12. Bukan Paksaan

284 44 0
                                    


Kusambut pagi dengan setengah hati. Benakku masih diliputi keraguan. Walaupun Pak Dani dan Mama tentunya, memberi dukungan penuh untuk projek ini. Ditambah lagi sikap Pak Ivan yang rada aneh menurutku.

Sebelum melangkah keluar dari kamar, kembali mematut diri di depan kaca. Kemeja putih dan celana palazzo abu-abu muda, kupadu dengan sebuah blazer pendek hitam. Setelan ini adalah pilihan terakhir, setelah berulang kali aku memadu-madankan busana kantor yang kumiliki. Aku pasrah dengan pilihan yang standar banget menurutku.

Hari ini, adalah saat dimana aku mengadakan meeting kembali bersama Pak Ivan dan stafnya. Tadinya aku ingin hadir dengan penampilan berbeda. Misalnya shirtdress atau pantsuit berwarna cerah. Namun, kubatalkan. Aku malah merasa aneh dengan tampilan itu.

Ah sudahlah, apa juga mesti ribet dengan pakaian. Toh tidak ada bedanya Pak Ivan dengan klien yang lain. Batinku menentang.

"Anjani ...." Suara merdu Mama mulai terdengar. Itu artinya aku harus bergegas ke meja makan.

"Ya, Ma ... Jani sudah kelar, kok."

Aku bergegas keluar, sebelum Mama mempertanyakan kenapa lama sekali aku bersiap.

"Kok lama banget?"

Tuh kan, tepat dugaanku.

"Itu—anu perut Jani mules tadi, Ma." Aku berkelit.

"Ooh, ya, sudah cepat sarapan."

Cepat kuhabiskan nasi goreng teri yang tersaji dengan irisan telur dadar, di hadapanku. Cukup untuk menggantikan energi yang terbuang, karena kepanikan memilah busana tadi.

"Jani, hari ini Mama pulang agak malam ya, ada teman Mama yang mau minta tolong cari perlengkapan buat opening restonya. Kamu hari ini meeting dengan klien baru itu, kan?"

"Oh, iya Ma. Mudah-mudahan semuanya sesuai dengan planning."

Bukankah kemarin Pak Ivan juga menawarkan untuk mengajakku makan malam usai meeting?

Aku memilih untuk tidak menyampaikan rencana itu pada Mama. Selain karena khawatir Mama tidak memberi izin, belum tentu juga lelaki itu serius dengan ajakannya.

***

Selama meeting berlangsung, tidak sedikit pun Pak Ivan menyinggung perihal mengapa dia memilih aku yang memegang pengerjaan proyek resor tersebut. Padahal itu yang dia janjikan ketika mengirim pesan melalu whatsApp dua hari yang lalu.

Bahkan tampangnya serius banget, ketika memaparkan target dan harapan yang mereka ajukan untuk proyek ini.

Aku sedang menutup laptop dan membenahi berkas-berkas di meja ruangan meeting, saat kudengar ada langkah kaki yang mendekat.

"Bukankah saya sudah bilang, bahwa saya tidak pernah salah memilih." Suara itu terdengar begitu dekat di telinga. Spontan aku mundur untuk menghindar.

"Eh Pak Ivan—saya kira siapa tadi."

"Oh, ya, dan seperti janji saya kemarin, kita akan makan malam bersama."

"Maaf, Pak—bukankah saya belum memberikan jawaban?"

"Apakah itu perlu?"

Huf. Ada nada paksaan di sana. Namun, kenapa aku enggan untuk menolak. Apakah karena dia klien besar perusahaan atau karena hal lain?

"Oke, saya ke ruangan Pak Dani dulu, ya."

"A—"

Pria itu tidak memberi kesempatan padaku untuk menampik ajakannya. Sepertinya dia memanfaatkan situasi, di mana aku tidak bisa menolak tawarannya.

"Huh ...."Tanpa sadar aku mendengkus keras, dan pria yang berada belum terlalu jauh itu langsung menoleh. Tatapannya tajam mengarah kepadaku.

"Ada apa, Anjani?" Aku terhenyak menerima pertanyaan yang tiba-tiba.

"Eh—ini, Pak ... gak kenapa-napa kok." Duh, aku jadi salah tingkah di depan pria itu.

Aku menarik napas lega, saat tubuhnya hilang dibalik pintu. Teringat tadi pagi, saat aku melintasi ruang pantry, beberapa karyawati sedang membicarakan pria itu.

"Eh tahu gak, itu loh owner Kejora Malam yang ganteng itu ternyata masih single loh." Itu pasti suara Elsa, sekretaris Pak Dani yang fashionable dan ekstrovert.

"Lu tahu dari mana, Sa? Jangan ngasi info sesat lu ya." Terdengar sahutan lawan bicaranya, tapi aku tidak mengenalinya.

"Yaela ... bukan cuman statusnya yang gue tahu, tempat tinggalnya, makanan favorit, sampai tipe cewek yang disukainya pun, gue tahu."

Suara tawa mereka kudengar, dan aku pun meneruskan langkah menuju ruangan.

Apa sih istimewanya pria itu, selain gagah dan kaya. Kenapa mereka begitu antusias mengelu-elukan si mata elang itu.

Ups, aku mengeyahkan bayangan pria tersebut dari benakku. Aku harus fokus dengan pekerjaan ini. Ini tantangan buatku, karena Pak Dani sudah memberi kepercayaan. Aku tidak mau mengecewakannya. Proyek ini bukan hanya menjadi taruhan karierku, tapi juga keyakinan Boss atas kemampuanku, dan juga Mama tentunya.

Ah, Mama. Aku tersentak seketika. Aku bahkan belum mengabari Mama atas ajakan Pak Ivan untuk makan malam bersamanya. Sebenarnya aku ingin menolak, tapi pria itu sama sekali tidak memberi kesempatan padaku untuk bernegosiasi. Tipe pria egois. Andai saja Elsa dan temannya tahu, bahwa pria yang mereka puja itu, menyebalkan, tentu mereka pun akan berbalik seratus delapan puluh derajat.

"Hei, Jani ... bengong aja, lu dipanggil Pak Dani sana." Reza seenaknya menjawil hidungku.

"Apaan sih, usil banget ngejawil hidung," tepisku.

"Jangan salahin gue dong, salahin hidung lu tuh, kenapa harus mancung," olok Reza berseloroh.

"Gak lucu, tahu!" Aku beranjak meninggalkan Reza, menuju ruangan Pak Dani.

"Selamat sore, Pak," sapaku setelah mengetuk pintu dan masuk. Di sofa, Pak Ivan duduk dan menatap ke arahku, masih dengan tatapannya yang tajam. Aku menganggukkan kepala, mencoba mengalihkan kekakuan.

"Sore, Jani," sahut Pak Dani sembari menyuruhku duduk. Pak Dani memeriksa berkas yang aku berikan dan menandatanganinya. "Oh, ya, kamu temani Pak Ivan makan malam, ya. Maaf, saya tidak bisa ikut, karena ada janji mengantar istri ke dokter gigi."

Aku diam saja, masih dalam keraguan.

"Bisa, kan?" tanya Pak Dani. Aku mendengar nada perintah di sana, seolah tidak membutuhkan jawaban mau atau tidak. Tetapi harus dilaksanakan.

"Ya, Pak—tapi saya harus minta izin ke Mama dulu."

Dari sudut mata, aku melihat tatapan pria yang duduk di sofa hitam itu, masih belum berubah. Tetap tajam dan tegas. Apakah dia marah? Ah, apa peduliku. Bukankah aku bisa saja menolak ajakannya dengan memberi alasan tidak dibolehkan oleh Mama.

"Nanti saya akan temui kamu di ruangan, ya." Ucapan Pak Ivan mengejutkanku.

"Eh ti—tidak, biar saya saja yang akan menunggu Bapak di lobby,"cegahku cepat, "lagi pula saya belum dapat izin dari Mama, nanti saya kabari Bapak. Permisi."

Aku segera pamit dan keluar dari ruangan tersebut. Lama-lama berada di dalamnya membuat aku seperti sesak dan sulit bernapas.

Segera aku menelpon Mama, dan seperti dugaanku, awalnya Mama keberatan kalau aku harus pulang malam, walaupun malam ini Mama juga tidak di rumah. Namun, setelah kusampaikan bahwa ini bagian dari lanjutan obrolan tentang proyek dari klien, Mama pun menyetujui dibarengi dengan serangkaian nasehat panjang tentunya.

Bukan Salah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang