivan sembari mengedipkan matanya.
Aku tertawa. Setelah beberapa hari terpuruk dengan masalahku dengan Mama, baru kali ini aku bisa tertawa lepas. Berkat Pak Ivan. Tentu saja aku tidak boleh menolak tawaran seseorang yang membuatku bahagia.
***
Aku kembali ke kantor dengan perasaan yang ringan dan kepala enteng. Satu masalah pekerjaan berhasil diselesaikan dengan baik, sehingga aku memiliki ruang untuk menyelesaikan deadline lainnya yang juga menumpuk. Semoga saja Reza sudah menemukan calon supplier yang lebih baik dan dapat menyediakan permintaan dengan cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Salah Cinta
Ficțiune generalăAnjani, yang selalu mengikuti kemauan sang Ibu sepanjang hidupnya, mulai berubah sejak kehadiran Ivan. Ivan membuat Anjani berani melakukan banyak hal yang selama ini tidak terpikirkan mampu dilakukannya. Sayangnya, sang Ibu tidak menyukai perubah...