Vila milik keluarga Pak Ivan terletak di daerah Sentul. Desain vila yang didominasi warna tanah memancarkan aura tenang dan nyaman saat pertama melihat. Batu-batuan konkret menjadi daya tarik utama vila, tidak hanya memberikan kesan hangat dan kuat, tetapi juga berfungsi sebagai tempat duduk yang kokoh.
Perjalanan dari pusat Jakarta menuju Sentul di pagi hari Minggu tidak memakan waktu lama, sekitar satu jam kami berdua sudah sampai di lokasi. Aku sengaja minta dijemput di kantor dengan alasan mengambil dokumen yang tertinggal, tidak siap apabila Mama menanyakan siapa yang menjemputku. Terakhir kali Pak Ivan mengantarkanku pulang saja, aku sudah khawatir, untung saja fokus Mama teralihkan melihat rambutku.
Tanpa sadar, aku mengusap-usap rambut dan menengok ke arah kaca spion di sebelah kiriku. Sudah beberapa hari memiliki model rambut baru ini dan aku mulai terbiasa, rasanya enteng sekali dan ringan kepalaku. Aku juga tidak perlu waktu lama untuk menata rambut sebelum memulai aktivitas. Seperti pagi ini, aku tinggal menambahkan hair gel saja agar model rambutku terlihat rapi.
"Lebih nyaman kan?" komentar Pak Ivan melihatku masih memperhatikan rambut di kaca spion.
"Eh iya, benar. Lebih ringan," balasku terkejut kemudian buru-buru memalingkan perhatian ke depan. Pak Ivan tengah mencari lokasi untuk parkir. Walaupun namanya Vila, tetapi luas lokasi tempat ini sudah memenuhi syarat untuk disebut resor. "Luas sekali vilanya, Bang," ujarku berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Sebenarnya tidak juga, di sebelah sana itu perkebunan, tidak masuk area Vila. Namun, karena lokasinya berdekatan jadi terlihat seperti satu kesatuan."
"Oh," balasku pendek.
"Baiklah, kita sudah benar-benar sampai sekarang," ujar Pak Ivan setelah mematikan mesin mobil.
Aku segera membuka pintu mobil sebelum pria itu berputar sampai di pintuku dan membukakan pintu. Anehnya, pintu mobil tidak mau terbuka. Tidak sampai Pak Ivan membukakan pintu mobil untukku, aku baru tersadar dia menyalakan mode child lock di sisiku.
"Biar saya saja yang terus membukakan pintu," goda Pak Ivan ketika aku protes.
Aku pun memilih mengabaikan komentarnya dan fokus pada acara hari ini saja. Eh, tapi mengapa Vila terlihat sepi ya, tidak ada tanda-tanda akan ada acara yang berlangsung.
"Oh, acara hari ini memang hanya keluarga saja," jawab Pak Ivan enteng ketika aku menanyakan sepinya area Vila.
Saat Pak Ivan mengatakan keluarga, dia benar-benar lupa menyebutkan keluarga inti yang dimaksud. Tidak sampai 50 orang yang menghadiri acara ulang tahun sang Ibu, hanya ada kakak dan adik-adik Pak Ivan yang ternyata sudah menikah dan berkeluarga. Tinggal dia sendiri yang belum menikah.
Aku benar-benar canggung ketika memasuki ruang utama dan bertemu dengan semua anggota keluarganya. Belum lagi dengan pandangan bertanya-tanya yang dilemparkan ke arahku, membuat semakin bingung untuk bersikap.
"Tenang saja, kamu selalu di sebelah saya saja. Biar saya yang menjawab semua pertanyaan," bisik Pak Ivan seperti membaca kekhawatiranku.
Aku mengangguk, tetapi percaya dengan kata-kata Pak Ivan ternyata bumerang untukku.
"Iya, Ibu, makanya sekarang saya ajak ke sini. Biar Ibu kenal dulu," ujar Pak Ivan mengenalkanku kepada ibunya, setelah sang Ibu bertanya apakah aku pasangannya.
Aku hanya mampu menatap penuh tanya ke arah Pak Ivan yang dibalas dengan kedipan.
Kedipan yang membuat jantungku berdegup hebat.
***
Setelah menghabiskan hampir setengah hari, akhirnya Pak Ivan mengajakku pulang juga. Lepas makan siang, kami meninggalkan lokasi vila untuk kembali ke Jakarta.
"Bang, maksudnya apa tadi Abang memperkenalkan saya seperti itu?" cecarku di dalam mobil, setelah beberapa menit lamanya kami saling berdiam diri. Sebelumnya aku menunggu Pak Ivan untuk menjelaskan, sambil aku juga mempersiapkan diri untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kalau masih tidak puas dengan pertanyaannya. Namun, pria itu ternyata santai saja menyetir, tidak sadar telah membuat hatiku tidak karuan beberapa waktu sebelumnya.
"Kamu keberatan?" tanyanya balik masih dengan gaya santainya.
"Maksudnya?"
"Iya, saya tanya. Kamu keberatan tidak jadi calon saya?"
Aku terdiam.
"Kalau kamu diam, artinya kamu tidak keberatan."
"Aturan dari mana?"
"Kita sudah sampai."
Aku tersentak dan langsung melihat keadaan sekitar. Ternyata saking sibuknya memikirkan pernyataan Pak Ivan ke keluarganya tadi, aku sampai tidak sadar waktu. Pak Ivan sudah tiba kembali di depan rumahku, tanpa aku sempat memintanya untuk mengantar kembali ke kantor.
"Kamu mau turun atau perlu saya bukakan pintu dan memperkenalkan diri sekalian ke Mamamu?"
"Tidak perlu," sergahku cepat kemudian membuka pintu mobil, setelah sebelumnya memastikan mode child lock tidak aktif.
"Tunggu sebentar." Tangan Pak Ivan menahan tanganku untuk membuka pintu. "Mengenai yang terjadi di vila tadi, saya bersungguh-sungguh dengan ucapan saya. Kamu tidak perlu menjawab sekarang, tetapi pikirkanlah."
Aku hanya sanggup mengangguk kemudian bergegas meninggalkan mobil Pak Ivan sebelum dia sempat melihat rona merah di kedua pipiku.
"Diantar pulang siapa Jani?" tanya Mama mengagetkanku ketika aku baru saja menutup pintu.
"Astaga Mama, Jani sampai kaget. Pak Ivan Ma, klien yang Jani cerita kemarin."
"Berdua saja?" selidik Mama.
"Tadi ada beberapa orang yang lain, tetapi Jani yang terakhir diantar karena paling jauh rumahnya," bohongku. Aku belum siap bercerita tentang Pak Ivan lebih jauh kalau aku sendiri belum tahu seperti apa hubunganku dengannya, selain mitra bisnis. "Eh, ada makanan apa Mama? Jani lapar nih, tadi enggak sempat makan banyak." Kali ini aku tidak berbohong. Tadi aku memang tidak sempat makan, nafsu makanku menghilang saking gugupnya hadir di tengah-tengah keluarga Pak Ivan.
"Ada nasi dan rendang di meja," jawab Mama datar. Aku mencium ada keanehan di nada suara Mama, tapi kuacuhkan dan berjalan ke arah meja makan.
Baru saja aku mengambil nasi, Mama ternyata mengikutiku ke meja makan dan menarik kursi di depanku.
"Ada apa Jani?" tanya Mama seraya menatapku.
"Ada apa gimana, Ma?"
"Sepertinya ada yang tidak kamu ceritakan ke Mama."
"Em, tidak ada, Ma. Jani kan selau cerita ke Mama," balasku tanpa mampu menatap mata Mama.
"Baiklah kalau memang Jani enggak mau cerita."
"Eh, sebenarnya Jani mau tanya," sergahku teringat kejadian beberapa hari lalu yang belum sempat kutanyakan. "Tiga hari yang lalu, Mama ke Plaza Senayan kah? Waktu Mama cerita mau menemani Tante Ami."
"Iya, Mama menemani Tante Ami, tetapi kami tidak ke Plaza Senayan." Seperti aku sebelumnya, Mama menjawab pertanyaan tanpa membalas pandanganku.
Mama berbohong, aku bisa melihat bahasa tubuh Mama yang lain terlihat gelisah.
Sore ini kami berdua berbohong, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Satu pertanyaan besar menggugah hatiku, siapa pria itu kalau Mama sampai berbohong kepadaku?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Salah Cinta
General FictionAnjani, yang selalu mengikuti kemauan sang Ibu sepanjang hidupnya, mulai berubah sejak kehadiran Ivan. Ivan membuat Anjani berani melakukan banyak hal yang selama ini tidak terpikirkan mampu dilakukannya. Sayangnya, sang Ibu tidak menyukai perubah...