16. Berbeda Bukan Aku

231 43 1
                                    


Kapster yang menanganiku sebenarnya cukup cekatan, ia tahu bagian mana dari wajahku yang sebaiknya ditonjolkan sehingga potongan rambut yang diberikan dapat menyesuaikan. Kapster yang meminta dipanggil Jenny itu juga paham area leher adalah salah satu aset terbaikku, sehingga model pixie cut yang dihasilkannya tepat menyoroti kelebihan tersebut. Namun, aku tetap kangen salon milik Jessy. Aku merasa bersalah juga padanya. Bertahun-tahun aku selalu merapikan rambutku dengan Mama di salon miliknya. Lebih jauh lagi, aku seperti mengkhianati Mbak Tyas. Mbak Tyas yang pertama mengusulkanku untuk potong rambut dengan model pixie cut tapi aku enggan melakukannya. Malam ini, sebuah komentar random dari Pak Ivan yang belum terlalu kukenal, malah mengantarkanku duduk di bangku salon.

"Cucok kan bok." Komentar Jenny yang memutar kursiku agar tepat menghadap kaca, membuat wajahku otomatis menatap bayanganku.

Wow, aku tampak... berbeda.

Aku memegang bagan belakang leherku yang satu jam lalu masih tertutupi oleh rambut. Sedikit menggerakkan tangan kananku ke atas, akhirnya aku menemukan ujung rambutku. Selama aku hidup, ini adalah potongan rambut terpendek yang pernah kumiliki.

Sekilas, aku menatap potongan-potongan helai rambut yang berserakan di lantai. Sedikit emosional, air mataku tiba-tiba saja jatuh dan menetes di salah satu tumpukan helai rambutku.

"Eh eh eh kok menangis?" Jenny tampak kaget. Ia segera mengambil tisu dan menyerahkannya padaku. "Potongan Jenny kurang bagus ya? Ada yang enggak pas? Jenny bisa rapikan. Mana yang belum oke?" tanya Jenny beruntun.

Aku menggeleng cepat. "Tidak kok. Ini bagus banget. Saya hanya kelilipan," bohongku pada kalimat terakhir.

Jenny kelihatan lega. "Syukurlah bok. Jenny sudah takut saja tadi kalau hasilnya tidak sesuai harapan. Nanti Jenny diprotes sama pacar kamu juga."

"Pacar saya?" tanyaku bingung.

"Itu si Mas yang dari tadi memperhatikan kita. Tatapannya tajam banget ya bok, Jenny sampai takut-takut membuat kesalahan potong rambut jij. Nanti Jenny dimarahi hii seram."

Aku tertawa. "Itu bukan pacar saya, tetapi klien. Kebetulan saja kami baru selesai meeting."

Jenny memandangku melalui cermin dengan pandangan tidak percaya. "Klien kok akrab banget? Masak sampai menemani ke salon?"

Aku memilih tidak menjawab pertanyaan tersebut dan mengalihkannya dengan meminta Jenny merapikan beberapa bagian lain rambutku.

Selama Jenny merapikan rambut, aku memikirkan perkataannya. Benar juga kalau dipikir-pikir, hubunganku dengan Pak Ivan seharusnya hanya sebatas klien dengan konsultannya. Sepertinya aku belum pernah menemukan dalam kontrak kerja kalau klien dan konsultan saling menemani dalam kegiatan pribadi, seperti potong rambut ini atau mencari kado.

Astaga, mencari kado.

Segera aku meminta Jenny mempercepat kerjanya dan sekilas memperhatikan Pak Ivan melalui cermin. Benar saja, pria itu tengah melihat ke arah kami, pandangannya seperti tidak lepas. Seketika aku merasa bersalah.

"Benar kan dugaan saya, kamu terlihat lebih enerjik dengan potongan rambut lebih pendek," puji Pak Ivan setelah mendekatiku yang akan beranjak ke arah kasir untuk membayar. "Sudah saya bayar," ujarnya menghalangiku yang akan mendekat ke kasir.

"Eh kenapa Bang? Tidak perlu repot-repot, saya bisa membayar sendiri, biar saya ganti," sanggahku jengah.

"Hitung-hitung tanda terima kasih saya karena kamu sudah mau menemani saya makan malam hari ini?"

"Tetapi tadi Abang sudah traktir saya makan juga. Lagi pula ini kebutuhan pribadi saya, tidak enak apabila dibayarkan juga."

"Justru itu." Pak Ivan kembali melemparkan pandangan misterius.

"Tetapi..," ujarku tergagap mencoba mencari alasan lain.

"Saya tidak menerima alasan lain kecuali terima kasih."

"Eh baiklah, terima kasih," sahutku akhirnya.

"Nah, begitu lebih baik." Pak Ivan tersenyum puas. Senyum yang kembali membangkitkan debaran di jantungku. "Sekarang kita cari kado yuk."

"Oh iya, maaf. Gara-gara saya tiba-tiba potong rambut, waktu kita tidak banyak untuk mencari kado."

Terakhir aku mengecek jam sudah pukul setengah sembilan malam, hanya tersisa satu setengah jam lagi sebelum mall ini tutup.

"Masih cukup kok waktunya," jawab Pak Ivan optimis. "Kita langsung ke outlet saja. Terlalu banyak pilihan kalau di departemen store malah membuat lama waktu memilih," putus Pak Ivan.

Pak Ivan mengajakku masuk ke salah satu outlet merek premium yang terkenal dengan koleksi tasnya. Ini pertama kali aku melihat tas-tas ini dari dekat, sebelumnya aku hanya melihat koleksi tas ini di halaman majalah atau layar televisi. Bahan kulitnya memang benar-benar lembut dan modelnya cantik-cantik. Aku berhitung dalam hati, mengira-ngira butuh menabung berapa bulan untuk membeli satu tas ini.

"Jani, coba ini." Pak Ivan berdiri di sebelahku dengan tas kulit dengan model tote bag lebar yang sepertinya bisa memuat banyak barang.

"Cocok sekali," komentar Pak Ivan setelah aku mematut diri di depan cermin dengan tas tersebut di bahu kananku. "Kamu suka?" tanyanya lebih lanjut.

"Bagus sekali tas ini," jawabku sembari tersenyum.

"Mbak, saya ambil ini dan tas tangan yang sebelumnya ya," putus Pak Ivan kemudian. Aku tersenyum melihat Pak Ivan menunggu pelayan toko membungkus kedua tas. Dia pasti sayang sekali dengan sang Ibu sampai menghadiahkan dua macam tas yang berbeda.

"Ini buat kamu." Pak Ivan menyodorkan shopping bag besar yang berisikan tote bag yang sebelumnya kucoba.

"Buat saya?" tanyaku terbelalak. "Saya tidak bisa menerimanya, Pak. Ini terlalu berlebihan buat saya," tolakku halus.

"Ini bukan hadiah kok, tetapi perlengkapan kerja. Kamu jadi enggak perlu bawa tas laptop terpisah seperti sekarang, semua masuk di sini." Pak Ivan mengambil tas laptop di tanganku, kemudian memasukkannya ke dalam tote bag. "Nah, pas kan. Kerja kamu jadi lebih efektif nanti," kedipnya ke arahku.

Aku hanya bisa menerima pemberiannya dengan pasrah. Entah mengapa Pak Ivan selalu mampu memasukkan alasan pekerjaan di balik setiap perilakunya. Mulai dari mengantarkanku pulang, ajakan meeting, meyakinkanku potong rambut sampai sekarang membelikan tas. Aku saja masih bingung memikirkan alasan apa yang akan kuberikan pada Mama saat beliau melihat rambut dan tas baruku ini nanti. Mama jelas tahu aku belum sanggup membeli tas merek premium ini.

Ah, sungguh memusingkan saja. Aku harus segera menemukan alasan sebelum sampai rumah malam ini.

Entah halusinasi karena aku baru saja memikirkan Mama atau memang itu benar Mama yang baru saja berjalan melewatiku, aku tercengang dan memicingkan mata akan sosok perempuan yang berjalan menjauh dariku. Aku tidak ingat Mama bilang akan pergi ke mall hari ini. Terakhir tadi melalui pesan whatsapp Mama bilang akan menemani Tante Ami mencari perlengkapan untuk restorannya.

Aku kembali memicingkan kedua mataku, berusaha keras melihat lebih jelas.

Benar itu Mama. Aku hafal pakaian dan sepatu yang dikenakannya.

Tetapi siapa laki-laki yang menggandengnya itu?

*** 

Bukan Salah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang