31. Bukan Rencana

185 32 0
                                    


Aku berharap, setelah lepas dari proyek Ivan, akan membuat segala sesuatunya akan lebih baik. Aku ingin kembali hidup biasa-biasa saja, seperti dulu. Cinta memamg penuh misteri. Cinta dapat menciptakan bahagia, tetapi juga menghadirkan air mata. Di saat memutuskan untuk mencintai, artinya telah menyiapkan diri untuk terluka.

Mama adalah segalanya bagiku. Kebahagiaan Mama, itu yang paling penting dalam hidupku. Aku harus melakukan sesuatu, agar semua kembali seperti sedia kala. Om Baskoro. Ya, dia yang dapat membantuku mewujudkan itu. Namun, di mana dapat kutemui pria itu? Alamat rumah atau pun kantornya, sama sekali aku tidak tahu. Bahkan nomor teleponnya pun aku tidak punya.

Aku membolak-balikkan tubuh di kasur empuk milik Rani, berpikir keras, di mana pria itu bisa kutemui.

"Ngapain lo ngetuk-ngetuk kepala begitu? Ntar bocor, tahu rasa, deh!" Rani keluar dari kamar mandi, dengan gulungan handuk di kepalanya mengejutkanku.

"Lo bikin kaget, tahu!" sungutku.

"Mandi sana, mumpung libur ini, hang out yuk!" Rani menarik dan mendorongku ke kamar mandi.

Aku bergerak pelan, sembari memutar-mutar handuk, enggan ketemu air. Aku sedang tidak ingin berada dalam keramaian, tetapi merasa tidak enak hati juga untuk menolak ajakannya. Sejak sore kemarin, Rani sudah mengatur rencana ini. Dia berusaha menghiburku dengan cara itu. Walaupun sebenarnya, aku lebih suka menghabiskan waktu akhir pekan ini, hanya dengan bermalas-malasan di tempat tidur. Namun, sahabat ceriwis itu keukeh dengan ajakannya.

"Kalau lo mendekam di kamar, yang ada lo malah nangis seharian." Begitu ucap Rani kemarin, saat aku memberi alasan. Tidak kupungkiri itu, Rani benar.

Air yang dingin mengguyur kepala dan seluruh tubuhku. Berharap jatuhnya percikan air ini, ikut meluruhkan beban yang melekat di benakku.

"Jani, kalau gue pakai begini, masih pantes gak ya?" Rani mematut dirinya di cermin.. Kaos rajut putih yang dipadu dengan overall berbahan denim, membuatnya tampak lebih muda.

"Ya panteslah, makin keren dan cute banget," pujiku.

Setelah sarapan dengan sepotong egg sandwich dan segelas coklat hangat, aku dan Rani beranjak meninggalkan apartemen. Kaos oversized panjang yang dipadu dengan celana denim ketat, memberikan efek nyaman pada diriku. Aku hanya berusaha untuk mengimbangi keceriaan Rani. Bagaimanapun, ia sudah berupaya keras membantuku melewati masa-masa sulit ini. Walaupun hingga saat ini, aku masih dibelenggu oleh keresahan yang tidak kunjung sirna, paling tidak, sudah banyak hal yang dilakukan oleh Rani untuk menghiburku.

Meskipun Rani, orangnya ceriwis dan rada nyablak, tetapi dia selalu berusaha memposisikan diri menjadi 'tong sampah' setiap curhatanku. Dan yang pasti, dia mampu menjaga privasiku.

Tujuan kami hari ini adalah pusat perbelanjaan. Tidak ada sesuatu yang khusus yang kami cari, paling hanya melihat-lihat koleksi Korea fashion style. Rani memang penggila segala sesuatu yang berbau negeri ginseng itu. Dia akan tahan berjam-jam menggadaikan waktu tidurnya hanya untuk menonton drama Korea. Aku sendiri, tidak begitu tertarik dengan drama, hanya suka menikmati musiknya.

Setelah puas berkeliling, dan Rani yang tadinya tidak berniat membeli apa-apa, akhirnya kepincut dengan kaca mata wayfarer dengan bingkai yang tebal. Cocok sekali dengan wajah bulat Rani, jadi terlihat lebih panjang, dan pipi tampak tirus.

Walaupun di mal ini, banyak sekali tersedia resto dan aneka food court, tetapi aku dan Rani memilih untuk makan siang di luar saja. Sebuah resto yang terletak jauh dari pusat keramaian jadi pilihan. Kali Rani menuruti keinginanku. Aku sedang butuh tempat yang sepi dengan suasana alam yang memberikan kesegaran. Hampir dua jam perjalanan kami menuju tempat yang dimaksud, cukup jauh memang, tetapi worth it dengan kenyamanan yang di dapat.

Sambil menunggu menu ikan bakar yang akan disajikan, aku duduk di pinggir kolam ikan. Restoran ini memang menyajikan menu utama ikan, yang dibakar langsung setelah ditangkap. Pengunjung diperbolehkan untuk memancing sendiri ikan yang akan dimasak.

Ketika sedang menyaksikan ikan yang berebutan saat diberi makan, aku melihat sesosok wajah yang tidak asing. Nyaris berteriak, jika tidak cepat kututup mulut. Berkecamuk benakku, melihat siapa yang ada di pinggir kolam seberang sana.

"Rani, gue ke sana bentar ya." Aku menepuk bahu Rani yang sedang memelototi gadgetnya. Apa lagi kalau bukan drama korea.

"Eh, mau ke mana lo?" tanya Rani tanpa mengalihkan netranya.

Setengah berlari aku menemui pria yang sedang memancing itu, dia tidak menyadari kehadiranku.

"Om Bas!" panggilku.

Pria itu menoleh, tersenyum lebar saat melihat kedatanganku.

"Anjani ... kamu di sini?Apa kabar? Sama siapa?" Om Baskoro memberondongku dengan pertanyaan.

Aku menyalami pria itu saat tiba di hadapannya.

"Baik, Om. Aku datang dengan Rani," jawabku sembari melambaikan tangan ke arah Rani yang melihat dari kejauhan.

Rani beranjak menghampiri kami. "Ran, ini Om Baskoro, teman dekat Mamaku." Aku menoleh ke arah Rani dan memberi isyarat. Aku pernah bercerita soal pria ini kepada Rani, ketika Om Baskoro menemuiku di kantor beberapa waktu lalu. Hanya saja aku tidak pernah menyebutkan namanya pada Rani.

"Oh iya, saya Rani, Om. Senang berkenalan dengan Om Bas." Rani tersenyum penuh arti sembari menatapku. Kemudian Rani pun meminta izin untuk kembali ke tempat duduknya semula.

Kami berbincang berbasa-basi, saling menanyakan kabar. Entah kenapa, pertemuan kali ini dengan Om Bas, aku merasa lebih nyaman. Tidak ada kebencian. Mungkin karena pria itu sendiri, sangat hangat menerimaku. Tidak tampak dendam pada raut wajahnya, meski saat bertemu terakhir kali, aku marah-marah dan menghujatnya.

Aku akui, telah salah menilai Om Baskoro. Pria ini menarik. Saat berbicara denganku, dia memosisikan dirinya seperti sahabat. Seksama mendengarkan semua keluhanku. Dan anehnya, aku pun begitu mudah mengungkapkan semua beban yang beberapa waktu terakhir ini memang sangat mengganggu.

Bahkan aku bercerita tentang Ivan, dan apa yang telah terjadi di antara kami.

"Om, bagaimana kabar Mama?" Aku mengalihkan topik pembicaraan. Saking asyiknya curhat, aku hampir saja lupa akan tujuan sebenarnya. Bertemu tidak sengaja dengan pria ini adalah sebuah anugerah buatku. Tadi malam baru saja aku memutuskan untuk mencarinya, dan hari ini kami dipertemukan. Bukankah itu sebuah pertanda baik?

Om Baskoro tampak terkejut dengan pertanyaanku. Ia menatap lekat dengan mengerutkan keningnya. "Maksudmu, kamu masih belum pulang ke rumah? Dan selama ini, kamu tidak pernah bertemu Mamamu?

"Iya, Om."

"Ya Allah, Anjani ... Om pikir, kalian sudah berbaikan." Pria itu terdiam sejenak, tampak ia menghela nafas berat.

Gantian, sekarang aku yang terkejut mendengar ucapannya. Aku mengernyitkan kening, menatap pria itu mengharapkan penjelasan. Kembali Om Baskoro menatapku. Aku melihat keputusasaan terpapar dari netranya.

Bukan Salah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang